Peristiwa Ghadir Khum merupakan salah satu momen paling monumental dalam sejarah Islam. Ghadir bukan sekadar sebuah peristiwa masa lalu, melainkan sebuah fondasi ideologis yang mengandung makna mendalam tentang kepemimpinan, keadilan, dan kesatuan umat. Dalam berbagai kesempatan, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, menjelaskan secara mendalam tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Ghadir. Berikut ini 10 fakta penting tentang peristiwa Ghadir berdasarkan penjelasan beliau dari pidato-pidato resmi beliau:
1. Penunjukan Imam Ali as adalah perintah ilahi, bukan keputusan pribadi Nabi
Ayatullah Khamenei menegaskan bahwa pengangkatan Imam Ali sebagai penerus Rasulullah saw bukanlah hasil pertimbangan pribadi beliau, tetapi merupakan perintah langsung dari Allah SWT. Dalam salah satu peristiwanya, seorang kepala suku pernah menawarkan untuk memeluk Islam dengan syarat ia menjadi penerus Nabi. Rasulullah menolaknya, dengan mengatakan bahwa ini adalah “urusan ilahi”. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan setelah Rasul bukan keputusan manusia, melainkan ketetapan Tuhan. (6 Desember 2009)
2. Ghadir bukan hanya milik Syiah, tetapi milik seluruh umat Islam
Menurut Ayatullah Khamenei, Ghadir bukanlah isu eksklusif Syiah. Ia adalah bagian dari sejarah Islam yang telah diriwayatkan secara mutawatir, baik oleh ulama Sunni maupun Syiah. Karena itu, Ghadir adalah warisan bersama umat Islam. Ia adalah “ruh Islam sejati” karena di dalamnya terkandung konsep keadilan, spiritualitas, dan kepemimpinan Ilahi. (6 Desember 2009)
3. Ghadir adalah pengakuan atas keunggulan Imam Ali as dalam segala aspek
Jika pengangkatan penerus dilakukan secara logis dan berdasarkan kriteria ideal dalam Islam—seperti ilmu, ketakwaan, keberanian, pengorbanan, dan keikhlasan—maka jelas Imam Ali adalah sosok yang paling memenuhi syarat. Rasulullah saw bersabda: “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya.” (HR. al-Hakim an-Naisaburi dalam al-Mustadrak, juga dalam al-Kafi)
Banyak ayat Al-Qur’an yang diturunkan tentang keutamaan Imam Ali as, di antaranya:
- Surah al-Baqarah (2): 207
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
Menurut riwayat Ahlul Bait, ayat ini diturunkan tentang Imam Ali ketika ia rela tidur di ranjang Nabi saat hijrah, mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Rasulullah dari rencana pembunuhan musyrikin Quraisy. - Surah al-Insan (76): 8–9
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan, seraya berkata, ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya karena mengharap keridaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.’”
Ayat ini diturunkan tentang Imam Ali dan Sayyidah Fatimah bersama keluarganya, ketika mereka berpuasa selama tiga hari dan setiap malamnya memberikan makanan buka puasa mereka kepada orang miskin, yatim, dan tawanan, meskipun mereka sendiri kelaparan. - Surah al-Ma’idah (5): 55
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan rukuk.”
Para mufassir Syiah menyebutkan bahwa ayat ini turun tentang Imam Ali, ketika beliau memberikan cincin kepada pengemis saat sedang rukuk dalam salat. Inilah landasan kuat konsep wilayah dalam Al-Qur’an.
Dengan ayat-ayat ini, serta ratusan hadis dari Nabi sendiri tentang keutamaan dan kedudukan Imam Ali, menjadi jelas bahwa pengangkatan beliau di Ghadir bukanlah sesuatu yang mengada-ada, tetapi didasarkan pada wahyu dan keteladanan nyata. Seperti yang ditegaskan Ayatullah Khamenei dalam pidato 6 Desember 2009: “Siapa pun yang jujur dan ingin mencari kebenaran akan menyadari bahwa Imam Ali adalah orang paling layak memegang tampuk kepemimpinan setelah Rasulullah.”
4. Ghadir adalah bukti bahwa Islam tidak terpisah dari politik dan pemerintahan
Salah satu pesan terbesar dari Ghadir adalah bahwa Islam memandang penting urusan pemerintahan dan kepemimpinan umat. Menurut Ayatullah Khamenei, pernyataan “Siapa yang aku adalah mawlanya, maka Ali juga adalah mawlanya” bukan hanya menunjuk pada dimensi spiritual, tetapi juga dimensi sosial-politik. Ghadir adalah tanggapan tegas terhadap sekularisme yang memisahkan agama dari urusan masyarakat. (13 Oktober 2014)
5. Ghadir menjelaskan konsep wilayah sebagai pondasi keadilan dan ketertiban sosial
Ayatullah Khamenei menyebut bahwa wilayah bukan sekadar loyalitas pribadi kepada sosok Imam Ali, tetapi sebuah sistem yang mendasarkan masyarakat pada keadilan ilahi. Dunia saat ini haus akan keadilan, dan Ghadir membawa pesan bahwa kepemimpinan sejati adalah yang menegakkan keadilan, bukan menindas. Maka, untuk menjadi pengikut sejati Imam Ali, kita harus menyebarkan keadilan sejauh mungkin. (20 Februari 2003)
6. Ghadir adalah manifestasi ketaatan total kepada perintah Allah
Ayatullah Khamenei menegaskan bahwa ketika Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’idah ayat 67 untuk menyampaikan pesan penting, maka penyampaian itu menjadi kewajiban mutlak bagi Rasul. Allah menyatakan bahwa jika perintah ini tidak disampaikan, maka risalah Nabi tidak sempurna. Maka, Ghadir adalah penyempurna risalah Islam. (6 Desember 2009)
7. Ghadir adalah tolok ukur untuk menilai kepemimpinan Islam
Dengan menetapkan Imam Ali sebagai pemimpin umat setelahnya, Rasulullah memberi kriteria yang jelas: pemimpin haruslah orang yang paling dekat dengan nilai-nilai Ilahi. Ghadir menjadi standar kepemimpinan dalam Islam: bukan keturunan, bukan popularitas, bukan jumlah pengikut, melainkan kelayakan spiritual, intelektual, dan moral. (6 Desember 2009)
8. Ghadir adalah jawaban terhadap propaganda kolonial untuk memecah umat
Ayatullah Khamenei menekankan bahwa musuh Islam—baik kolonialisme Inggris maupun Zionisme dan kekuatan arogan dunia—selalu berusaha mengadu domba Syiah dan Sunni. Ghadir, menurut beliau, tidak boleh menjadi alat perpecahan, tetapi harus menjadi sarana persatuan dengan semangat ilmiah dan saling memahami. Musuh ingin kita sibuk dengan pertikaian internal, agar lalai terhadap kezaliman eksternal. (13 Oktober 2014)
9. Ghadir mendorong persatuan umat Islam di atas dasar saling mengenal dan memahami
Ayatullah Khamenei menyeru umat Islam untuk membaca karya-karya ulama Syiah kontemporer seperti Allamah Amini (penulis Al-Ghadir) dan Sayyid Sharafuddin. Dalam karya mereka, Ghadir dijelaskan berdasarkan puluhan sumber Sunni. Beliau tidak menuntut Sunni menjadi Syiah, tetapi meminta agar semua pihak membuka diri terhadap literatur satu sama lain. Ini adalah pendekatan ilmiah dan adil. (6 Desember 2009)
10. Ghadir adalah pelajaran sepanjang zaman: tentang akidah, kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial
Akhirnya, Ghadir bukan sekadar kisah historis, tetapi sebuah pelajaran abadi. Ia mengajarkan bahwa umat harus mematuhi kebenaran meski berat, bahwa kepemimpinan bukan soal warisan tetapi penunjukan Ilahi, dan bahwa agama adalah sistem yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk pemerintahan, keadilan sosial, dan tanggung jawab umat. Ayatullah Khamenei menyebut Ghadir sebagai “ajaran besar yang dijamin oleh Allah melalui Rasul-Nya”. (13 Oktober 2014)
Dengan memahami peristiwa Ghadir melalui penjelasan Ayatullah Khamenei, kita tidak hanya memahami aspek historisnya, tetapi juga ruh dan makna terdalamnya. Ghadir adalah panggilan untuk keadilan, akal sehat, kesatuan, dan kesetiaan terhadap kepemimpinan ilahi. Dalam dunia yang kerap dilanda kekacauan politik dan krisis moral, Ghadir hadir sebagai cahaya petunjuk.
Marilah kita menjadikan peringatan Ghadir bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi momentum untuk kembali kepada nilai-nilai kepemimpinan sejati: ilmu, ketakwaan, keadilan, keberanian, dan cinta terhadap kebenaran.
Sumber: Khamenei.ir