Membaca Ulang Perbedaan antara Islam dan Iman dalam Al-Qur’an
Dalam sejarah umat manusia, ada satu peristiwa besar yang oleh Al-Qur’an digambarkan dengan sangat singkat namun penuh makna: manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah. Ayat itu turun bukan sebagai laporan statistik, melainkan sebagai isyarat tentang gelombang besar penerimaan Islam di tengah masyarakat Arab.
“…Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah secara berbondong-bondong.”
(QS. an-Nashr: 2)
Ayat ini berbicara tentang Islam sebagai identitas lahiriah—tentang orang-orang yang menyatakan diri tunduk kepada risalah Rasulullah ﷺ. Namun Al-Qur’an tidak berhenti di sana. Ia segera membawa kita pada pertanyaan yang jauh lebih mendasar: apakah setiap orang yang memeluk Islam otomatis menjadi mukmin?
Ketika Klaim Iman Ditangguhkan oleh Al-Qur’an
Dalam surah al-Hujurat, Al-Qur’an menampilkan dialog yang tajam sekaligus mendidik. Sekelompok orang datang kepada Rasulullah ﷺ dan dengan percaya diri berkata, “Kami telah beriman.” Namun jawaban Ilahi yang turun justru membongkar asumsi itu:
“Katakanlah: Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah berserah diri (Islam)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.”
(QS. al-Hujurat: 14)
Ayat ini adalah fondasi penting dalam teologi Islam—terutama dalam tradisi pemikiran Syiah—bahwa Islam dan iman bukanlah dua istilah yang identik. Islam bisa berhenti di batas pengakuan dan kepatuhan lahiriah, sementara iman menuntut sesuatu yang lebih dalam: kehadiran di dalam hati.
Agama Itu Bertingkat, Bukan Sekadar Label
Para ulama Ahlulbait sering menekankan bahwa beragama bukanlah keadaan statis, melainkan sebuah proses bertingkat. Untuk memudahkan pemahaman, Ayatullah Mohsen Qiraati menggunakan analogi sederhana namun tajam: memasak.
Ada makanan yang baru dipanaskan. Ada yang sudah mendidih. Dan ada yang benar-benar matang.
Makanan yang hanya dipanaskan masih bisa kembali dingin. Tetapi makanan yang matang tidak mungkin kembali mentah. Demikian pula iman. Islam pada tingkat pengakuan bisa goyah, surut, bahkan hilang. Tetapi iman yang telah matang di hati bersifat mengakar dan tahan ujian.
Islam: Mudah Diikrarkan, Belum Tentu Dihayati
Setiap orang dapat dengan relatif mudah memeluk Islam. Cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seseorang secara hukum disebut muslim. Inilah tingkat paling awal—tingkat panas dalam analogi tadi.
Di atasnya ada tingkat mendidih. Pada fase ini, semangat keagamaan tampak menyala. Sejarah mencatat sebagian sahabat Rasulullah ﷺ berangkat ke medan jihad dengan penuh emosi, heroisme, dan keberanian. Mereka siap mempertaruhkan nyawa di jalan Allah.
Namun Al-Qur’an tidak mengukur iman hanya dari keberanian fisik dan semangat emosional.
Ujian Iman: Ketika Harta Diminta, Bukan Sekadar Darah
Menariknya, pada saat yang sama Al-Qur’an menurunkan perintah yang jauh lebih sunyi namun berat: menunaikan khumus.
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah…”
(QS. al-Anfal: 41)
Perhatikan penutup ayat ini: “jika kamu beriman kepada Allah.”
Seakan-akan Al-Qur’an ingin berkata: iman diuji bukan hanya di medan perang, tetapi di hadapan harta.
Boleh jadi seseorang berani maju ke pertempuran, tetapi masih berat menyerahkan hak Allah, hak Rasul, dan hak kaum papa dari hartanya. Di sinilah garis pemisah antara semangat lahiriah dan iman yang telah meresap ke dalam hati.
Ketika Iman Benar-Benar Masuk ke Dalam Hati
Jika seorang muslim mampu memenuhi seruan ini—menyelaraskan ibadah ritual, perjuangan sosial, dan pengorbanan ekonomi—maka pada titik itulah iman tidak lagi berhenti di lisan atau emosi. Ia telah berdiam di dalam hati.
Tentang kelompok inilah Al-Qur’an memberi penegasan istimewa:
“Mereka itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.”
(QS. al-Anfal: 4)
Tradisi Syiah menyebut mereka sebagai golongan khāsh—kelompok khusus. Bukan karena klaim, tetapi karena kualitas batin. Mereka tidak hanya muslim secara identitas, tetapi mukmin secara substansi.
Antara Mukmin Sejati dan Iman Pura-pura
Sebaliknya, Al-Qur’an juga tidak ragu membongkar wajah iman yang palsu. Tentang kaum munafik, Kitab Suci menyatakan dengan tegas:
“Dan di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.”
(QS. al-Baqarah: 8)
Ayat ini menunjukkan bahwa bahasa iman bisa dipalsukan, tetapi realitas hati tidak. Dalam pandangan Al-Qur’an, iman bukan slogan, melainkan komitmen total yang tercermin dalam ketaatan, pengorbanan, dan keadilan sosial.
Iman sebagai Perjalanan, Bukan Pernyataan
Maka pertanyaan “apakah setiap muslim adalah mukmin?” mendapat jawaban yang jujur dari Al-Qur’an sendiri: tidak selalu. Islam adalah pintu, iman adalah perjalanan. Islam adalah awal, iman adalah kedalaman.
Dalam cahaya ajaran Ahlulbait, iman bukan sekadar apa yang kita ucapkan, tetapi apa yang sanggup kita lepaskan demi Allah—termasuk harta, ego, dan kenyamanan.
Dan barangkali, di situlah letak relevansi abadi ayat-ayat ini bagi kita hari ini:
apakah iman kita baru dipanaskan, sedang mendidih, atau telah benar-benar matang?
Disarikan dan dikembangkan dari buku Ayatullah Mohsen Qiraati, Anda Bertanya Tuhan Menjawab