Oleh: Dr. Muhsin Labib
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya). (QS. Al-Ahzab : 23)”
“Bila seseorang yang istimewa bagimu pergi, dia membawa sebagian dari jiwamu bersamanya”
Rasa kehilangan ini melempar saya ke lorong waktu dan kembali beberapa tahun silam. Pada masa itu beberapa kelas aliyah diselenggarakan di musalla secara lesehan dengan bangku dan dinding kayu pemisah yang dipindahkan bila akan digunakan untuk shalat.
Di kelas yang jumlah siswanya sekitar 9 orang itu posisi bangku melingkar menghadap papan tulis. Saya dan beliau yang selalu duduk berdampingan adalah sahabat sekelas juga sekamar. Meski beliau lebih tua sekitar 5 tahun dari saya dan masing-masing punya karakter dan gaya yang berlainan, kami adalah dua sahabat karib yang punya kisah kebersamaan panjang. Di hari libur sering menginap di rumahya di kawasan Ampel. Karena sejak kanak-kanak adalah yatim karena ibunya wafat dan ayahnya tinggal di kota lain, beliau hidup di dalam kasih sayang kakek dan tiga paman dari ibu. Salah satu pamannya menjadi mertua beliau. Semoga Allah merahmati mereka.
Salah satu kebiasaan saya bila bercanda adalah memegangi telapak tangan beliau yang lunak dan lembab dan sesekali menempelkan pipi di atasnya karena terasa sejuk. Beliau hanya tersenyum melihat kelakuan saya.
Berbeda jauh dengan saya yang masih kekanak-kanakan dan suka bermain di halaman setiap usai belajar, beliau malah rajin sinau (membaca ulang pelajaran) dan mengaji al-Quran.
Karena pendidikan di pesantren pada masa itu diselenggarakan secara tradisional, para siswa terfokus pada ilmu-ilmu agama, seperti fikih, ulumul quran, tafsir, tauhid (aqidah), nahwu, sharf dan sebagainya.
Mungkin karena tergolong paling muda atau alasan tertentu, kami berdua terpilih untuk melanjutkan studi di Iran pada tahun 82.
Setelah melewati banyak rintangan administrasi akibat represi politik rezim Orba yang bersikap negatif terhadap Republik Islam Iran yang baru berdiri berkat bantuan sejumlah pihak, kami berdua bersama beberapa pemuda yang lebih tua yang sebagian adalah mahasiswa aktivis yang merupakan kader YM Pengasuh, pesawat udara, yang baru pertama kali saya rasakan, menerbangkan rombongan, setelah transit dua kali, ke Tehran.
Bandar udara Mehrabad terlihat dari jendela sedang diguyur salju. Kami berdua tak punya bekal data di benak tentang Iran dan semua yang berkaitan dengannya, termasuk iklimnya. Hawa dingin menerpa wajah dan menembus tubuh kami yang sudah dibalut jaket tebal, meski hati kami terasa hangat karena riang dan bangga sebagai kloter pertama pelajar Indonesia sejak Revolusi Islam diletuskan oleh Khomeini (demikian kami menyebutnya tanpa ‘imam’ saat itu).
Pagi hari kami dijemput para pemuda yang semuanya berwajah tampan dan bertubuh gagah namun ramah, meninggalkan Esteglal (nama baru Sheraton yang telah dinasionalisasi oleh masa revolusi). Saya dan beliau yang duduk berdampingan dalam mobil jip besar buatan AS agak bingung dan bengong karena melihat kota megah yang terlihat dalam situasi darurat. Maklum, revolusi belum usai, aksi-aksi perlawanan dan teror sisa anasir dan krono rezim Pahlevi masih kerap terjadi dan perbatasan negara baru saja diserang oleh rezim Saddam.
Setelah melintasi highway sepanjang kira-kira 180 km yang membelah gurun berwarna krem, kubah keemasan yang menyeruak dari balik gerbang perbatasan menyihir mata dan pikiran kami yang tak tahu banyak tentang Qom.
Kota itu pertama kali terlihat seperti desa kuno abad 13 lalu terlihat laksana koloni penguin karena didominasi oleh hitam dengan siluet putih. Semua wanita yang lalu lalang mengenakan kain hitam (disebut cadur) utuh membalut tubuh. Sebagian besar pria juga membalut tubuh mereka dengan kain hitam (aba’ah) dan sorban putih dan kecuali sebagian kecil bersorban hitam.
Mobil yang kami tumpangi berhenti depan gerbang kayu besar sepanjang 3 meter sebuah bangunan kuno yang dijaga oleh beberapa pria bersenjata Uzi dan Kalashnikov mengenakan seragam hijau dengan logo “Sepah Pasdaran e Enqelab” di saku.
Singkatnya kami menjadi rombongan pertama dari Asia yang menjadi santri (talabeh) di sekolah ber-asrama (pesantren) yang bernama Madreseh Hujjatiyeh yang didirikan oleh Sayyid Hojjat, seorang marja’ yang wafat tidak lama sebelum kami masuk dan dikebumikan di samping musalla di dalamnya.
Kami berdua ditempatkan dalam satu kamar yang sederhana. Di dalamnya ada dua kasur spon lipat dengan selimut tebal dan pemanas manual yang lebih mirip kompor sumbu. Di situlah kami tidur, belajar bareng dan merenda persahabatan dalam rantau.
Karena kami adalah utusan dari Indonesia, negeri dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia dan karena YM Pengasuh pesantren adalah tokoh muslim internasional yang cukup dikenal dan dihormati, kami memperoleh perlakuan istimewa. Saya dan teman karib saya sangat menikmati suasana di sana karena sering diajak bersilaturahmi dengan sejumlah ulama besar, antara lain Syekh Fadhil Lankarani, salah satu murid Imam Khomeini pengasuh dewan pengawas para pelajar non Iran yang kelak menjadi marja’ besar. Kami juga kerap mendapatkan wejangan khusus dari Syekh Amini, ulama yang beberapa tahun berikutnya menjadi imam kedua Jumat Qom dan Ketua Dewan Ahli.
Seiring bergulirnya daur waktu kami mulai beradaptasi dengan sistem pendidikan hauzah yang kebetulan sama dengan sistem pendidikan pesantren kami di YAPI dan mulai terbiasa menjalani hidup sebagai talabeh sebagaimana talabeh Irak, Lebanon, Afghanistan, Pakistan, India dan negara-negara yang berpenduduk Syiah lainnya. Kami juga bergaul dengan para pelajar dari sejumlah negara Asia dan Afrika yang mulai berdatangan memarakkan Hojjatiyeh.
Saya dan teman karib saya aktif mengikuti setiap kelas. Dan berkat pendidikan di YAPI yang membekali ilmu-ilmu alat bahasa Arab seperti Nahwu, sharf dan balaghah, kami bisa berkomunikasi dengan bahasa Arab dan naik atau lompat beberapa kelas melalui ujian percepatan.
Setelah dinyatakan lulus ujian dalam kelas-kelas pendahuluan, kami diizinkan untuk mengikuti pendidikan bebas (azad).
Pada fase ini kami berdua kian akrab karena punya jadwal yang sama di kelas-kelas bebas (semacam halaqah) di dalam haram Makam Sayyidah Ma’shumah atau emperannya dan beberapa madrasah lain yang umumnya menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam studi naskah buku-buku referensial fikih dan ushul fiqh.
Beberapa guru pengajar cukup dekat dengan kami karena kami dianggap unik, pelajar dari negara tak berpenduduk Syiah dan bukan negara Arab tapi lumayan lancar bicara dengan bahasa Arab.
Kami punya waktu rutin ngobrol jawatimuran sambil menghangatkan tubuh dengan teh panas pada musim dingin di sebuah warkop dekat Haram Ma’shumah (yang saat ini telah lenyap karena perluasan kawasan makam).
Pada tahun berikutnya pihak pimpinan Hojjatiyeh menawarkan beberapa mata pelajaran pilihan sesuai minat masing-masing demi pendalaman. Kami berdua menentukan dua piihan yang berlainan.
Karena sebagian besar ilmu-ilmu rasional terutama filsafat dan irfan diajarkan pengajar-pengajar non Arab, saya belajar secara intensif bahasa Parsi. Sedangkan beliau makin fokus mengikuti kuliah-kuliah yang diajarkan oleh guru-guru dari Irak dan Lebanon.
Meski berbeda jalur pendidikan dan volume pertemuan di kelas makin berkurang, kami tetap sering menghadiri acara keagamaan bersama dan nongkrong di warung teh sambil berdiskusi.
Tak terasa 5 tahun telah kami lewati dalam studi di kota suci ini. Selama itu beberapa kloter pelajar dari Indonesia berdatangan dan jumlahnya makin banyak. Pada saat yang sama kebutuhan kepada narasumber mazhab Ahlulbait di Tanah Air makin mendesak. Beliau pun memutuskan menghentikan studi guna mengabdikan diri mengajarkan ajaran suci Ahlulbait di Tanah Air. Kami berpisah.
Sejak menjejakkan kaki di kotanya, Surabaya dari kedatangannya dari Iran, beliau langsung tancap gas mewartakan ajaran suci dalam lingkaran teman-teman dan para pemuda yang dahaga akan ajaran suci ini. Dalam sekejap berkat gaya penyampaian yang tenang dan sederhana, majelisnya kian sesak dengan jamaah bahkan. Banyak tentara juga perwira TNI AL dan beberapa mahasiswa serta dosen mengerumuni beliau menanti setiap kata hikmah yang diluncurkannya.
Satu tahun kemudian saya pun kembali ke Tanah Air dan langsung mengabdi sebagai pengajar di almamater, Yapi di bawah arahan YM Ustadz Husein Alhabsyi selama 10 tahun sejak 1988 hingga 1999.
Di sela-sela kesibukan mengajar dan berdakwah di beberapa kota di Jawa Timur, saya selalu menyempatkan diri mengunjungi beliau di rumah atau di stand tokonya di Pasar Turi dan bernostalgia. Meski sangat dihormati oleh jamaahnya, dia tetap bersahaja dan memposisikan saya yang lebih muda sebagai teman juga mitra diskusi tentang beragam isu keumatan, keagamaan dan kemazhaban.
Banyak pengalaman yang terlalu panjang untuk dituturkan. Ringkasnya, dia adalah ustadz yang unik (ekstrentik) karena kesahajaan dan kekuatan batinnya yang luar biasa. Meski menghindari publisitas dan tidak menyukai formalitas, beliau telah menjadi salah satu pionir mazhab Ahlulbait di Indonesia dan salah satu murid yang dicintai oleh YM Alm. Ust. Husein bin Abubakar Al-Habsyi.
Di luar itu semua, dia adalah teman yang telah berjasa secara intelektual dan spiritual bagi saya yang menulis memoriam ini dengan mata basah.
Semoga Allah SWT menempatkan Ust. Ahmad Rusydi Alidrus pada derajat yang luhur bersama Nabi termulia SAW dan jejiwa suci Ahlulbaitnya AS.