Ketika Imam Ali diangkat menjadi khalifah dan umat Islam membaiatnya, beliau pergi ke masjid dengan memakai sorban dan selendang Rasulullah saw, serta memakai sandal Rasulullah saw, dan membawa pedang Rasulullah saw. Lalu beliau naik mimbar dan duduk di atasnya sambil menyilangkan jari-jari kedua tangannya dan meletakkannya dekat perut. Kemudian beliau berkata: “Ma’asyirannas … Bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku.” Inilah wadah ilmu. Inilah air liur Rasulullah saw. Inilah yang Rasulullah saw tuangkan kepadaku berkali-kali. Bertanyalah kepadaku, karena aku mempunyai ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang …. “
Perkataan Imam Ali itu tentu bukan sekadar omong kosong, tetapi itu sebuah kenyataan dan bukti kesiapan beliau untuk memberikan jawaban segala persoalan dan memberikan solusi yang tepat terhadap segala problema umat manusia. Kalau tidak, maka perkataan di atas adalah sebuah tindakan yang sangat konyol dan memalukan. Karena manusia mana yang siap menjawab segala persoalan? Dan terbukti ada seorang yang hadir di sana beranggapan bahwa perkataan itu adalah tindakan yang konyol, dan dia ingin mempermalukan Ali di hadapan khalayak dengan mengemukakan sebuah pertanyaan yang super sulit, namun ternyata Ali mampu menjawabnya dengan tepat.
Said bin al-Musayyib berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah yang mengatakan itu kecuali Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau berkali-kali mengatakan itu di atas mimbar” (Usud al-Ghabah 4/22).
Sepanjang sejarah umat Islam ada beberapa orang yang bersumbar seperti perkataan di atas, tetapi akhirnya dipermalukan karenanya, seperti:
1. Ibrahim bin Hisyam bin Ismail bin Hisyam, Gubernur Mekah dan Madinah pada Dinasti Hisyam bin Abdul Malik. Dia pergi haji pada tahun 107 dan berkhotbah di Mina. Dia berkata, “Bertanyalah kepadaku, aku adalah seorang yang tiada duanya. Tidak ada seorang yang kalian tanya lebih pandai dariku.” Lalu seorang dari Irak bangkit dan bertanya tentang korban, apakah wajib atau tidak? Ternyata dia tidak dapat menjawabnya, lalu dia turun dari mimbar (Tarikh Ibnu Asakir 2/305).
2. Muqotil bin Sulaiman. Pada suatu saat dia duduk dan berkata, “Bertanyalah kepadaku tentang apa yang ada di bawah Arsy sampai Luyana.” Seorang bertanya kepadanya, “Adam ketika haji, siapa yang memotong rambutnya?” Lalu dia menjawab, “Ini bukan pertanyaanmu, tetapi Allah berkehendak mempermalukanku atas keujubanku”
Sufyan bin Uyaynah berkata, “Muqotil bin Sulaiman pernah berkata, ‘Bertanyalah kepadaku tentang apa yang ada di bawah Arsy.'”
Seorang bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapatmu, usus semut itu berada di depan atau di belakang?” Sulaiman diam tidak mengetahui jawabannya, “Aku yakin, ini adalah balasan untukku” (Tarikh al-Khatib al-Baghdadi 13/163).
Barangkali masih banyak contoh lain yang mencoba berkata yang sama dengan Imam Ali bin Abi Thalib, namun berakhir dengan kecemasan dan malu. Tetapi tidak demikian dengan Imam Ali bin Abi Thalib.
Kalau keberanian Imam Ali bin Abi Thalib, kesetiaannya kepada Rasulullah saw dan sebagai orang yang pertama kali menerima Islam masih diperselisihkan keunggulannya atas para sahabat nabi lainnya atau disetarakan dengan mereka, maka keluasan ilmunya dan keunggulannya atas seluruh sahabat dalam masalah ilmu tidak diperselisihkan lagi. Seluruh kaum Muslimin dari generasi pertama sampai sekarang bersepakat bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling pandai. Banyak hadis dari Rasulullah saw yang diriwayatkan di berbagai kitab hadis yang menyatakan hal itu.
Khalifah Umar bin al-Khattab pernah heran dengan jawaban-jawaban yang diberikan Imam Ali secara spontanitas terhadap berbagai pertanyaan, dia berkata, “Wahai Abu al-Hasan, alangkah cepatnya engkau menjawab dan memberikan keputusan?”
Lalu Ali bertanya, “Berapakah ini?” sambil menunjukkan telapak tangannya kepada Khalifah Umar. “Lima!” jawab Umar cepat. Imam Ali kembali berkata, “Alangkah cepatnya engkau menjawab, wahai Abu Hafsh (Umar)!” “Itu jelas sekali bagiku” jawab Khalifah Umar. “Demikian pula aku. Aku menjawab cepat atas sesuatu yang jelas bagiku,” jelas Imam Ali (al-Manaqib karya al-Khatib). Dengan berbagai redaksi, Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Kekasihku Rasulullah saw mengajariku seribu macam ilmu dan dari seribu ini bercabang seribu ilmu.”
Keluasan ilmu dan penguasaan penuh atas ajaran-ajaran Islam sudah bisa dijadikan sebagai nilai plus bagi Imam Ali bin Abi Thalib, karena bagaimanapun juga, orang yang lebih pandai dan lebih alim jelas lebih mulia dari yang lain. (lihat QS. az-Zumar: 9 dan QS. al-Mujadalah:11). Dan keduanya sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin, apalagi pemimpin yang mengatas-namakan dirinya sebagai pemimpin Islam yang bertanggung-jawab untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam secara komprehensif dan meneruskan perjuangan Rasulullah saw.
Belum lagi kita berbicara tentang nilai-nilai lainnya yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib seperti keberanian, ketakwaan dan pengorbanan. Buku-buku sejarah terhiasi dengan keheroikan dan ketulusan perjuangan beliau. Meskipun nilai-nilai ini, seperti yang telah disebut di atas, masih diperselisihkan apakah Imam Ali lebih unggul dari yang lain atau tidak? Tetapi keunggulan beliau dalam keilmuan sudah bisa dijadikan alasan bahwa beliau orang yang paling layak menjadi pemimpin, karena beliau menjadi tempat kembali orang bertanya dan meminta penyelesaian. Seorang teolog dan filsuf Muslim berkata, “Bukti kelayakan beliau sebagai pemimpin adalah bahwa yang lain membutuhkan beliau sedangkan beliau tidak membutuhkan yang lain.”
Tulisan yang ada di hadapan Anda ini adalah terjemahan dari kitab Saluni abla an Tafqiduni karya Syekh Muhammad Ridha al-Hakimi.