“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Nahl: 43)
Ayat yang mulia ini memerintahkan kaum Muslim untuk meminta bantuan kepada orang yang berpengetahuan dalam hal-hal yang mereka tidak mengerti. Dengan merujuk kepada orang yang memiliki pengetahuan mendalam, mereka akan mengetahui jalan kebenaran.
Allah Swt telah mengajarkan dan menominasikan mereka untuk tujuan ini. Pengetahuan mereka sangat mendalam, dan mereka memahami tafsir dan takwil Al-Quran. Ayat ini turun untuk mengenalkan Ahlulbait (salam dan salawat Allah tercurahkan atas mereka), yaitu Nabi Muhammad saw, Imam Ali as, Sayidah Fathimah as, Imam Hasan as, dan Imam Husain as. Peristiwa ini terjadi pada masa kenabian. Setelah sepeninggal Nabi saw dan sampai Hari Kiamat, kelima orang tersebut disebut dengan Ahlul Kisa (mereka yang berada di balik mantel). Selain itu, ada sembilan orang Imam lainnya yang ditunjuk oleh Rasulullah saw dalam berbagai kesempatan. Beliau menamai mereka sebagai para Imam pemberi petunjuk, pelita kegelapan, dan ahli zikir, serta “orang-orang yang mendalam ilmunya” yang Allah Mahasuci telah mewariskan ilmu kitab kepada mereka.
Riwayat-riwayat ini tak terbantahkan, sahih dan mutawatir di sisi Syi’ah semenjak masa Nabi saw dan diriwayatkan oleh sebagian ulama Ahlusunnah wal Jamaah. Para mufasir mereka mengakui turunnya berkenaan dengan Ahlulbait as. Berikut ini kami sebutkan beberapa ulama dan mufasir tersebut:
- Imam Tsa’labi dalam Tafsir-nya al-Kabir, terkait makna ayat dari surah al-Nahl ini.
- Tafsir al-Quran, karya Ibnu Katsir, di dalam juz keduanya, halaman 570.
- Tafsir al-Thabari, di dalam juz ke-14, halaman 109.
- Tafsir al-Alusi, yang dinamai Ruh al-Ma’ani, di dalam juz ke-14, halaman 134.
- Tafsir al-Qurthubi, di dalam juz ke-11, halaman 272.
- Tafsir al-Hakim, yang dinamai dengan Syawahid al- Tanzil, di dalam juz pertamanya, halaman 334.
- Tafsir al-Tustari, yang dinamai dengan Ihqaq al-Haqq, di dalam juz ketiganya, halaman 482.
- Yanabi’ al-Mawaddah, karya Qanduzi Hanafi, halaman 51 dan 140.
Jika kita hanya merujuk pada makna tekstual dari ayat tersebut, menyatakan bahwa ahl al-dzikr merujuk pada Ahlulkitab yakni Yahudi dan Kristiani. Karena itu, adalah penting bagi kita untuk memperjelas bahwa mereka bukan orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat mulia tersebut.
Pertama: Karena Al-Quran yang mulia menyebutkan di dalam berbagai ayatnya tentang berbagai penyimpangan (tahrif) terhadap firman-firman Allah oleh tangan-tangan mereka lalu mereka mengatakan bahwa ia berasal dari sisi Allah agar mereka menjualnya dengan harga yang sangat murah. Ayat-ayat juga memberikan kesaksian akan kebohongan dan penyimpangan mereka dari kebenaran.
Mengingat hal itu, tidaklah mungkin dengan kondisi mereka yang seperti ini Al-Quran memerintahkan kaum muslim agar merujuk kepada mereka dalam masalah-masalah yang mereka tidak mengetahuinya.
Kedua: Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, kitab al-Syahadat, Bab La Yas’alu Ahla al-Syirk, juz ketiga, halaman 163, bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw bersabda, Janganlah kalian membenarkan Ahlulkitab dan jangan pula kalian mendustakan mereka dan katakanlah, Kami beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan…” (QS. al-Baqarah: 136).
Riwayat ini menunjukkan ketidakbolehan kita merujuk kepada mereka di dalam berbagai masalah. Alih-alih, hendaknya kita meninggalkan mereka dan mengacuhkan mereka karena perintah untuk tidak memercayai mereka ataupun untuk tidak memandang mereka sebagai para pendusta akan menihilkan tujuan pengajuan pertanyaan, yakni menantikan jawaban yang benar.
Ketiga: Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, kitab al-Tauhid, bab Firman Allah Ta’ala, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. al-Rahman [55]:29), juz kedelapan, halaman 208.
Dari Ibnu Abbas berkata, “Wahai kaum muslim! Bagaimana mungkin kalian bertanya kepada Ahlulkitab tentang sesuatu sedangkan kitab kalian yang diturunkan Allah kepada Nabi kalian mengandung berbagai berita terkini dari Allah dan kalian membacanya, sebuah kitab yang tidak ditahrif? Allah telah mewahyukan kepada kalian bahwa sesungguhnya Ahlulkitab telah mengganti (kandungan) kitab-kitab Allah dan mengubahnya, lalu mereka menulis dengan tangan-tangan mereka dan mengatakan, ‘Ini berasal dari sisi Allah’ agar mereka bisa menjualnya dengan harga yang sedikit.”
Ibnu Abbas menambahkan, “Bukankah ilmu yang diturunkan kepada kalian cukup untuk mencegah kalian dari bertanya kepada mereka? Demi Allah, aku belum pernah melihat siapa pun dari mereka (Ahlulkitab) bertanya kepada kaum muslim tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian?”
Keempat: Di kalangan Ahlulkitab, sekiranya kita bertanya kepada kalangan Kristen sekarang, mereka akan mengklaim bahwa Isa adalah Tuhan sedangkan Yahudi akan mendustakan klaim mereka itu dan tidak pernah pula mengakuinya sebagai nabi. Akan tetapi, pada saat yang sama, kedua kelompok ini mendustakan Islam dan Nabinya (dari sejak awal kemunculannya). Mereka menuduhnya sebagai si pendusta besar dan Dajjal. Mengingat semua ini, tidaklah mungkin dipahami dari ayat ini bahwa Allah akan memerintahkan kita untuk menanyai mereka (tentang masalah-masalah yang kita hadapi sekarang ini) bila ahli zikir di dalam lahiriah ayat tersebut adalah Yahudi dan Kristen. Ini tidak menafikan pandangan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ahlulbait Nabi sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Syi’ah dan Ahlusunnah melalui riwayat-riwayat sahih.
Dapat dipahami dari ayat ini bahwa Allah Swt telah mewariskan ilmu Kitab, yang tidak meninggalkan dan mengabaikan sesuatupun di dalamnya kepada para Imam pilihan-Nya di antara hamba- hamba-Nya, agar manusia dapat merujuk kepada mereka dalam masalah tafsir dan takwil. Di dalamnya ada jaminan petunjuk bagi mereka apabila mereka menaati Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena Allah Yang Mahasuci dan agung hikmah-Nya menginginkan seluruh manusia tunduk kepada orang- orang pilihan dari kalangan mereka sendiri, Dia memilih mereka (Nabi dan Ahlulbait) dan mengajari mereka ilmu Kitab sehingga kepemimpinan dapat diselenggarakan dan urusan-urusan kemasyarakatan menjadi teratur karena kepemimpinan. Seandainya orang-orang ini menghilang dari kehidupan manusia, peluang menjadi terbuka bagi pengklaim palsu (atas kepemimpinan) dan orang-orang jahil. Masing-masing mereka pasti akan bertindak berdasarkan nafsunya dan merusak urusan-urusan manusia selama setiap person mereka berkesempatan mengklaim dirinya sebagai yang paling alim (pandai).
*Disarikan dari buku Tanyalah Pada Ahlinya – Dr. Muhammad Tijani