Setelah Imam Ali as gugur syahid pada tahun 40 Hijriyah, kota Kufah sebagai pusat pemerintahan Ahlulbait as kembali menyaksikan peristiwa besar, yaitu pengangkatan Imam Hasan as sebagai khalifah. Diriwayatkan bahwa pada pagi hari tanggal 21 Ramadhan, Abdullah bin Abbas mengumpulkan masyarakat dan berkata, “Wahai masyarakat! Amirul Mukminin telah pergi dan meninggalkan putranya di tengah kalian. Jika kalian ingin, putra beliau akan mendatangi kalian.” Mereka menangis dan meminta kehadiran Imam Hasan as di hadapan mereka.
Setelah kepergian ayahnya, Imam Hasan as memikul tanggung jawab untuk memimpin masyarakat Muslim. Beliau bergerak cepat untuk menata kembali situasi yang kacau setelah syahidnya sang ayah dan segera mengendalikan urusan pemerintahan Islam.
Tidak butuh waktu lama bagi masyarakat untuk memahami bahwa Imam Hasan as sama seperti ayahnya, memiliki tekad kuat untuk menegakkan keadilan dan menjalankan syariat Islam. Ini adalah sesuatu yang diimpikan oleh mayoritas masyarakat. Namun, penegakan keadilan membuat gusar segelintir orang dan kalangan oportunis.
Sejak masa itu, Imam Hasan as menghadapi pembangkangan dan penentangan dari Muawiyah yang berkuasa di Syam. Untuk menghadapi pemberontakan dan provokasi Muawiyah, beliau memobilisasi pasukan. Namun, karena kondisi masyarakat Muslim tidak siap untuk berperang, beliau mengurungkan niat tersebut. Melihat Imam Hasan as tidak berminat untuk berperang karena pertimbangan tersebut, Muawiyah menawarkan proposal damai, dan Imam Hasan pun menerimanya dengan penuh pertimbangan demi masa depan masyarakat Muslim.
Ada beberapa faktor yang membuat Imam Hasan as mengurungkan perang dan menerima perdamaian dengan Muawiyah, antara lain adalah tindakan Muawiyah yang licik dan kotor. Dia berusaha menjauhkan para tokoh dan orang-orang penting dari lingkaran Imam Hasan as dengan memberikan suap dan janji-janji duniawi.
Pada mulanya, Imam Hasan telah menyiapkan sebuah pasukan besar, tetapi beliau kemudian tidak yakin dengan kesetiaan mereka karena beberapa komandan pasukan menolak berperang dengan tentara Syam setelah menerima suap dari Muawiyah.
Dalam menanggapi perilaku sekelompok komandan pasukannya, Imam Hasan as berkata, “Hari ini, karena kedengkian dan dendam, persatuan dan kesepahaman telah hilang di antara kalian. Ketahanan kalian telah hilang dan lisan kalian mulai mengeluh. Hari ini adalah hari di mana kalian lebih mementingkan kepentingan kalian sendiri daripada agama, dan kalian tidak lagi setia.”
Imam Hasan as berada pada situasi yang sangat sulit dan memahami bahwa kerugian perang dengan Muawiyah lebih besar daripada keuntungannya. Untuk itu, beliau menerima perdamaian, tentu saja dengan beberapa syarat.
Butir-butir kesepakatan damai tersebut adalah sebagai berikut:
- Setelah Muawiyah, kekhalifahan akan diserahkan kembali kepada Imam Hasan as. Jika sesuatu terjadi pada beliau, maka Imam Husein as akan menduduki posisi khalifah.
- Muawiyah tidak boleh mengangkat orang lain sebagai penggantinya.
- Bani Umayyah harus berhenti menyebarkan bidah dan menghina serta melaknat Imam Ali as di mimbar-mimbar masjid, dan harus menyebut beliau dengan kebaikan.
- Muawiyah harus memberikan kompensasi satu juta dirham kepada keluarga syuhada yang gugur di barisan Imam Ali as dalam Perang Jamal dan Shiffin.
- Muawiyah wajib memberikan rasa aman kepada para sahabat dan pengikut Imam Ali as di mana pun mereka berada. Harta, jiwa, dan anak-anak mereka harus mendapat perlindungan.
- Muawiyah tidak boleh merongrong Imam Hasan as dan Imam Husein as secara diam-diam ataupun terang-terangan, atau menakut-nakuti para pengikut mereka.
- Muawiyah harus berkomitmen dengan perjanjian yang disepakati dan berjanji tidak menimbulkan persoalan bagi Imam Hasan as, saudaranya, atau salah satu dari Ahlulbait Nabi saw, baik secara diam-diam maupun terang-terangan.
Imam Hasan as berusaha memasukkan sikap politiknya dalam butir-butir kesepakatan itu sehingga dapat meneruskan perlawanan terhadap Muawiyah di sisi lain, dan juga memasukkan poin-poin yang sangat menguntungkan Islam dan kaum Muslim serta berusaha membongkar wajah asli Muawiyah kepada publik.
Imam Hasan as memaksa Muawiyah untuk bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tentu saja, beliau yakin bahwa Muawiyah tidak akan melaksanakan butir-butir kesepakatan itu, tetapi dengan cara ini wajah aslinya akan tersingkap, dan ini termasuk salah satu faktor utama menerima perdamaian dengannya.
Setelah kesepakatan damai, Imam Hasan as menetap sebentar di Kufah dan kemudian berpindah ke kota Madinah. Di Madinah, beliau memulai program-program non-politik dengan memilih gerakan kebudayaan dan pemikiran. Beliau menjelaskan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat. Metode ini memudahkan mereka untuk memilah antara kebenaran dan kesesatan.
Imam Hasan as menjadikan Madinah sebagai basis penting untuk mempromosikan pemikiran Islam dan mendidik para fuqaha, perawi hadis, serta ulama besar. Para pencari ilmu dari berbagai penjuru dunia Islam datang ke Madinah dan berguru kepada beliau.
Pelanggaran Muawiyah terhadap kesepakatan damai mulai terkuak seiring berjalannya waktu. Dia memandang Imam Hasan as sebagai batu sandungan dalam menjalankan beberapa rencana jahatnya. Salah satu agenda Muawiyah adalah mengangkat putranya, Yazid, sebagai penggantinya. Muawiyah ragu-ragu untuk mengambil keputusan yang melanggar kesepakatan damai dengan Imam Hasan as. Dia tahu bahwa jika rencana itu diwujudkan di masa hidup Imam, pasti akan mendapat penentangan keras dari beliau. Untuk itu, Muawiyah mencari segala cara untuk menyingkirkan beliau, salah satunya adalah membujuk istri Imam Hasan as, Ja’dah binti Asy’ats bin Qays.
Diceritakan bahwa Muawiyah menawarkan Ja’dah seratus ribu dirham dengan syarat dia berhasil meracuni suaminya, Imam Hasan as. Selain itu, dia menjanjikan kepada Ja’dah bahwa dia akan dinikahkan dengan Yazid, putra Muawiyah, yang kelak akan dilantik sebagai putra mahkota. Karena ketamakannya pada dunia, Ja’dah menerima tawaran Muawiyah itu, dan dia berhasil membunuh Imam Hasan as dengan cara menuangkan racun ke air minumnya.
*Disadur dari buku karya Ustadz Husain Alkaff – Ahlulbait as, Mazhab dan Thariqah