Oleh Foad Izadi, Professor Studi Amerika di Universitas Teheran
Dalam pidatonya pada 11 Desember 2024, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatulah Ali Khamenei, mengkritik tajam kebijakan standar ganda yang diterapkan Amerika Serikat dan negara-negara Barat terkait pendudukan wilayah oleh rezim Zionis. Dalam pernyataannya, beliau menyoroti pendudukan Israel atas wilayah Suriah, termasuk Dataran Tinggi Golan yang telah lama berada di bawah kendali mereka, dan upaya agresif terbaru untuk memperluas pendudukan ke wilayah lain, bahkan mendekati Damaskus.
Ironisnya, negara-negara Barat yang biasanya lantang mengecam pelanggaran batas wilayah di tempat lain justru memilih bungkam atau bahkan memberikan dukungan terhadap tindakan ini. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa hukum internasional diabaikan dalam kasus tertentu, sementara ditegakkan secara ketat dalam kasus lain?
Hukum Internasional dan Prinsip Dasar Teritorial
Pendudukan wilayah negara lain merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Piagam PBB, dalam Pasal 2 Ayat 4, secara eksplisit melarang penggunaan kekuatan untuk mencaplok wilayah atau melanggar integritas teritorial negara lain. Namun, dalam praktiknya, prinsip ini sering kali dilanggar. Sepanjang sejarah, baik di masa modern maupun kuno, pelanggaran terhadap prinsip ini telah menjadi penyebab utama perang dan konflik besar.
Contoh-contoh sejarah mencakup Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Korea, Perang Vietnam, hingga Perang Teluk Persia pertama ketika Saddam Hussein menginvasi Kuwait. Dalam semua kasus ini, pendudukan wilayah kerap memicu konflik besar yang mengakibatkan jutaan korban jiwa. Sayangnya, penegakan hukum internasional sering kali dipengaruhi oleh kepentingan geopolitik dan bias politik.
Standar Ganda dalam Penegakan Hukum Internasional
Pernyataan Ayatulah Khamenei menyoroti kontradiksi mencolok dalam pendekatan Barat terhadap pendudukan. Ketika Rusia menginvasi Ukraina, negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, bereaksi keras. Mereka menyuplai senjata, menjatuhkan sanksi ekonomi besar-besaran, dan menggelontorkan miliaran dolar untuk mendukung Ukraina. Narasi yang dibangun adalah bahwa tindakan Rusia merupakan pelanggaran berat terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina, yang harus dijawab dengan tindakan tegas.
Namun, pendekatan ini sangat berbeda ketika menyangkut Israel. Pendudukan Israel atas wilayah Suriah, serangan terhadap Gaza, dan tindakan agresif di Lebanon tidak mendapatkan perhatian atau kecaman serupa. Bahkan, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, ketika ditanya tentang pendudukan Israel atas wilayah Suriah, memberikan jawaban mengelak dengan mengatakan bahwa ia bukan bagian dari pemerintah Israel untuk memberikan penjelasan. Pernyataan ini mencerminkan keberpihakan yang jelas dan ketidakseriusan Barat dalam menangani pelanggaran hukum internasional oleh sekutu mereka.
Kasus Ukraina vs Suriah: Kontras yang Mencolok
Krisis Ukraina memberikan gambaran jelas tentang bagaimana Barat memprioritaskan kepentingan geopolitik mereka. Invasi Rusia ke Ukraina dijadikan alasan untuk melibatkan diri secara mendalam, bahkan ketika ada peluang untuk mencapai kesepakatan damai. Pemerintah Ukraina, pada awal konflik, menunjukkan minat untuk bernegosiasi dengan Rusia. Namun, pemerintahan Biden justru menggagalkan upaya ini demi mempertahankan narasi agresi Rusia.
Sebaliknya, dalam kasus Suriah, situasinya berbeda. Israel, dengan alasan keamanan, telah menduduki wilayah Suriah, termasuk mendekati Damaskus. Menurut laporan CNN, pasukan Israel telah mencapai jarak 16 mil dari Damaskus. Jika pelakunya bukan Israel, Barat mungkin sudah menyerukan sidang darurat Dewan Keamanan PBB, menjatuhkan sanksi berat, atau bahkan meluncurkan aksi militer. Namun, dalam kasus ini, pendudukan dibiarkan berlangsung tanpa hambatan, bahkan dengan dukungan tidak langsung dari negara-negara Barat.
Motif Strategis di Balik Pendudukan Suriah
Pendudukan wilayah Suriah oleh Israel memiliki tujuan strategis yang jelas. Serangan terhadap 420 situs di Suriah oleh Israel, serta serangan udara AS di lebih dari 70 lokasi, dirancang untuk melemahkan infrastruktur Suriah. Tindakan ini bertujuan untuk menghalangi kembalinya Suriah ke Poros Perlawanan (Axis of Resistance), sebuah koalisi negara-negara dan kelompok yang menentang dominasi Barat dan Israel di kawasan Timur Tengah.
Ayatulah Khamenei menjelaskan bahwa langkah ini didasarkan pada pemahaman bahwa rakyat Suriah tidak akan pernah menerima pemerintahan boneka yang tunduk pada kepentingan AS dan Israel. Serangan terhadap infrastruktur militer Suriah juga mencerminkan kekhawatiran bahwa senjata-senjata tersebut suatu hari akan digunakan melawan Israel.
Implikasi bagi Kawasan dan Dunia
Pendekatan standar ganda ini memiliki implikasi serius bagi stabilitas kawasan dan kredibilitas hukum internasional. Ketika hukum internasional diterapkan secara selektif, tidak hanya prinsip keadilan yang terancam, tetapi juga kepercayaan terhadap institusi global seperti PBB. Negara-negara berkembang, yang sering kali menjadi korban dari kebijakan ini, harus bersatu untuk menentang standar ganda tersebut dan menuntut penerapan hukum internasional yang adil dan konsisten.
Kesimpulan: Urgensi Melawan Standar Ganda
Fenomena ini menunjukkan bahwa pelanggaran hukum internasional tidak hanya soal agresi, tetapi juga soal siapa yang melakukannya dan siapa yang diam. Ketika kepentingan geopolitik dan ekonomi mendominasi, prinsip-prinsip moral dan hukum sering kali diabaikan. Dalam konteks ini, dunia membutuhkan pendekatan baru yang lebih adil dan merata, di mana setiap pelanggaran terhadap hukum internasional ditangani dengan tegas tanpa memandang siapa pelakunya.
Keadilan global hanya dapat dicapai jika standar ganda dihentikan dan hukum internasional ditegakkan secara konsisten. Tanpa itu, konflik dan ketidakadilan akan terus meluas, merusak upaya menuju perdamaian dan stabilitas dunia.
Sumber: Khamenei.ir