Salah satu bentuk jihad ialah perjuangan batin untuk mengalahkan dimensi hewani dalam diri manusia melalui kemenangan dimensi insani. Perjuangan ini tidak hanya dilakukan dengan kekuatan fisik, tetapi lebih kepada kemenangan roh melalui serangkaian amal perbuatan yang dilandasi keimanan dan ketekunan.
Salah satu kekuatan utama dalam mencapai kemenangan ini adalah salat dan perhatian terhadap kewajiban agama. Salat tidak hanya sebagai ritual ibadah, tetapi juga sebagai sarana menanamkan keimanan emosional (al-iman al-‘athiji) yang tertanam kokoh di hati. Iman yang mendalam kepada mabda’ (prinsip kehidupan) dan ma’ad (kehidupan setelah mati) mampu melunakkan hati dan menaklukkan nafsu amarah. Kemenangan para pemuda di medan pertempuran seringkali didorong oleh kekuatan iman inilah, sehingga pengorbanan nyawa di jalan Allah menjadi sesuatu yang ringan bagi mereka.
Kekuatan penolong kedua adalah kesabaran. Dalam menghadapi segala kesulitan, baik dalam beribadah maupun dalam menolak godaan maksiat, kesabaran memainkan peran penting. Ketika seseorang mampu menahan diri dari perbuatan maksiat, muncul keadaan yang disebut nafsu lawwamah atau nurani akhlak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu.” (QS. Thaha: 25-28). Kesabaran menjadi tameng yang membantu manusia memenangkan pertempuran melawan hawa nafsu.
Kekuatan ketiga adalah tobat. Tobat adalah pertempuran batin yang mendorong manusia untuk kembali ke jalan yang benar, membasuh dosa, dan memperbaiki diri. Proses tobat yang tulus mampu mengikis sisa-sisa kejahatan dalam hati dan menjadikan manusia lebih siap menghadapi tantangan hidup.
Selain itu, kelapangan dada juga menjadi kunci utama dalam menghadapi berbagai rintangan. Hati yang lapang memungkinkan seseorang untuk menanggung tekanan hidup tanpa terjebak dalam rasa sempit yang memicu kesalahan. Semangat untuk selalu membuka diri dalam setiap urusan, seperti yang tertulis dalam surah Al-Insyirah: “Maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain.” (QS. Al-Insyirah: 7). Prinsip ini mengajarkan kita untuk selalu melangkah maju, tanpa merasa lelah atau putus asa.
Motivasi dari luar juga tak kalah penting. Napoleon Bonaparte pernah menyatakan, “Tidak ada dalam kamusku kata ‘saya tidak tahu’, ‘saya tidak bisa’, dan ‘tidak mungkin’.” Semboyan inilah yang mendorongnya untuk mengalahkan 25 juta tentara dan menaklukkan Mesir. Sikap pantang menyerah seperti ini menginspirasi setiap insan untuk terus berusaha dan beristiqamah dalam menghadapi segala tantangan, meskipun pada awalnya kemampuan tampak terbatas.
Sejarah telah menunjukkan bahwa keistiqamahan dan kerja keras mampu mengubah nasib seseorang. Banyak ulama besar yang awalnya tidak tampak cerdas, namun melalui ketekunan mereka mencapai puncak keilmuan. Contoh nyata adalah Maitsam at-Tammar, seorang budak buta huruf yang kemudian mencapai derajat tinggi dalam ilmu dan spiritualitas karena kedekatannya dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS. Meski akhirnya ia ditangkap dan dihukum mati oleh Ibn Ziyad, keberaniannya menyuarakan keutamaan kebenaran menjadikannya simbol kemenangan melawan hawa nafsu.
Perjuangan melawan hawa nafsu jauh lebih berat dibandingkan menaklukkan dunia. Seperti yang diungkapkan oleh Khojah Abdullah al-Anshari, “Tidak heran bila seseorang dapat terbang di udara, karena lalat pun mampu melakukannya. Tidak heran bila seseorang bisa berjalan di atas air, karena jerami pun dapat mengambang. Namun, jika Anda mampu menjadi manusia yang hakiki, itulah pencapaian sejati.” Pesan ini mengingatkan kita bahwa pencapaian terbesar adalah kemenangan atas diri sendiri.
Revolusi Islam di Iran juga menjadi bukti bahwa keistiqamahan dan keyakinan teguh mampu mengatasi segala rintangan. Meskipun banyak yang meragukan kemungkinan revolusi tersebut, Imam Khomeini dengan berani menyatakan bahwa revolusi Islam bukan hanya mungkin, tetapi wajib diperjuangkan. Dengan keteguhan hati dan semangat juang, beliau berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, baik yang nyata maupun yang menentang prinsip kebenaran.
Lebih jauh lagi, peperangan yang terjadi di dalam diri manusia adalah pertempuran yang paling menantang. Rasa putus asa dan keengganan untuk berusaha menjadi musuh terbesar yang dapat menghambat pencapaian impian. Sejarah telah menunjukkan bahwa apa yang dianggap mustahil seringkali berubah menjadi kenyataan ketika didorong oleh usaha dan doa yang tulus.
Rasulullah SAW sendiri menghadapi berbagai rintangan selama sepuluh tahun di Madinah. Meski menghadapi 72 kali peperangan, beliau tidak pernah terjerumus dalam keputusasaan. Dari pukulan, caci maki, hingga penderitaan akibat embargo yang menyebabkan kelaparan dan kematian anak-anak, Rasulullah tetap teguh menyebarkan dakwah. Penolakan terhadap tawaran duniawi demi kebenaran adalah bukti nyata bahwa keberhasilan sejati datang dari keistiqamahan hati.
Mari kita contoh pula Mulla Shaleh al-Mazandarani, yang bahkan pada malam pertama pernikahannya tetap mengutamakan penyelesaian masalah sulit melalui kerja keras dan ilmu pengetahuan. Imam Musa Kazhim AS pun menegaskan, “Jauhilah sifat malas dan bosan, karena keduanya akan menghalangimu dari memperoleh kebajikan dunia dan akhirat.”
Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an agar kita terus berusaha: “Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit daripadanya.” (QS. Al-Muzammil: 2)
Kita diajarkan bahwa kejatuhan suatu bangsa terjadi ketika mereka mengabaikan perintah Allah, sebagaimana Bani Israil yang lebih memilih kemewahan duniawi hingga tersesat di padang pasir selama empat puluh tahun. Kezaliman dan penyimpangan moral, baik berupa tindakan fisik maupun perbuatan seperti ghibah dan fitnah, akan membawa kepada kehancuran, seperti yang diungkap dalam QS. Al-Humazah: 1-4.
Manusia yang terjerumus dalam kemaksiatan pasti akan berakhir dalam kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berjuang melawan hawa nafsu, bekerja dengan sungguh-sungguh, dan menjauhi sifat malas serta putus asa. Dengan semangat itu, keberkahan dunia dan keselamatan akhirat akan semakin dekat untuk kita raih.
Sumber: Jihad Melawan Hawa Nafsu – Ayatullah Husain Mazahiri