Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Hijrah, Perjalanan Meninggalkan Diri

Hijrah bukan hanya soal berpindah tempat. Bukan sekadar soal meninggalkan satu keadaan menuju keadaan yang lain secara fisik. Hijrah sejati adalah perjalanan batin, sebuah langkah besar untuk meninggalkan ego, melepaskan keakuan, dan mendekat kepada Allah.

Hijrah semacam ini adalah proses yang pelan, dalam, dan menuntut keberanian. Karena kita diminta meninggalkan sesuatu yang paling dekat: diri sendiri. Diri yang penuh keinginan, ambisi, dan nafsu. Diri yang selalu ingin menjadi pusat dari segalanya.

Sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an memiliki lapisan makna, manusia pun begitu. Ada orang-orang yang hidupnya mencerminkan sifat-sifat Allah — kelembutan, kejujuran, kasih sayang. Mereka seperti cermin yang memantulkan cahaya-Nya. Tapi ada juga yang masih tertutup, belum sanggup memantulkan cahaya itu. Setiap kita punya potensi itu, tapi belum semuanya sampai.

Dalam sebuah hadis, Nabi Saw bersabda: “Kami adalah nama-nama yang paling indah.” Maksudnya, para nabi dan imam yang suci adalah perwujudan dari sifat-sifat Allah. Mereka sudah melewati proses panjang hingga mampu menghapus keakuan mereka. Hidup mereka sepenuhnya milik Allah. Beda dengan kita yang masih sering dikendalikan keinginan dan ego pribadi.

Allah berfirman:

“Barang siapa yang meninggalkan rumahnya dengan maksud berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh, telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (QS An-Nisa [4]:100)

Ayat ini menyimpan pesan yang sangat dalam. Rumah yang dimaksud bukan hanya rumah tempat tinggal, tetapi juga “rumah diri” — tempat di mana ego, ambisi, dan nafsu kita tinggal. Hijrah berarti meninggalkan rumah itu. Melepaskan diri dari jeratan dunia dan kepentingan pribadi, lalu melangkah menuju Allah dan Rasul-Nya.

Dan siapa pun yang bisa sampai pada tahap itu, pahalanya bukan sekadar surga. Balasannya lebih dari semua kenikmatan yang bisa dibayangkan: yaitu kedekatan dengan Allah. Inilah kebahagiaan sejati — ketika seseorang merasa benar-benar dekat dengan-Nya, bahkan merasa lebur dalam kehadiran-Nya.

Ada orang-orang yang sudah sampai ke sana. Ada juga yang baru memulai langkah pertama. Dan ada pula — mungkin termasuk kita — yang belum benar-benar memulainya.

Kita masih terikat pada dunia dan apa yang ditawarkannya. Kita masih menjadikan diri sendiri sebagai pusat: semua yang kita lakukan, kita lakukan untuk menyenangkan ego kita. Kita masih jarang bertanya: “Apakah ini untuk Allah?”

Sayangnya, banyak dari kita belum menggunakan kekuatan, waktu, dan kemampuan yang Allah berikan untuk mencari-Nya. Kita habiskan semuanya untuk urusan dunia: pekerjaan, uang, pujian, dan kesenangan sesaat.

Padahal, hidup terus berjalan. Waktu terus bergulir. Dan tanpa kita sadari, kita bisa jadi semakin jauh dari Allah — dari sumber sejati kehidupan kita.

Nabi Muhammad Saw pernah menceritakan, saat duduk bersama para sahabat, tiba-tiba terdengar suara. Beliau bersabda: “Itu suara batu yang dilemparkan ke neraka. Selama tujuh puluh tahun ia jatuh, dan baru sekarang sampai ke dasarnya.”

Itu adalah gambaran manusia yang terus jatuh dalam dosa selama hidupnya, tanpa pernah berhenti atau berbalik arah.

Saya pun merenung: mungkin saya juga sudah lama berjalan ke arah yang salah. Mungkin bukan tujuh puluh tahun, tapi delapan puluh, atau bahkan lebih. Tapi jika hari ini saya masih diberi nafas, itu artinya Allah masih memberi kesempatan.

Masih ada waktu untuk berbalik arah.

Masih ada peluang untuk memulai hijrah — bukan hanya pindah secara fisik, tapi bergerak secara batin. Meninggalkan ego, dan mendekat kepada-Nya.

Maka hari ini, saya ingin berharap. Saya ingin bertekad: mulai sekarang, saya ingin berjalan ke arah yang berbeda. Meninggalkan “rumah keakuan” dan memulai perjalanan pulang. Perjalanan menuju Allah.

*Dielaborasi dari buku Rahasia Basmallah – Imam Khomeini

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.