Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Pesan Imam Ali Khamenei ke Putin: Diplomasi Iran Lawan Tekanan Barat

Oleh: Muhlisin Turkan

Kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Sayyid Abbas Araghchi, ke Moskow pada 17 April 2025 bukanlah manuver diplomatik biasa. Ia membawa pesan tertulis dari Pemimpin Revolusi Islam, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, kepada Presiden Rusia Vladimir Putin. Momentum dan substansi pesan ini menggambarkan sebuah strategi tingkat tinggi yang dirancang untuk membentengi poros Teheran–Moskow dari berbagai bentuk tekanan pecah-belah yang dilancarkan Barat, terutama menjelang babak baru negosiasi nuklir Iran–AS di Roma.

Diplomasi Simbolik atau Strategi Bertahan?

Menurut Duta Besar Iran untuk Rusia, Kazem Jalali, pesan Imam Ali Khamenei tidak bersifat privat semata, melainkan ditujukan pula sebagai sinyal kepada komunitas internasional. “Iran menegaskan bahwa hubungan strategisnya dengan Rusia tidak bersifat transaksional, dan tidak tunduk pada fluktuasi diplomasi Barat” (IRNA, 2025). Dalam pernyataan resminya, Kremlin menanggapi positif pesan tersebut dan menegaskan bahwa kedekatan dengan Iran tidak akan terpengaruh oleh relasi Moskow dengan negara-negara lain, termasuk Barat (TASS, 2025).

Kehadiran Araghchi di Moskow hanya sehari sebelum negosiasi tak langsung antara Iran dan Amerika Serikat di Roma (18 April 2025) memberi pesan strategis tersirat: Iran tidak akan menghadap Barat dengan tangan kosong, dan setiap perundingan akan dikoordinasikan dengan poros timurnya terlebih dahulu.

Pakta Strategis dan Kekosongan dari Pihak Iran

Pada Januari 2023, Rusia dan Iran menandatangani Comprehensive Strategic Partnership Agreement, yang mencakup kerja sama jangka panjang di sektor energi, militer, dan perdagangan; menggantikan pendekatan berbasis sanksi dengan mekanisme clearing bilateral dan sistem keuangan alternatif SWIFT (Katz, 2023).

Duma Negara Rusia meratifikasi pakta ini pada Februari 2025, sementara parlemen Iran hingga kini belum menindaklanjutinya (Interfax, 2025). Ketimpangan ini menimbulkan tanda tanya: apakah ada kekhawatiran internal atau tarik-ulur geopolitik domestik yang membuat Iran lambat dalam merespons keseriusan Rusia?

Ruhollah Modabber, analis hubungan Iran–Rusia dari Moscow Institute for Oriental Studies, menilai kelambanan Iran bisa menjadi titik lemah yang dimanfaatkan Barat. “Siklus propaganda yang berusaha menghidupkan kembali narasi sejarah masa lalu antara Iran dan Rusia bertujuan menciptakan distrust internal di kalangan elite dan publik Iran. Ini bagian dari psychological operations Barat,” ujar Modabber dalam wawancara dengan Mehr News (2025).

Perang Propaganda dan Psiko-Diplomasi Barat

Laporan Foreign Policy (2024) mengungkap adanya upaya sistematis lembaga think tank AS dan Eropa untuk mendorong narasi bahwa “Rusia bukan mitra sejati Iran.” Salah satu narasinya adalah bahwa Rusia memanfaatkan Iran untuk kepentingannya di Suriah, namun enggan memberikan bantuan ketika Iran mendapat tekanan ekonomi maksimum.

Namun, fakta di Dewan Keamanan PBB menunjukkan hal sebaliknya. Rusia secara terbuka memveto resolusi-resolusi AS yang menyerang Iran, dan menjadi satu-satunya anggota tetap yang mengecam keras pembunuhan Jenderal Qassim Soleimani pada 2020 (UNSC Records, 2020). Dukungan ini tidak sekadar retoris, tetapi bersifat struktural dalam tatanan multipolar yang ingin dibangun Iran dan Rusia.

Momentum Strategis di Tengah Gejolak Global

Konteks global memperkuat urgensi koordinasi antara Teheran dan Moskow. Serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus pada awal April 2025 (Al Mayadeen, 2025) serta pergeseran sikap China dalam forum Shanghai Cooperation Organization memperlihatkan bahwa tatanan global sedang bergerak cepat, dan Iran tidak bisa menghadapinya sendirian.

Dalam situasi ini, sinyal Ayatullah Khamenei kepada Putin bisa dibaca sebagai bentuk counter-narrative terhadap upaya isolasi Iran. Ini bukan sekadar komunikasi antarnegara, melainkan pesan geopolitik lintas poros, bahwa Iran tidak akan masuk kembali ke orbit Barat hanya demi janji manis pencabutan sanksi.

Menjaga Poros Timur di Tengah Retorika Damai Barat

Alih-alih merayu Barat untuk “menebus kesalahan”, strategi diplomasi Iran yang ditunjukkan melalui penguatan poros dengan Rusia dan China mencerminkan defensive diplomacy. Dunia pasca-hegemonik tidak dibangun dengan negosiasi yang timpang, melainkan melalui koalisi berdasarkan saling hormat, risiko bersama, dan pemahaman realitas geopolitik.

Seperti disampaikan oleh Araghchi: “Kami tidak menunggu sanksi dicabut untuk bekerja sama. Kami membangun kekuatan dari dalam, bersama mereka yang tidak menusuk dari belakang.” []

Referensi:

  1. Al Mayadeen (2025). Israel strikes Iranian consulate in Damascus.
  2. Foreign Policy (2024). Iran-Russia Ties: Real Alliance or Strategic Convenience?
  3. Interfax (2025). Russia’s Duma ratifies strategic partnership pact with Iran.
  4. IRNA (2025). Iran envoy: Leader’s message to Putin a strategic signpost.
  5. Mehr News (2025). Expert: West using historical distrust to undermine Iran-Russia ties.
  6. TASS (2025). Kremlin welcomes Iran’s renewed strategic coordination.
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT