Tidak ada satu pun fase dalam kehidupan Imam Jafar ash-Shadiq as yang tidak mencerminkan keindahan Islam dalam bentuknya yang paling luhur. Seperti para imam maksum lainnya, beliau bukan sekadar penyampai risalah Ilahi, tetapi pancaran nyata dari ajaran tersebut: dalam tutur kata, dalam perilaku, dalam sikap hidup, dan dalam kesetiaan terhadap amanah yang diwariskan dari datuk mereka, Rasulullah Saw.
Lahir dan dibesarkan di kota suci Madinah, Imam ash-Shadiq as hidup selama 65 tahun sebelum syahid pada tanggal 25 Syawal 148 H, dan dimakamkan di Baqi’, di sisi makam para leluhur sucinya dari Ahlul Bait as. Kehidupan beliau terbentang dalam tiga generasi besar: dua dekade bersama sang kakek, Imam Ali Zainal Abidin as; 19 tahun bersama sang ayah, Imam Muhammad al-Baqir as; dan 34 tahun masa Imamah yang penuh cahaya, yang menjadi tonggak penting bagi pembentukan mazhab Ahlul Bait yang kokoh hingga hari ini.
Saat Imam Zainal Abidin as syahid, Imam Jafar ash-Shadiq baru berusia 15 tahun. Dan ketika ayahandanya, Imam al-Baqir as, wafat, beliau telah menginjak usia 34 tahun—usia matang yang telah ditempa dalam pelukan ilmu, zuhud, dan hikmah para imam suci. Sejak masa muda, beliau telah bersinar sebagai ulama agung yang tawaduk, dan pemimpin spiritual yang penuh kasih.
Peristiwa tragis Karbala yang mengguncang dunia Islam telah menjadi titik balik sejarah. Rezim Bani Umayyah yang tiran mulai kehilangan legitimasi di mata rakyat. Kejatuhan mereka dan kemunculan Bani Abbasiyah menciptakan ruang baru yang lebih terbuka untuk penyebaran ajaran Ahlul Bait. Imam Jafar ash-Shadiq as, dengan kebijaksanaan dan visi yang jauh ke depan, mengubah kondisi ini menjadi kesempatan emas untuk membangun institusi keilmuan Islam yang belum pernah ada sebelumnya.
Beliau mendirikan madrasah besar yang melahirkan ribuan murid dari berbagai penjuru dunia Islam. Tak kurang dari empat ribu pelajar duduk di bawah naungan ilmunya. Di antara mereka, terdapat tokoh-tokoh monumental seperti Jabir bin Hayyan sang bapak kimia, Hisham bin al-Hakam yang dikenal sebagai pemikir rasionalis besar Syiah, dan masih banyak lagi lainnya. Yang menakjubkan, tak seorang pun dari para muridnya—dalam seluruh kesaksian sejarah—menyebut satu cela pun dalam akhlak Sang Imam. Kepribadian beliau begitu luhur, akhlaknya sedemikian sempurna, hingga beliau menjadi panutan hidup dalam seluruh aspek: makan, berjalan, berbicara, bersosialisasi, dan mendidik.
Imam ash-Shadiq as adalah pancaran etika Rasulullah Saw itu sendiri. Perlakuan beliau terhadap anak-anak dan sahabat-sahabatnya sama halusnya, sama lembutnya, sama adilnya. Islam tidak hanya terdengar dari lisannya—Islam hidup dalam tubuh dan jiwa beliau, dalam diamnya, dalam senyumnya, dalam langkah-langkahnya yang menghidupkan ruh umat.
Sungguh, dalam keluarga suci Nabi Saw, para imam bukanlah sekadar penerus. Mereka adalah laksana cermin bening yang memantulkan cahaya yang sama dari sumber yang satu. Setiap generasi melanjutkan tugas generasi sebelumnya tanpa penyimpangan sedikit pun dalam keyakinan, akhlak, atau arah perjuangan. Mereka berdiri tegak dalam satu barisan langit, satu misi suci: membebaskan manusia dari kegelapan kebodohan, penyimpangan, dan penindasan batin.
Ayatullah al-‘Uzhma Sayyid Ali Khamenei dalam berbagai kesempatan, sering mengingatkan bahwa Imam ash-Shadiq as bukan hanya alim yang agung, tetapi juga peletak dasar kebangkitan peradaban Islam sejati. Dalam salah satu pernyataan beliau yang mendalam, beliau menyampaikan:
“Imam Jafar Shadiq as telah membangun fondasi kokoh mazhab Ahlul Bait dengan limpahan ilmu dan keagungan akhlak. Apa yang kita warisi hari ini adalah buah dari benih yang beliau tanamkan dengan penuh ketulusan dan pengorbanan.”
Dalam kesempatan lain, beliau menegaskan bahwa:
“Peradaban Islam yang hakiki tidak akan bangkit jika kita berpaling dari ajaran para Imam Ahlul Bait. Imam ash-Shadiq as adalah simbol sempurna dari perpaduan ilmu dan amal. Dari tangan beliau, dunia Islam menyerap cahaya keilmuan yang tak pernah padam.”
Ayatullah Khamenei juga menekankan bahwa mengenang Imam ash-Shadiq as tidak cukup dengan pujian atau ratapan:
“Menjadi pengikut Imam Shadiq berarti menjadikan hidup beliau sebagai peta jalan kita. Meneladan perjuangannya dalam membangun masyarakat berilmu, memperjuangkan keadilan, serta menanamkan akhlak mulia di tengah umat.”
Syahadah Imam ash-Shadiq as adalah duka mendalam bagi sejarah umat. Namun warisan keilmuan, spiritual, dan moral yang beliau tinggalkan telah menjadi pelita yang terus menyala. Mazhab Ja’fari yang beliau kokohkan kini bukan hanya mazhab fiqih—ia adalah mazhab kehidupan: mazhab cinta, mazhab perjuangan, mazhab cahaya.
Di tengah gelombang zaman yang membawa krisis moral dan identitas, sosok Imam Jafar ash-Shadiq as berdiri kokoh sebagai pelita yang tak pernah padam—menerangi jalan siapa pun yang ingin kembali pada Islam yang hakiki, yang lembut tapi teguh, yang mendalam tapi membumi, yang Ilahi dan manusiawi sekaligus.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, sang imam ilmu dan akhlak, yang hidupnya adalah ibadah, kata-katanya adalah hikmah, dan syahidnya adalah kebangkitan.
Sumber: imam-khomeini.ir