Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Jejak Strategis Ahlul Bait: Dari Perjanjian Imam Hasan hingga Madrasah Imam Shadiq

Di antara lembaran sejarah Islam, tak ada garis perjuangan yang seistiqamah Ahlul Bait Rasulullah Saw. Dari medan Shiffin hingga lorong-lorong Kufah dan Damaskus, dari Madinah hingga pengasingan di Baghdad, mereka hadir bukan sekadar sebagai simbol spiritualitas, tetapi sebagai peta jalan keadilan dan kemanusiaan. Perjuangan mereka bukan sesaat, melainkan satu strategi jangka panjang yang berjalan di atas rel Ilahi: sabar yang aktif, perlawanan yang rasional, dan dakwah yang menembus waktu.

Dalam salah satu pidatonya pada peringatan syahadah Imam Ja’far Shadiq as, Ayatullah Khamenei mengulas kembali strategi besar Ahlul Bait yang jarang dipahami secara utuh. Beliau mengungkap sebuah riwayat yang menyebut bahwa Allah telah menetapkan tegaknya pemerintahan Ilahi pada tahun 70 Hijriah. Namun, karena tragedi Karbala dan kelalaian umat, rencana Ilahi itu ditangguhkan hingga tahun 140 H — zaman Imam Shadiq hidup.

Pernyataan ini membuka tabir bahwa para Imam bukan tokoh pasif yang menunggu mukjizat langit. Mereka memiliki bacaan tajam terhadap konteks sejarah. Ketika Imam Hasan al-Mujtaba as menandatangani perjanjian damai dengan Muawiyah, sebagian sahabatnya gusar. Mereka menganggapnya sebagai bentuk menyerah. Namun Imam menjawab, “Barangkali ini adalah ujian bagi kalian, dan kenikmatan sesaat bagi mereka.” Kalimat ini menegaskan bahwa kekuasaan batil tidak akan abadi, dan bahwa strategi Ahlul Bait tidak pernah reaktif. Imam Hasan menyelamatkan darah pengikutnya untuk menjaga kelangsungan misi kenabian, bukan karena takut berperang.

Namun kemudian, pada tahun 61 Hijriah, ketika topeng-topeng kekuasaan telah jatuh, dan umat terseret dalam kelalaian yang lebih dalam, Imam Husein as memilih bangkit. Karbala bukanlah hasil kegagalan politik, tetapi buah dari kejelian membaca waktu. Dengan darahnya, Imam Husein membongkar wajah tirani yang mengklaim legitimasi Islam. Tapi darah itu belum cukup. Maka Sayidah Zainab as tampil sebagai penerus misi: menyuarakan makna pengorbanan, mempermalukan para tiran di singgasana mereka, dan menanamkan narasi kebenaran ke dalam hati umat yang sedang tersesat.

Ayatullah Khamenei menegaskan bahwa inilah pelajaran paling besar dari para Imam: keteguhan dan logika. Sayidah Zainab tidak meratap di hadapan Yazid. Ia berbicara, berhujah, dan membongkar kebohongan di ruang publik. Beliau bukan hanya saksi Karbala, tetapi juga komunikator kebangkitan. Maka dari itu, siapa pun yang memilih untuk teguh dan logis dalam membela kebenaran hari ini — baik di Gaza, Lebanon, maupun tempat lain — sejatinya sedang mengikuti jejak Ahlul Bait.

Perjuangan kemudian dilanjutkan oleh Imam Ja’far Shadiq as, sosok yang hidup dalam tekanan politik Abbasiyah yang membungkus represi dengan jubah agama. Di masa ini, strategi Ahlulbait tidak lagi dengan pedang, tetapi dengan pena dan argumentasi. Imam Shadiq menyadari bahwa sebelum perubahan politik terjadi, kesadaran umat harus dibangun. Maka beliau menciptakan madrasah besar yang melahirkan lebih dari 4.000 perawi dan ilmuwan — termasuk beberapa tokoh yang bahkan menjadi rujukan Ahlusunah seperti Abu Hanifah. Namun, bukan berarti umat di masa itu sepenuhnya mengerti arah perjuangan beliau.

Sahabat dekat Imam Shadiq seperti Zurarah bahkan meyakini bahwa beliau akan duduk di atas mimbar kekuasaan. Pertanyaan “Mengapa Anda tidak bangkit?” kerap diajukan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Imam menjawab bahwa karena berita ini telah tersebar, maka Allah menundanya. Inilah momen penting dalam sejarah: ketika kurangnya kedewasaan politik umat menyebabkan hilangnya peluang sejarah. Imam tidak sedang menyalahkan semata, tetapi memperingatkan bahwa dalam perjuangan hakiki, ketidaksabaran dan kebocoran informasi dapat menghancurkan segalanya. Sejarah tidak hanya digerakkan oleh musuh, tetapi juga oleh kelalaian orang-orang yang mestinya berada di barisan kebenaran.

Sayangnya, hingga hari ini, banyak dari kita masih asing dengan kehidupan para Imam. Kita mengenal nama-nama mereka, kita berduka pada hari syahadah mereka, tetapi tidak memahami strategi mereka. Kita mudah tergoda narasi-narasi lemah yang bahkan dinukil dari para pembohong istana seperti Rabi’, pelayan Manshur. Bahkan ada kisah yang menyebut bahwa Imam Shadiq memohon ampun kepada Manshur, menyebutnya “Wahai sepupuku, maafkanlah kami seperti para nabi memaafkan.” Ayatullah Khamenei menolak keras kisah semacam ini. Beliau menegaskan bahwa Imam tidak akan pernah berbicara kepada penguasa zalim dengan nada tunduk. Cerita itu hanyalah rekayasa untuk menghancurkan semangat perjuangan Islam.

Di titik inilah kita perlu kembali merenung: apa makna mencintai Ahlul Bait? Apakah cukup dengan menangisi Karbala, mengibarkan panji hitam, dan menyesali sejarah? Ataukah kita justru harus belajar dari strategi mereka — bagaimana bersikap sabar, cermat, dan rasional dalam membela kebenaran?

Saat ini, dunia Islam kembali dilanda fitnah. Dari Palestina hingga Yaman, umat Islam sedang diuji. Tetapi ada pula kelompok-kelompok yang menolak tunduk, yang memilih melawan, yang menolak kompromi murahan. Mereka tidak hanya mewarisi semangat Imam Husein, tetapi juga logika Imam Shadiq. Mereka tidak gegabah, tidak emosional. Mereka memahami bahwa jalan kebenaran membutuhkan ilmu, keteguhan, dan kesabaran panjang.

Imam Shadiq as pernah berkata, “Jadilah perhiasan bagi kami, jangan menjadi aib bagi kami.” Pesan ini bukan sekadar nasihat akhlak, melainkan pedoman politik, sosial, dan spiritual. Dalam dunia yang bising oleh propaganda dan narasi palsu, kita dituntut untuk menjadi representasi luhur dari ajaran Ahlulbait. Kita harus berbicara dengan ilmu, berdakwah dengan hujjah, dan bergerak dengan strategi.

Warisan Ahlul Bait bukan hanya air mata, tetapi juga akal sehat. Bukan hanya syahadah, tetapi juga madrasah. Di sinilah letak kekuatan Islam yang sejati — dan tugas kita adalah menjaganya, meneruskannya, dan menyebarkannya dengan penuh hikmah.


Referensi

  1. Al-Mufid, Muhammad ibn Muhammad. Kitab al-Irshad: The Book of Guidance into the Lives of the Twelve Imams. Trans. I.K.A. Howard. Qum: Ansariyan Publications, 2001.
  2. Kulayni, al-. Usul al-Kafi. Vol. 1. Qum: Dar al-Hadith, 2005. (khususnya bagian tentang bab Imamah dan riwayat dari Imam Shadiq as)
  3. Shaykh Saduq. Kamal al-Din wa Tamam al-Ni‘mah. Qum: Mu’assasah al-Nashr al-Islami, 1993. (tentang takdir dan penundaan rencana Ilahi setelah Karbala)
  4. Madelung, Wilferd. The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge University Press, 1997. (untuk konteks politik seputar Imam Hasan as dan perjanjian damai dengan Muawiyah)
  5. Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realities of Islam. London: Allen & Unwin, 1966. (tentang pendekatan rasional Ahlulbait dan dakwah intelektual)
  6. Khamenei, Ayatollah Sayyid Ali. Selected Speeches and Messages. Office for the Preservation and Publication of the Works of Ayatollah Khamenei. (kutipan pidato 24 April 2025 tentang Imam Ja’far Shadiq)
  7. Bahmanpour, Mohammad Ali. “Imam Ja‘far al-Sadiq’s Contribution to Islamic Thought.” Journal of Shi‘a Islamic Studies, Vol. 3, No. 2 (2010): 33–51.
  8. Amir-Moezzi, Mohammad Ali. The Divine Guide in Early Shi’ism: The Sources of Esotericism in Islam. Albany: SUNY Press, 1994. (untuk konsep takdir, waktu Ilahi, dan peran Ahlulbait)
  9. Haeri, Shaykh M. The Life and Teachings of Imam Ja‘far al-Sadiq. London: ICAS Press, 2007.
  10. Jafri, S.H.M. The Origins and Early Development of Shi’a Islam. Oxford University Press, 1979.
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT