Oleh: Sayyid Muhammad Baqir Sadr – Syahadat Kedua
Setiap agama lahir membawa ciri yang membedakannya dari ajaran lain. Ia hadir bukan hanya sebagai sistem ibadah atau etika, tetapi sebagai cara pandang terhadap kehidupan secara menyeluruh. Islam, dalam hal ini, menunjukkan jati dirinya lewat tiga pilar pokok: spiritualitas, rasionalitas, dan standar hidup yang bertumpu pada ridha Ilahi. Ketiga pilar ini membentuk watak khas Islam yang relevan menjawab tantangan zaman.
Spiritualitas yang Memandu, Bukan Meminggirkan
Islam menempatkan spiritualitas sebagai bingkai besar dalam memandang dunia. Tapi spiritualitas yang ditawarkan bukanlah jalan menjauhi kenyataan, melainkan cara menyelami hakikat kehidupan. Alam tidak sekadar materi, melainkan pancaran dari kekuasaan Tuhan. Maka setiap fenomena—dari embusan angin hingga denyut nadi manusia—menjadi isyarat akan kebesaran-Nya.
Namun penting ditekankan, spiritualitas dalam Islam tidak menafikan realitas fisik. Tubuh dan ruh, dunia dan akhirat, diakui sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Semua yang ada, baik materi maupun nonmateri, berada dalam cakupan ciptaan Allah dan saling terikat oleh kehendak-Nya. Dengan cara pandang ini, dunia tidak menjadi ruang yang kering dan asing, tapi tempat manusia bertumbuh sekaligus bersujud.
Di tengah arus sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik, dan gelombang spiritualisme yang kadang menjauhi realitas sosial, pendekatan Islam menawarkan keseimbangan: hidup di dunia dengan jiwa yang terhubung ke langit.
Rasionalitas sebagai Jalan Tengah
Sejarah pemikiran memperlihatkan dua kutub ekstrem. Di satu sisi, kaum rasionalis menuhankan akal, menganggapnya sebagai alat tunggal untuk mencapai kebenaran. Di sisi lain, kaum eksperimentalis menolak peran akal, hanya mengandalkan pengalaman indrawi. Keduanya jatuh dalam jebakan: yang pertama terlalu tinggi melambung, yang kedua terlalu rendah membumi.
Kaum rasionalis sering memaksakan akal untuk menjawab hal-hal di luar jangkauannya. Mereka terjebak dalam teori-teori yang sulit diuji. Sebaliknya, kaum eksperimentalis menyempitkan realitas hanya pada apa yang bisa dilihat, disentuh, dan diukur, lalu mengabaikan dimensi-dimensi hakikat yang tak kasatmata.
Islam mengambil jalan tengah. Ia tidak menafikan eksperimen, tetapi menempatkan akal sebagai penyaring dan pengarahnya. Akal diberi kedudukan mulia, namun tetap diajak sadar akan batas kemampuannya. Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan hati yang memahami. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
Di sini, akal dan pengalaman tidak dipertentangkan, tetapi disinergikan. Rasionalitas Islam bukan sekadar cara berpikir, tapi jalan menuju pengenalan hakikat.
Ridha Allah, Tolok Ukur Kehidupan
Setiap masyarakat membutuhkan standar moral untuk menilai benar dan salah. Dalam sejarah filsafat, tolok ukur itu silih berganti: dari kenikmatan pribadi hingga manfaat sosial. Namun semuanya menyimpan kelemahan. Ukuran yang berubah-ubah ini kerap menjadi sumber konflik, bahkan kehancuran.
Islam menawarkan standar yang lain: ridha Allah. Tolok ukur ini bersifat universal, mencakup seluruh aspek kehidupan—politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ia tidak bergantung pada mayoritas atau selera zaman, tetapi pada nilai-nilai yang tetap dan kokoh.
Saat manusia menjadikan ridha Ilahi sebagai kompas, orientasi hidupnya pun berubah. Persaingan tidak lagi demi ambisi pribadi, melainkan untuk menjadi manusia terbaik di hadapan Tuhan. Masyarakat yang dibangun di atas prinsip ini akan lebih tenang, lebih bersatu, dan lebih beradab. Perbedaan tetap ada, tetapi tidak melahirkan permusuhan. Kompetisi tetap berlangsung, tapi dalam kerangka kebaikan.
Inilah kekuatan utama tolok ukur Islam: ia tidak terjebak dalam improvisasi yang memicu kontradiksi. Ia juga tidak mengorbankan spiritualitas demi materi. Sebaliknya, ia menggabungkan keduanya dalam harmoni yang menenteramkan.
Menyatukan Ketiganya
Spiritualitas, rasionalitas, dan ridha Ilahi bukan tiga entitas yang berdiri sendiri. Ketiganya saling menopang dan menguatkan. Pandangan spiritual melandasi cara berpikir, akal menyaring dan menata informasi, dan semuanya diarahkan pada satu tujuan: mendapatkan ridha Allah.
Dalam zaman yang serba terpecah ini, ajaran Islam hadir menawarkan satu jalan yang menyatukan kepala, hati, dan tindakan. Bukan dengan retorika kosong, tapi dengan sistem hidup yang menyeluruh.
Saat dunia mencari pegangan dalam badai moral dan krisis makna, Islam menyodorkan fondasi yang telah teruji waktu. Bukan untuk mengungguli yang lain, tapi untuk mengajak kembali pada fitrah: menjadi manusia seutuhnya.