Dalam sejarah panjang Islam, para Imam dari Ahlul Bait Rasulullah SAW memainkan peran kunci dalam menjaga keaslian ajaran agama dan menghadirkan wajah Islam yang lembut namun tegas, spiritual sekaligus rasional. Di antara mereka, Imam Ali bin Musa ar-Ridha as menempati posisi istimewa. Meski hidup dalam bayang-bayang kekuasaan Abbasiyah yang represif, Imam Ridha mampu memperluas pengaruh Islam sejati hingga menjangkau relung-relung masyarakat yang tak tersentuh struktur resmi agama.
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dalam salah satu ceramahnya, menyebut bahwa “kita tidak bisa memahami posisi spiritual para Imam, apalagi menggambarkannya dengan kata-kata.” Namun yang bisa kita lihat, lanjut beliau, adalah jejak historis dan keteladanan praktis mereka yang menjadi pelajaran abadi. Kehidupan Imam Ridha adalah salah satu contoh cemerlang dari itu.
Imam Ridha lahir pada tahun 148 H, tahun wafatnya Imam Ja’far Shadiq (as), dan syahid pada tahun 203 H. Dalam rentang 55 tahun tersebut, sekitar 20 tahun dijalani dalam masa Imamah. Jika dilihat dari durasi, masa Imamah beliau tergolong singkat. Namun dalam waktu yang terbatas itu, beliau berhasil mengubah wajah pemikiran keislaman dan memperkenalkan kembali prinsip-prinsip Islam yang bersumber dari Ahlulbait, bukan dari kekuasaan.
Ayatollah Khamenei menggambarkan masa ini sebagai fenomena luar biasa. Ia berkata, “Jika Anda perhatikan, Anda akan melihat bahwa dalam waktu sesingkat itu, pengaruh Imam Ridha atas dunia Islam sangat besar. Ia memperdalam makna sejati Islam dan membantu masyarakat untuk mengenal Ahlul Bait serta ajaran mereka.” Pengaruh ini digambarkan seperti samudra luas dan dalam.
Ketika Imam Ridha mulai menjabat sebagai Imam, kondisi sosial-politik sangat mencekam. Rezim Harun al-Rasyid dikenal bengis, sehingga para sahabat Imam pun khawatir akan keselamatan dan ruang geraknya. Sebagian dari mereka bertanya, “Apa yang bisa dilakukan oleh Ali bin Musa dalam lingkungan yang penuh penindasan seperti ini?” Namun waktu membuktikan bahwa kekuatan spiritual dan intelektual Imam Ridha jauh melampaui batas-batas politik.
Sebagai bukti, Ayatullah Khamenei mengangkat kisah De’bel al-Khuzai, penyair kenamaan yang menciptakan qasidah pujian untuk Imam Ridha. Ia membacakannya di hadapan sang Imam di Merv, Khurasan, dan mendapatkan penghargaan. Tak lama kemudian, dalam perjalanan menuju Kufah dan Baghdad, kafilah De’bel dirampok oleh sekelompok bandit. Namun peristiwa itu berubah tak terduga. Sang kepala perampok ternyata hafal salah satu bait qasidah De’bel, yang baru saja dibacakan sebulan sebelumnya.
Ketika De’bel mengungkapkan jati dirinya, kepala perampok itu terkejut dan serta-merta menghormatinya. Ia berkata, “Karena orang ini ada di antara kalian, kami kembalikan semua harta kalian.” Hanya karena pujian kepada Imam Ridha yang menyebar cepat dan menyentuh kalbu—bahkan kalbu seorang perampok—para musafir selamat dan dihormati. Ayatullah Khamenei menekankan bahwa meski ini tampak sebagai peristiwa kecil, maknanya sangat besar: “Ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya pengaruh gerakan Imam Ridha dalam mempromosikan ajaran Ahlul Bait.”
Pada masa itu, puisi adalah media komunikasi paling efektif. Maka, tersebarnya qasidah De’bel dalam waktu singkat menunjukkan betapa kuatnya atmosfer kultural yang berhasil dibangun Imam Ridha. Bahkan di tengah tekanan Abbasiyah, kecintaan kepada Ahlul Bait telah hidup di hati umat. Sebagaimana dikatakan Ayatullah Khamenei, “Cinta kepada keluarga Rasul hidup di hati semua orang. Keberadaan Imam dalam komunitas Islam dirasakan oleh semua.”
Imam Ridha juga menjadi simbol migrasi spiritual. Kepergian beliau dari Madinah menuju Merv—meskipun dipaksa oleh Ma’mun Abbasiyah—telah membuka pintu bagi penerimaan Ahlul Bait di wilayah Iran. Menurut Ayatullah Khamenei, migrasi ini memiliki dimensi positif: “Karena permintaan dan penerimaan masyarakat terhadap keluarga Rasulullah Saw, anak-anak para Imam menuju Iran. Ini menunjukkan pencapaian spiritual dan kultural yang dalam.”
Meskipun niat awal Ma’mun bukan untuk membunuh Imam, tetapi hanya untuk menjinakkan gerakan Ahlul Bait, pada akhirnya ia merasakan ancaman ideologis yang besar. Maka, ia meracuni Imam Ridha dan menguburkannya jauh dari tanah kelahirannya. Namun justru di sanalah, di kota yang kini dikenal sebagai Masyhad, pengaruh Imam Ridha semakin abadi. Ayatullah Khamenei menyebutnya sebagai “rekayasa Ilahi.” Ma’mun ingin menjauhkan beliau dari umat, tapi kehendak Tuhan menjadikan beliau pusat ziarah dan cinta sejati.
Dalam era modern ini, warisan Imam Ridha sangat relevan. Ketika Islam sering disalahpahami sebagai agama kekerasan, padahal ia membawa rahmat dan hikmah, kita perlu menengok kembali strategi spiritual dan budaya Imam Ridha: membumikan nilai-nilai Islam melalui ilmu, cinta, dan adab. Sebuah ajakan untuk berpikir dan bertindak dengan tenang, bukan dengan kemarahan; dengan kebijaksanaan, bukan dengan kekuasaan.
Warisan Imam Ridha tidak dibangun dengan pedang, tetapi dengan pena, akhlak, dan keteladanan. Dan hari ini, kita sebagai pewaris spiritualnya, bertanggung jawab untuk menjaga samudra pengaruh itu tetap dalam, luas, dan mencerahkan.
Sumber: Khamenei.ir