Dalam perjalanan ruhani manusia menuju kesempurnaan, terdapat banyak rintangan halus yang sering kali tak disadari, namun begitu mematikan. Salah satu di antaranya adalah ghibah—sebuah kebiasaan lisan yang tampak ringan, namun dalam pandangan Islam, menjadi dosa besar yang dapat menghanguskan amal-amal kebajikan. Dalam karya agungnya Arba’in Hadits atau 40 Hadis, Imam Khomeini qaddasallahu sirrah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap penyakit ini.
Ghibah: Memakan Daging Saudara Sendiri
Imam Khomeini memulai pembahasan hadis ke-9 dengan sebuah sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dalam banyak kitab, termasuk Shahih Muslim dan al-Kāfī:
“Apakah kalian tahu apa itu ghibah?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Beliau bersabda: “Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.”
Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika apa yang aku katakan benar?”
Rasulullah saw menjawab:
“Jika yang engkau katakan benar, maka engkau telah mengghibahnya. Namun jika tidak benar, maka engkau telah memfitnahnya (buhtan).”
Dengan tegas, Imam Khomeini menyatakan bahwa ghibah adalah luka yang diciptakan oleh lidah namun melukai ruh dan kehormatan orang lain, bahkan lebih tajam dari senjata. Ia bukan sekadar membicarakan seseorang, tetapi sebuah pelanggaran terhadap hak-hak saudara seiman. Karena itu, dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan perbuatan ini dengan perumpamaan yang mengerikan:
“Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik.” (QS. al-Ḥujurāt: 12)
Ayat ini bukan sekadar metafora retoris. Menurut Imam Khomeini, ini adalah cermin dari realitas batin ghibah: ia adalah kanibalisme ruhani.
Penyebab Ghibah: Lisan yang Dikendalikan Hawa Nafsu
Imam Khomeini membongkar akar psikologis dari ghibah. Ia menyebut bahwa perbuatan ini lahir dari berbagai penyakit hati yang tersembunyi, seperti:
- Kebencian dan permusuhan terhadap orang yang dibicarakan.
- Kesombongan, yang mendorong seseorang merasa lebih baik dari orang lain.
- Iri hati, yang membakar hati dan menjadikan lisan sebagai senjata untuk menjatuhkan.
- Kebiasaan sosial, yakni mengikuti arus lingkungan yang senang membicarakan aib orang.
- Pencitraan religius, dengan dalih menasihati padahal sejatinya ingin merendahkan.
Sering kali seseorang menyamarkan ghibah dalam bungkus nasihat atau amar ma’ruf. Misalnya, ia berkata, “Saya tidak bermaksud menjelekkan, hanya saja dia memang sering membuat masalah.” Imam Khomeini mengingatkan bahwa ghibah yang dibungkus dengan niat baik tetaplah ghibah jika intinya adalah menyebar keburukan seseorang.
Api yang Menghanguskan Amal
Salah satu aspek paling menakutkan dari ghibah, menurut Imam Khomeini, adalah bahwa ia membakar habis pahala amal ibadah. Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far ash-Shadiq a.s., disebutkan:
“Orang yang mengghibah saudaranya sesama Muslim, maka puasa dan salatnya tidak akan diterima selama 40 hari kecuali saudaranya itu memaafkannya.”
Imam Khomeini menegaskan bahwa amal manusia itu ibarat barang berharga, dan ghibah adalah pencuri yang menyedot semua nilai dari amal itu. Bahkan dalam banyak riwayat disebutkan bahwa pada hari kiamat, pelaku ghibah akan menyerahkan seluruh pahala salat, puasa, dan zakatnya kepada orang yang ia gunjing. Ia menjadi muflis (bangkrut) di hadapan Allah.
Terkadang Ghibah Dibolehkan?
Dalam kitab ini, Imam Khomeini juga menjelaskan bahwa Islam, sebagai agama yang sempurna, tidak bersifat kaku dalam semua keadaan. Terdapat pengecualian dalam hal ghibah, antara lain:
- Mengadukan kezaliman kepada hakim atau wali agama.
- Memberi peringatan kepada seseorang jika orang lain bisa terkena bahaya (misalnya dalam urusan pernikahan atau bisnis).
- Menyebutkan aib orang fasik yang terang-terangan melakukan dosa.
- Dalam pengadilan, jika diperlukan untuk menyatakan kebenaran.
- Ketika seseorang dikenal dengan ciri tertentu (misalnya “si buta”) dan tak ada cara lain untuk menyebutnya.
Namun, Imam Khomeini menekankan bahwa niat dan batasan syariat harus benar-benar dijaga. Jika salah niat, maka pengecualian ini berubah menjadi jebakan setan.
Tobat dari Ghibah: Memulihkan Luka yang Tak Terlihat
Salah satu poin penting dari pembahasan Imam Khomeini adalah bagaimana cara bertaubat dari ghibah. Karena ghibah tidak hanya dosa terhadap Allah, tetapi juga terhadap sesama manusia, maka tobatnya pun harus dilakukan dalam dua sisi:
- Tobat kepada Allah dengan penuh penyesalan, istighfar, dan janji untuk tidak mengulang.
- Meminta maaf kepada orang yang digunjing, jika memungkinkan. Jika tidak bisa karena alasan tertentu, maka sebaiknya beristighfar untuknya dan bersedekah atas namanya.
Imam Khomeini dengan penuh kelembutan spiritual berkata, “Jangan biarkan lidahmu mengkhianatimu dalam kegelapan. Setiap kata yang kau ucapkan akan kembali padamu di hadapan Tuhanmu.”
Menjaga Lidah, Menjaga Jalan Menuju Allah
Sebagai penutup, Imam Khomeini mengajak setiap mukmin untuk bersungguh-sungguh menjaga lisannya. Lidah adalah cermin hati. Jika hati dipenuhi nur, maka lidah pun akan memancarkan cahaya. Tapi jika hati dipenuhi penyakit, maka lidah menjadi alat kehancuran.
Beliau berkata:
“Wahai orang yang mengira telah melangkah di jalan Allah! Apakah mungkin engkau bisa sampai kepada-Nya, sementara lidahmu mencabik kehormatan saudaramu, dan hatimu diracuni kebencian?”
Ghibah bukan hanya dosa, tetapi penghalang terbesar dalam perjalanan suluk menuju Allah. Ia membungkus diri dalam keakraban majelis, dalam tawa obrolan, dalam kepura-puraan nasihat. Namun hakikatnya adalah kezaliman ruhani yang membekas dalam catatan amal.
Karena itu, marilah kita bangun dari kelalaian. Mari jaga lidah kita seperti menjaga nyawa kita. Karena satu kalimat bisa menjadi penyelamat, dan satu bisikan bisa menjatuhkan ke dalam api neraka.
Wallahu a’lam.
Disarikan dari “40 Hadis” karya Imam Khomeini, hadis ke-9: Ghibah.