Peristiwa Ghadir bukan sekadar fragmen sejarah; ia adalah jantung dari peradaban Islam yang dibangun di atas fondasi kepemimpinan ilahi. Dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’, Rasulullah saw tidak hanya mengucapkan salam perpisahan kepada umatnya, tetapi juga menyampaikan perintah terbesar dalam sejarah Islam: penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai wali, pemimpin, dan khalifah sepeninggalnya. Ghadir Khum menjadi saksi atas deklarasi langit, tempat turunnya ayat penyempurnaan agama, dan tonggak bagi kaum Syiah dalam merayakan Hari Wilayah setiap tahunnya sebagai simbol kesempurnaan Islam.
Awal Perjalanan: Menuju Haji Wada’
Pada bulan Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriah, Rasulullah saw berangkat menunaikan ibadah haji terakhirnya, yang kelak dikenal sebagai Haji Wada’. Ribuan Muslim dari berbagai penjuru jazirah Arab turut serta, menjadikan haji ini sebagai simbol persatuan umat Islam. Imam Ali as, yang saat itu sedang berada di Yaman, segera menyusul Nabi ke Mekah setelah mendengar kabar keberangkatan beliau (Thabrisi, Ihtijaj, jld. 1, hlm. 56; Mufid, al-Irsyad, jld. 1, hlm. 171).
Titah Langit: Turunnya Ayat Tabligh
Setelah menyelesaikan manasik haji, dalam perjalanan pulang ke Madinah, rombongan Rasulullah saw sampai di sebuah tempat bernama Ghadir Khum pada 18 Dzulhijjah. Di sinilah turun wahyu ilahi yang memerintahkan penyampaian pesan penting:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah akan melindungimu dari manusia.” (QS. Al-Maidah: 67)
Rasulullah saw segera memerintahkan rombongannya untuk berhenti. Mereka yang sudah melewati Ghadir dipanggil kembali, dan yang tertinggal diperintahkan menyusul agar seluruh jamaah berkumpul di tempat itu (Nasai, Sunan al-Kubra, jld. 5, hlm. 135).
Khotbah Ghadir: Deklarasi di Bawah Terik Matahari
Di bawah terik matahari, Nabi saw meminta dibuatkan mimbar dari pelana unta. Usai salat zuhur berjamaah, beliau naik ke mimbar dan menyampaikan khutbah panjang yang kelak dikenal sebagai Khutbah Ghadir. Dalam khutbah ini, Rasulullah saw menegaskan dua peninggalannya: tsaqalain, yaitu Al-Qur’an dan Ahlulbait. Beliau kemudian berseru:
“Bukankah aku lebih utama atas diri kalian daripada kalian sendiri?”
Umat menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”
Lalu beliau bersabda:
“Barang siapa menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.”
Kalimat ini diulang tiga hingga lima kali menurut berbagai riwayat (Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 4, hlm. 281). Beliau lalu berdoa:
“Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Ali, musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah yang menolongnya, dan hinakanlah yang meninggalkannya.”
(Mufid, al-Irsyad, jld. 1, hlm. 176)
Turunnya Ayat Ikmal: Agama Telah Sempurna
Tak lama setelah deklarasi tersebut, turunlah ayat yang menandai kesempurnaan agama:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.”
(QS. Al-Maidah: 3)
Banyak mufasir, baik dari kalangan Syiah maupun sebagian Sunni, menyatakan bahwa ayat ini turun tepat setelah pengangkatan Imam Ali as di Ghadir Khum (Thabathabai, al-Mizan, jld. 5, hlm. 193).
Baiat dan Ucapan Selamat
Setelah khutbah usai, Rasulullah saw mendirikan tenda dan meminta para sahabat untuk membaiat Imam Ali as. Ribuan orang datang mengucapkan selamat. Di antara yang pertama adalah Abu Bakar dan Umar. Umar bahkan berkata:
“Selamat atasmu, wahai putra Abu Thalib! Kini engkau telah menjadi maulaku dan maula setiap laki-laki dan perempuan beriman.”
(Qumi, Tafsir, jld. 1, hlm. 268; Amini, al-Ghadir, jld. 1, hlm. 9–30)
Jumlah yang Hadir
Jumlah peserta dalam peristiwa Ghadir Khum diperkirakan antara 10.000 hingga 120.000 orang. Namun mayoritas ulama dan sejarawan sepakat bahwa jumlah sekitar 10.000 orang adalah yang paling masuk akal secara historis (Sayid Jalal Imam, “Barrasi Te’dad Jam’iyat Hadir dar Ghadir”).
Hadis Ghadir: Hadis Mutawatir
Sabda Rasulullah saw:
“Man kuntu maulāhu fa hādhā ‘Aliyyun maulāhu”
merupakan hadis yang dinilai mutawatir oleh para ulama Syiah dan juga banyak ulama Sunni (Ibnu Hajar, Sawa’iq al-Muhriqah, hlm. 25).
Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 110 sahabat Nabi, termasuk Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Salman, Abu Dzar, dan Jabir bin Abdillah (Ibnu Uqdah, Kitab al-Wilayah, hlm. 150–152).
Dari kalangan tabi’in, lebih dari 80 orang meriwayatkannya, termasuk Umar bin Abdul Aziz (Hamuini Juwaini, Faraid al-Simthain, jld. 1, hlm. 315).
Dari kalangan ulama Sunni, lebih dari 360 tokoh meriwayatkannya, seperti Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, an-Nasai, dan Ibnu Hajar (Ahmad bin Abdullah, Fadail al-Sahabah, hlm. 67 dan 87).
Dari kalangan Syiah, hadis ini dijaga oleh para ulama seperti Syaikh Kulaini, Syaikh Shaduq, Syaikh Thusi, dan Allamah Amini (Amini, al-Ghadir, jld. 1, hlm. 14 dst.).
Ayat-Ayat Lain yang Berhubungan
Selain ayat Tabligh dan Ikmal, para mufasir juga mengaitkan peristiwa ini dengan ayat:
“Seorang yang meminta telah meminta azab yang akan terjadi bagi orang-orang kafir, yang tak seorang pun dapat menolaknya.”
(QS. Al-Ma’arij: 1–2)
Menurut riwayat, ayat ini turun terkait Nu’man bin Harits, yang menolak pengangkatan Imam Ali dan langsung ditimpa batu dari langit hingga mati (Wahidi Neisyaburi, Asbab al-Nuzul, hlm. 126).
Kitab al-Ghadir: Warisan Abadi
Kitab al-Ghadir karya Allamah Abdul Husain Amini adalah ensiklopedia terbesar tentang peristiwa ini. Beliau mengumpulkan bukti dari ribuan kitab Sunni dan Syiah, mencatat lebih dari 110 sahabat yang meriwayatkan hadis Ghadir, serta membantah segala bentuk pengaburan terhadap kebenaran sejarah Ghadir (Amini, al-Ghadir, jld. 1, hlm. 57).
Al-Ghadir dalam Tuturan Para Maksum
Peristiwa Ghadir Khum bukan sekadar momentum sejarah yang ditulis dalam lembaran kitab, tetapi peristiwa agung yang terus hidup dalam hati para Maksum. Para Imam Ahlulbait senantiasa menegaskan kembali kebenaran peristiwa ini, tidak hanya sebagai pengukuhan wilayah Imam Ali as, tetapi juga sebagai poros keimanan dan garis pembeda antara kejujuran dan kemunafikan. Ucapan-ucapan mereka menjadi bukti kuat bahwa Ghadir adalah amanat besar yang wajib diteruskan dan dijaga oleh setiap pencinta kebenaran.
Imam Ali as mengingatkan umat Islam akan janji yang telah mereka dengar sendiri dari lisan suci Rasulullah saw di Ghadir Khum:
“Wahai kaum Muslimin, Muhajirin dan Anshar! Apakah kalian tidak mendengar bahwa Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum tidak bersabda begini dan begitu?”
Para hadirin menjawab: “Iya.” (Thabrisi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 80; Qurthubi, jld. 19, hlm. 278; Tsa‘labi, jld. 10, hlm. 35)
Sayidah Fatimah Zahra sa, putri Rasulullah saw, mengecam mereka yang melupakan peristiwa agung tersebut:
“Seolah-olah kalian tidak mengetahui apa yang disabdakan Nabi saw pada hari Ghadir Khum? Aku bersumpah demi Tuhan, pada hari itu adalah hari pengukuhan wilayah dan imamah bagi Ali as, sehingga akar keserakahanmu akan lenyap.” (Shaduq, al-Khishāl, hlm. 505)
Imam Hasan al-Mujtaba as pun menegaskan bahwa pengangkatan tersebut dilakukan di hadapan umat dan didengar oleh mereka secara langsung:
“Kaum Muslimin melihat Nabi saw dan dari beliau mendengar bahwa ketika Nabi saw mengangkat tangan ayahku pada hari Ghadir Khum, Nabi saw berkata kepada orang-orang: ‘Seseorang yang menganggap aku sebagai maula dan pemimpinnya, maka Ali adalah maula dan pemimpin baginya.'” (Shaduq, Amāli, jld. 2, hlm. 171)
Imam Husain as menambahkan dimensi pendidikan dan keteladanan:
“Rasulullah saw mengajarkan semua norma dan adab baik kepada Ali as dan ketika Ali as sudah kuat dan kokoh, maka tanggung jawab wilayah dilimpahkan kepadanya. Dan pada hari Ghadir beliau bersabda: ‘Siapa saja yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maula dan pemimpinnya.'” (Rei Syahri, Mawsu‘ah Imam Husain, jld. 2, hlm. 232)
Imam Ali Ridha as menuturkan makna metafisis hari Ghadir:
“Hari Ghadir adalah hari yang paling masyhur di antara penduduk langit daripada penduduk bumi… Apabila manusia mengetahui pentingnya hari ini, tak diragukan lagi bahwa para malaikat akan bersalam-salaman setiap hari dengan mereka sebanyak 10 kali.” (Thusi, Tahdzib al-Ahkām, jld. 6, hlm. 24)
Literatur-Literatur untuk Memperdalam Pemahaman tentang Ghadir
Untuk memahami kedalaman dan keluasan peristiwa Ghadir secara ilmiah dan historis, para peneliti dan pecinta Ahlulbait dapat merujuk pada literatur-literatur berikut:
- Al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab, karya Allamah Abdul Husain Amini (lihat: Al-Ghadir, jld. 2–11)
- ‘Abaqāt al-Anwār fi Imāmah al-Aimmah al-Athar (bagian hadis al-Ghadir), karya Mir Hamid Husain Kanturi Lakanhui
- Ghadir dar Āine-ye Kitāb, karya Muhammad Anshari (bahasa Persia)
- Chahārdah Qarn bā Ghadir, karya Muhammad Baqir Anshar (bahasa Persia)
- Hamegān bā Payāmbar dar Hujjatul Wada, karya Husain Watsaqi
- Al-Ghadir wa al-Mu‘āridhūn, karya Sayid Ja‘far Murtadha Amili (bahasa Arab)
- Al-Ghadir fi al-Islam, karya Muhammad Ridha Farajullah Khalfi Najafi (bahasa Arab)
- Syarh wa Tafsir Khutbah Payāmbar Akram dar Ghadir Khum, karya Sayid Muhammad Taqi Tsaqafi (bahasa Arab)