Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menuju Kebangkitan Islam yang Menyeluruh

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(QS al-Māidah: 15–16)

Tidak ada umat yang bangkit tanpa memiliki fondasi kokoh yang menjadi arah perjuangannya. Sejarah membuktikan bahwa syarat utama kebangkitan sebuah bangsa bukan terletak pada kekuatan senjata atau kelimpahan harta, melainkan pada keberadaan prinsip-prinsip hidup yang benar, yang dipahami dan diimani oleh masyarakatnya.

Dalam karya monumentalnya “Syahadat Kedua”, Ayatullah Muhammad Baqir Sadr menjelaskan dengan tajam bahwa kebangkitan hakiki umat Islam sangat bergantung pada tiga unsur utama: pertama, adanya ajaran yang benar; kedua, pemahaman umat terhadap ajaran tersebut; dan ketiga, keimanan mereka yang kokoh terhadapnya. Umat Islam, kata beliau, sebenarnya tidak kekurangan ajaran dan keimanan. Yang hilang adalah unsur yang ketiga: pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Cahaya Ilahi yang Tak Pernah Padam

Islam adalah cahaya abadi yang diturunkan untuk menuntun umat manusia dari kegelapan menuju terang. Ajarannya menyentuh seluruh aspek kehidupan: individu, masyarakat, dan negara. Di dalamnya terkandung sistem sosial, ekonomi, politik, dan spiritual yang menyatu dalam harmoni ilahi.

Ajaran ini tetap lestari. Tidak pernah hilang. Bahkan musuh-musuh Islam pun tak mampu menghapusnya dari dada umat. Namun, sebagaimana disoroti Ayatullah Sadr, banyak dari umat Islam hanya mengimani Islam secara emosional—tanpa benar-benar memahami hakikatnya. Islam hidup dalam simbol-simbol, tetapi tidak selalu hadir dalam keputusan, tindakan, dan kesadaran kolektif.

Inilah yang disebut Sadr sebagai kontradiksi paling menyakitkan: umat mencintai Islam, tetapi tidak mengenalnya secara utuh.

Strategi Kolonialisme: Pisahkan Umat dari Agamanya

Ayatullah Sadr memetakan akar krisis ini dengan sangat akurat. Beliau menunjukkan bahwa sejak awal, strategi utama para penjajah dan musuh-musuh Islam adalah memisahkan umat dari sumber kekuatannya—yaitu Islam itu sendiri. Mereka tidak langsung menyerang keimanan, karena itu terlalu tampak. Sebaliknya, mereka menyerang pemahaman.

Dengan memperlemah pemahaman, mereka berharap umat menjadi buta terhadap ajarannya, mudah dibohongi oleh ideologi asing, dan perlahan-lahan tercerabut dari akar keislaman. Maka, muncullah berbagai bentuk pemikiran yang asing terhadap ruh Islam: sekularisme, liberalisme, pragmatisme politik, dan lain sebagainya, yang ditanamkan dalam institusi pendidikan, media, dan bahkan dalam khotbah keagamaan.

Hasilnya, sebagaimana yang kita saksikan hari ini, umat Islam menjadi terpecah-pecah, kehilangan arah, dan lebih sibuk memperdebatkan bentuk luar daripada menelaah inti ajaran Islam yang mencerahkan.

Kebangkitan Islam Kini: Satu Barisan, Satu Poros

Namun, kenyataan tidak sepenuhnya kelam. Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan tanda-tanda kebangkitan Islam yang menginspirasi. Gerakan-gerakan Islam kontemporer mulai menemukan kembali “kunci Ilahi” yang lama dilupakan itu: kesadaran, pemahaman, dan aksi berdasarkan prinsip Islam.

Dan menariknya, kebangkitan ini tidak lagi dibatasi oleh garis mazhab. Sunni dan Syiah hari ini sudah mulai tidak lagi terperangkap dalam perang wacana yang disulut musuh-musuh Islam. Mereka kini berdiri berdampingan dalam satu poros perlawanan melawan penjajahan dan kezaliman global, terutama Zionisme dan imperialisme Amerika.

Ini adalah bukti nyata bahwa kebangkitan Islam tidak lagi bersifat sektarian, melainkan trans-mazhab dan berbasis pada nilai-nilai universal Islam: keadilan, keberanian, dan kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Tantangan Utama: Menyempurnakan Pemahaman

Namun, seperti diingatkan Ayatullah Sadr, kebangkitan ini masih akan terhenti di titik tertentu jika umat tidak segera menyempurnakan satu syarat utamanya: pemahaman terhadap ajaran Islam yang benar dan mendalam.

Ini bukan sekadar tugas ulama, tetapi misi seluruh umat. Sebab tanpa pemahaman, semangat bisa menyimpang; kekuatan bisa salah arah; dan loyalitas bisa jatuh ke tangan musuh dengan bendera yang menyamar.

Oleh karena itu, tugas kita hari ini bukan hanya membela Islam secara fisik, tetapi juga menyebarkan pemahaman yang lurus dan komprehensif tentang ajaran Islam. Kita perlu membumikan kembali ilmu-ilmu Islam, menjadikan fikih sebagai tuntunan hidup yang aplikatif, memperkenalkan maqashid syariah, dan membangun budaya berpikir kritis yang tetap bersandar pada wahyu.

Kebangkitan Islam bukan sekadar peristiwa politik atau perlawanan fisik terhadap penjajahan. Ia adalah proses panjang untuk menghidupkan kembali cahaya Islam dalam kehidupan umat: di rumah tangga, di sekolah, di pemerintahan, dan di dunia global.

Dan semua itu, sebagaimana disebutkan Ayatullah Sadr, hanya mungkin jika umat kembali menggenggam tiga pilar itu secara utuh: Islam sebagai ajaran yang benar, dipahami secara mendalam, dan diimani secara total.

Risalah beliau bukanlah wacana elitis atau teori kosong. Ia adalah cahaya yang bisa dijadikan pelita bagi siapa saja yang ingin berkontribusi dalam kebangkitan umat. Ia adalah panggilan bagi para pemuda, para guru, para pemimpin politik, dan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai pusat gerak, bukan sekadar lambang di dahi dan lisan.

Menutup Tirai Kegelapan, Membuka Pintu Cahaya

Allah telah menjanjikan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka. Artinya, perubahan sejati selalu dimulai dari kesadaran. Kesadaran melahirkan semangat, dan semangat yang dipandu pemahaman akan melahirkan kebangkitan yang sejati.

Dan kebangkitan itu hari ini sedang mengetuk pintu-pintu kita. Ia tak hanya datang dari satu negeri atau satu mazhab. Ia lahir dari darah syuhada di Gaza, dari keteguhan rakyat Lebanon, dari sabar para ulama Irak, dan dari kesetiaan pemuda-pemuda Iran terhadap prinsip-prinsip Islam. Ia lahir dari kesatuan gerakan perlawanan yang tak mengenal sekat mazhab, tapi mengenal musuh bersama: kezaliman.

Kini tinggal kita menjawab: Apakah kita mau kembali memahami Islam dan membawanya hidup dalam diri kita? Ataukah kita akan terus membiarkan cahaya itu redup, hanya jadi cerita di buku sejarah?

Jawaban itu ada pada kita. Dan kebangkitan itu—sebagaimana dikatakan Ayatullah Baqir Sadr—bukan sekadar kemungkinan. Ia adalah keharusan.

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT