Dalam sejarah Islam, banyak peristiwa yang membentuk identitas umat. Namun, hanya sedikit yang sedalam dan seagung peristiwa Mubahalah—hari ketika Nabi Muhammad saw tidak hanya menghadapi perdebatan teologis dengan para delegasi Kristen dari Najran, tetapi membawa serta orang-orang tercintanya untuk menegakkan kebenaran di hadapan publik.
Mengapa ini penting?
Karena Rasulullah saw tidak memilih para pembesar Quraisy, bukan para sahabat senior, bukan jenderal-jenderal perang atau tokoh-tokoh politik. Beliau membawa mereka yang paling ia cintai— Imam Ali, Sayidah Fatimah, Imam Hasan dan Husain as—ke dalam satu lingkaran doa, satu medan spiritual, yang bahkan lebih tajam daripada medan perang. Inilah keluarga suci, Ahlulbait as, yang bukan hanya menjadi saksi, tetapi representasi dari kebenaran itu sendiri.
Makna Mubahalah: Doa, Tantangan, dan Pengorbanan
Ayat Mubahalah turun dalam konteks perselisihan antara kaum Muslimin dan utusan Kristen Najran mengenai status kenabian Isa as Setelah argumentasi tak kunjung mencapai titik temu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengajak mereka berdoa bersama memohon laknat Allah atas pihak yang berdusta:
“Maka siapa yang membantahmu tentang hal itu setelah datang ilmu kepadamu, katakanlah: ‘Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah…” (QS. Ali Imran: 61)
Namun yang datang bersama Nabi bukanlah “umat” dalam pengertian luas, tetapi keluarga inti beliau. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar keluarga biologis, tapi poros kebenaran dan kunci penegakan agama.
Imam Ali Adalah “Diri” Rasulullah
Dalam ayat ini, ketika disebut “anfusana” (diri-diri kami), siapa yang hadir bersama Rasulullah saw? Ali bin Abi Thalib as.
Mufassir Ahlussunnah maupun Syiah sepakat bahwa beliau adalah “nafs Rasul”—cerminan diri spiritual Rasulullah saw. Ini bukan sekadar pengakuan simbolik, tapi penegasan posisi spiritual Ali as sebagai khalifah ruhani.
Sayidah Fatimah Zahra as adalah satu-satunya perempuan yang diajak Nabi, sementara Imam Hasan dan Imam Husain as adalah anak-anak yang beliau bawa. Kehadiran mereka menjadikan Ahlulbait sebagai poros legitimasi, baik dalam urusan akidah maupun dalam pembelaan terhadap kebenaran.
Cermin dari Karbala
Apa yang dilakukan Rasulullah saw pada hari Mubahalah kelak terulang dalam bentuk yang lebih tragis namun penuh kemuliaan di padang Karbala. Imam Husain as, seperti kakeknya, membawa keluarga tercinta: saudara-saudaranya, anak-anaknya, keponakannya, bahkan bayi kecilnya, Ali Asghar.
Mengapa membawa keluarga ke medan bahaya?
Karena seperti kata Ayatullah Khamenei, Mubahalah dan Karbala adalah dua wajah dari satu pesan: kebenaran harus ditegakkan bukan hanya dengan hujjah, tapi juga dengan keberanian dan pengorbanan. Imam Husain as tahu apa yang menantinya, namun ia tetap membawa Sayidah Zainab, anak-anaknya, bahkan putra-putra remajanya. Karena ini bukan semata-mata tentang menang atau kalah, tetapi tentang menyampaikan pesan Tuhan kepada umat manusia.
Pelajaran untuk Umat Hari Ini
Dalam dunia yang penuh propaganda, manipulasi fakta, dan kebohongan berjubah kebenaran, semangat Mubahalah harus hidup kembali. Tidak setiap orang dipanggil untuk berperang, tetapi setiap Muslim dipanggil untuk berdiri di pihak kebenaran—meski itu berarti kehilangan kenyamanan, popularitas, atau bahkan nyawa.
Hari ini, ketika kita melihat kedustaan global yang mencoba membungkam suara Palestina, menjatuhkan Iran, menghasut perpecahan Sunni-Syiah, atau menjelekkan citra poros perlawanan, kita perlu mengingat: kebenaran tak butuh jumlah, ia butuh keikhlasan.
Rasulullah saw hanya membawa empat orang—tapi dunia mencatat peristiwa itu sebagai kemenangan moral Islam atas kekuasaan duniawi.
Jalan Mubahalah adalah Jalan Imam Husain
Ayatullah Khamenei menegaskan bahwa tindakan Imam Husain as di Karbala adalah perpanjangan dari semangat Mubahalah. Ketika kebenaran dicampuradukkan dengan kebatilan oleh penguasa zalim, maka diam adalah dosa.
“Jika seseorang melihat penguasa yang zalim, mencampurkan halal dan haram, dan mengabaikan janji-janji Tuhan, maka tempatnya bersama penguasa itu di akhirat. Maka, katakanlah kebenaran, dan tegakkanlah ia dengan tindakan.”
Dan Mubahalah adalah momen ketika kebenaran itu tidak diucapkan dengan suara lantang, melainkan ditunjukkan dengan siapa yang diajak Nabi berdiri di sisinya.
Hari ini, kita mungkin tidak diajak secara fisik ke arena Mubahalah. Namun kita dipanggil—di medan media, di forum dakwah, di ruang keluarga, bahkan dalam hati kita—untuk memilih berdiri bersama siapa.
Sumber: Khamenei.ir