“Kebenaran yang ditumpahkan darah akan tumbuh dalam ingatan rakyat yang setia.”
— ungkapan hikmah dari Sayyid Musa Sadr
Di pesisir barat Sumatera dan ujung selatan Pulau Sumatera, ada dua tradisi rakyat yang terus hidup dari zaman ke zaman: Tabuik di Pariaman, dan Tabot di Bengkulu. Sekilas, keduanya tampak seperti festival rakyat biasa. Namun jika kita gali lebih dalam, tradisi ini menyimpan makna spiritual yang tak lekang oleh waktu—berakar dari kisah kesyahidan cucu Rasulullah saw., Imam Husain bin Ali as, dan para pengikutnya di Karbala.
Di tengah dunia modern yang kerap memisahkan antara dimensi spiritual dan ekspresi budaya, tradisi Tabuik dan Tabot hadir sebagai pengecualian yang bermakna. Ia bukan sekadar warisan adat, melainkan wujud budaya yang mengandung ruh kecintaan kepada Ahlul Bait. Melalui ungkapan rakyat dan gerak arak-arakan yang khidmat, kenangan atas duka Asyura tetap hidup dan mengalir—seperti air mata yang luruh di tepian laut.”
Jejak Persia dan India Selatan dalam Ritual Pesisir
Masuknya tradisi Asyura ke Sumatera Barat dan Bengkulu berkaitan erat dengan migrasi umat Islam dari Persia dan India Selatan sejak abad ke-17 dan 18. Catatan sejarah menyebutkan bahwa kelompok Syiah dari India, khususnya Madras dan wilayah Tamil. Mereka membawa serta tradisi ta’ziyah, yakni bentuk ritual teatrikal untuk mengenang kesyahidan Imam Husain as. Salah seorang tokoh penting dalam penyebaran tradisi Tabot adalah Sayyid Husein bin Abdul Rahman, keturunan Syiah dari India yang menetap di Bengkulu pada 1685. Dari sinilah, tradisi ini mengakar di tengah masyarakat, berasimilasi dengan budaya lokal, namun tetap menjaga jalinannya dengan ruh Karbala.
Ruh Syiah dalam Tradisi Tabuik dan Tabot
Meskipun telah mengalami perubahan bentuk menjadi bagian dari agenda budaya dan pariwisata, unsur-unsur Syiah dalam kedua tradisi ini masih sangat jelas:
- Narasi Karbala sebagai pusat makna
Replika Tabuik atau Tabot, yang dalam bahasa Arab berarti tabut (peti), melambangkan keranda Imam Husain as. Dalam prosesi, disebut juga tokoh-tokoh Ahlul Bait seperti Abbas Alamdar (pembawa panji), Ali Asghar, dan kuda Zuljanah. Semua itu menyiratkan episode duka yang amat dalam. - Tanggal pelaksanaan yang sesuai dengan 10 Muharram (Asyura)
Kedua tradisi berpuncak pada tanggal 10 Muharram, bertepatan dengan hari syahidnya Imam Husain as. Ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari jalinan spiritual yang tetap dipertahankan. - Spirit duka dan solidaritas terhadap yang dizalimi
Dalam masyarakat dahulu, perayaan ini dilakukan dengan tangisan dan ratapan sebagai bentuk simpati terhadap penderitaan Ahlul Bait. Kini mungkin telah berubah, namun getaran itu masih terasa dalam ingatan kolektif para tetua adat. - Simbolisme laut sebagai pengembalian ruh
Di akhir prosesi, Tabuik dan Tabot dibuang ke laut. Ini dipercaya sebagai bentuk pengembalian arwah atau mengantar ruh Imam Husain kepada Rabb-nya—sebuah bentuk pemuliaan yang sakral.
Infografik: Unsur Karbala dalam Tabuik dan Tabot
Elemen | Asal & Makna Syiah | Representasi Tradisi |
---|---|---|
Tabuik/Tabot | Tabut: peti ruh Husain | Replika keranda besar |
Abbas Alamdar | Abu Fadhl al-Abbas | Tokoh dengan panji |
Zuljanah | Kuda Imam Husain | Arak-arakan kuda putih |
10 Muharram | Hari syahidnya Husain | Puncak upacara |
Laut | Simbol pengembalian ruh | Tabuik ditenggelamkan |
Islam yang Hidup di Tengah Budaya
Seperti yang sering diungkap oleh para pemikir Syiah kontemporer, termasuk Sayyid Musa Sadr, bahwa agama yang hidup adalah agama yang berdialog dengan budaya. Dalam hal ini, Islam Syiah hadir bukan sebagai ideologi tertutup, melainkan sebagai spirit perjuangan dan cinta yang menyatu dengan nilai-nilai lokal.
Masyarakat Minang dan Bengkulu tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai penganut Syiah secara mazhabi, namun dalam tradisi Tabuik dan Tabot, mereka menjadi pengamal Syiah secara kultural. Inilah yang disebut oleh para akademisi seperti Zulkifli sebagai “Syiah kultural”, sebuah keberagamaan yang tumbuh dari cinta terhadap Ahlul Bait, bukan dari afiliasi sektarian.
Tantangan Sekarang dan Harapan ke Depan
Di zaman ini, ketika semangat pluralisme menghadapi tantangan serius dari semangat homogenisasi, tradisi seperti Tabuik dan Tabot justru menjadi oase. Namun, ancaman sektarianisme, stigmatisasi Syiah, dan komersialisasi budaya membuat tradisi ini semakin terpisah dari ruh asalnya.
Beberapa kalangan mencoba melabeli ritual ini sebagai “non-Islami” atau “Syiah menyusup”, padahal sejarah menunjukkan bahwa Islam di Nusantara sejak awal adalah Islam yang lentur dan mencintai Ahlul Bait.
Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa mencintai Ahlul Bait bukan milik mazhab tertentu. Bahwa mengenang Karbala tidak membatalkan keimanan seseorang. Bahwa mengenalkan sejarah Imam Husain kepada anak-anak bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan pendidikan moral tentang keberanian, kebenaran, dan pengorbanan.
Karbala dalam Hati Rakyat
Tabuik dan Tabot bukan sekadar tradisi, melainkan nyala cinta. Mereka adalah bentuk dari keberislaman yang mencintai tanpa mencela, mengenang tanpa menghakimi, dan meratap tanpa membenci. Ia adalah Islam yang hidup dalam hati, bukan sekadar dalam buku.
Dan selama ada suara gendang tasa di Sumatera, selama ada anak kecil yang bertanya “Siapa Imam Husain?”, maka Karbala akan terus hidup. Bukan hanya di Najaf dan Qom, tetapi juga di Pariaman, di Bengkulu, dan di hati kita semua.
Referensi:
- Syafiq Hasyim (ed.), Jejak Syiah di Asia Tenggara, Mizan, 2013
- Zulkifli, The Struggle of the Shi’is in Indonesia, ANU Press, 2013
- Sayyid Musa Sadr, Risalah Budaya dan Agama (kompilasi ceramah)
- Martin van Bruinessen, “Shia in Southeast Asia,” Leiden, 2010