Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Seruan yang Tak Pernah Padam: Labbaik Ya Husain!

Hari ini adalah hari Asyura. Hari ketika langit menangis dan bumi berhenti sejenak menyaksikan pengorbanan paling suci dalam sejarah umat manusia. Hari ketika seorang cucu Nabi bangkit melawan bukan hanya seorang tiran, tapi seluruh sistem yang telah menghancurkan nilai-nilai Islam sejati. Dalam tragedi ini, Imam Husain as bukan sekadar seorang pahlawan yang menentang Yazid, ia adalah poros kebenaran melawan seluruh tatanan kebatilan.

“Asyura bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah jantung yang terus berdetak dalam tubuh umat Islam. Selama ada semangat Husain, Islam akan tetap hidup.”
— Imam Ali Khamenei, 9 Muharram 1432 H

Siapakah Imam Husain? Mengapa Beliau Bangkit?
Pada suatu hari di padang Karbala, sejarah manusia menyaksikan episode paling dahsyat dalam perjuangan melawan kezaliman. Di sanalah Husain bin Ali, cucu Rasulullah saw, berdiri dengan gagah bukan hanya melawan rezim Yazid yang zalim, tapi melawan kejahilan, kehinaan, dan penyimpangan umat manusia. Kebangkitan Imam Husain as bukan sekadar reaksi terhadap pemerintahan yang fasik, tetapi sebuah revolusi untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Islam sejati yang nyaris padam dalam waktu hanya setengah abad pasca wafatnya Nabi.

Gerakan Imam Husain memiliki dua dimensi. Secara lahiriah, ia melawan seorang penguasa keji. Namun lebih dalam dari itu, beliau menantang seluruh sistem yang menghina akal manusia dan menjauhkan umat dari keadilan, tauhid, ilmu, dan kasih sayang. Pemerintahan Rasulullah saw yang semula dibangun atas dasar keadilan dan akhlak telah berubah menjadi kerajaan turun-temurun yang diperintah dengan kekerasan dan tipu daya. Kepemimpinan Islam berubah menjadi kekuasaan dinasti. Maka Imam Husain berdiri bukan hanya untuk menentang Yazid, tapi untuk menyelamatkan ruh Islam dari kematian.

“Perlawanan Imam Husain adalah perlawanan terhadap distorsi Islam. Jika bukan karena Karbala, Islam yang murni telah lama ditelan kegelapan bani Umayyah.”
— Imam Ali Khamenei, 10 Muharram 1440 H

Dalam suratnya kepada Muhammad bin Hanafiyah, Imam Husain menegaskan: “Aku tidak bangkit karena ambisi, keangkuhan, atau kerusakan. Aku bangkit untuk melakukan islah (perbaikan) dalam umat kakekku. Aku ingin mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.”

Andai saja umat saat itu mendukungnya, sejarah akan berbelok. Pemerintahan Islam sejati bisa ditegakkan kembali. Namun karena kelemahan sebagian besar umat, terutama para elit dan tokoh masyarakat, kemenangan lahiriah tak tercapai. Tetapi Imam Husain tidak gagal. Sebab tujuan keduanya—yakni menjadikan darahnya sebagai bahasa abadi melawan kezaliman—telah tercapai. Dan bahasa darah itu kini menggema di seluruh penjuru dunia, melintasi zaman dan bangsa.

Mengapa Imam Husain Membawa Keluarganya ke Karbala?
Pertanyaan tentang mengapa Imam Husain as membawa keluarganya ke Karbala kerap muncul. Bukankah lebih aman jika mereka ditinggal di Madinah atau Mekkah? Namun Imam Husain as bukan sekadar komandan perang, beliau adalah Imam Ma’shum yang tahu bahwa perjuangannya bukan soal menang atau kalah secara fisik, melainkan soal menegakkan kebenaran dan menjaga Islam tetap hidup.

Jika beliau gugur sendirian, kisahnya akan terkubur. Tapi dengan kehadiran keluarganya—terutama Sayidah Zainab as—pesan perjuangannya abadi. Lidah Zainab menghidupkan makna darah Husain. Kehadiran wanita dan anak-anak bukan beban, tapi bagian dari strategi dakwah untuk menunjukkan bahwa ini bukan pemberontakan, melainkan perlawanan suci terhadap kezaliman.

Seperti Rasulullah saw dalam peristiwa Mubahalah yang membawa keluarga sebagai saksi kebenaran, Imam Husain pun membawa orang-orang terkasih ke medan Karbala sebagai bukti bahwa ini perjuangan seluruh umat. Tragedi menjadi pelajaran, derita menjadi cahaya. Karbala mengajarkan bahwa dalam membela kebenaran, semua—lelaki, perempuan, anak-anak—punya peran.

“Peran Sayyidah Zainab tidak kurang dari peran Imam Husain. Ia membumikan makna syahadah ke dalam sejarah dan menyampaikannya ke generasi berikutnya.”
— Imam Ali Khamenei, 15 Muharram 1422 H

Tanpa Sayidah Zainab, Karbala hanyalah episode berdarah yang tertinggal di padang pasir. Tapi dengan khutbah dan keberaniannya, ia mengubah luka menjadi cahaya, aib musuh menjadi pelajaran umat. Ketika ditanya apa yang ia lihat di Karbala, Zainab menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa kecuali keindahan.” Inilah puncak sabar dan keikhlasan—dan inilah mengapa keluarga dibawa ke Karbala: untuk menjadikan syahadah bukan akhir, tapi awal dari kebangkitan.

Mengapa Kita Masih Menangis untuk Husain?
Ada yang mencibir, “Mengapa kalian terus menangis dan berkabung setelah 1400 tahun berlalu?” Jawabannya sederhana: karena duka ini bukan sekadar air mata. Ini adalah ikatan emosional, loyalitas ruhani, dan kecintaan kepada nilai-nilai ketuhanan.

Syiah tidak menangisi Imam Husain sekadar karena tragedinya. Mereka menangisi dirinya sendiri—umat yang telah gagal menyokong Imamnya. Dan tangisan itu menjadi energi untuk berjanji ulang: bahwa kita tidak akan tinggal diam jika kebatilan kembali melenggang.

Inilah mengapa revolusi Islam Iran selalu berpegang pada semangat Asyura. Dari pemimpin tertinggi sampai rakyat biasa, mereka mengambil ruh gerakan dari darah Imam Husain dan air mata Sayidah Zainab. Karena dalam duka itu, ada semangat perlawanan. Dalam tangisan itu, ada ikatan wala’. Dalam ratapan duka itu, kita mengenang bukan hanya sejarah, tapi identitas kita.

“Setiap tetesan air mata untuk Imam Husain adalah peluru bagi musuh. Ia membentuk masyarakat yang tidak tunduk pada kezaliman.”
— Imam Ali Khamenei, 10 Muharram 1431 H

Keunikan Gerakan Asyura
Sepanjang sejarah, banyak orang bangkit melawan kezaliman. Banyak pula yang gugur—bahkan dari kalangan para nabi dan anak cucu mereka. Namun mengapa hanya gerakan Imam Husain as yang terus hidup dan mengguncang nurani umat manusia hingga kini?

Karena gerakan Imam Husain adalah puncak dari keikhlasan dan kemurnian niat. Dalam pidatonya yang masyhur, beliau menyatakan, “Aku tidak bangkit karena ambisi, kesombongan, kezaliman, atau kerusakan. Aku bangkit hanya untuk memperbaiki umat kakekku, Rasulullah.” Kata “illa” dalam teks Arab menegaskan bahwa tidak ada maksud tersembunyi, tidak ada agenda pribadi, tidak ada setetes pun kepentingan duniawi dalam gerakannya.

Sebaliknya, para penentangnya—terutama Yazid dan penguasa zalim lainnya—datang ke medan Karbala dengan hawa nafsu, kesombongan, dan hasrat mempertahankan kekuasaan. Al-Qur’an pun menggambarkan tipe manusia semacam ini: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari rumah mereka dengan sombong dan riya, serta menghalangi jalan Allah.” (QS Al-Anfal: 47)

Maka, pertemuan di Karbala bukan sekadar antara dua pasukan, tetapi pertemuan dua niat: yang satu suci dan jernih, yang satu kotor dan penuh tipu daya. Dan sejarah membuktikan: yang jernih akan abadi, sementara yang kotor akan hancur ditelan waktu.

Gerakan Imam Husain tidak lapuk ditelan zaman karena ia bagaikan emas murni—tak bisa berkarat, tak bisa pudar. Keikhlasan beliau memancarkan cahaya yang menembus zaman, menembus batas agama, bangsa, dan keyakinan. Bahkan orang-orang yang tidak meyakini Tuhan, atau tidak mengenal Nabi Muhammad, tetap tergetar oleh keberanian, cinta, dan pengorbanan Imam Husain.

Inilah kekuatan dari niat yang benar-benar murni. Inilah sebab mengapa nama Husain terus disebut, air mata terus mengalir, dan hati-hati terus tersentuh oleh satu peristiwa yang terjadi di padang tandus Karbala lebih dari 1350 tahun yang lalu.


Penutup
Karbala bukan masa lalu. Ia adalah cermin hari ini. Yazid masih hidup dalam rupa kekuasaan zalim dan budaya hedonis. Imam Husain pun masih hidup dalam setiap hati yang merindukan keadilan. Maka selama masih ada mata yang basah dan dada yang bergemuruh ketika menyebut nama Husain, selama itu pula Islam akan tetap hidup.

Sebagaimana dikatakan Imam Sajjad as, “Bayangkan apa yang akan terjadi jika kami tidak pergi.” Mungkin tubuh mereka akan selamat, tapi Islam akan mati. Dan karena mereka pergi, kita masih bisa berkata hari ini:
“Labbaik ya Husain!”


Dielaburasi dari artikel di Khamenei.ir berjudul Who is Imam Hussain? Why did he launch an uprising?

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.