Komunitas Islam pada tahun terjadinya tragedi Karbala sangat berbeda dengan masa-masa akhir kehidupan Rasulullah saw. Dalam kurun waktu beberapa dekade setelah wafatnya Nabi, kecenderungan penyimpangan terhadap ajaran Islam meningkat secara perlahan namun pasti. Para peneliti menilai bahwa fondasi penyimpangan ini telah diletakkan sejak tahun pertama setelah wafatnya Rasulullah, dan terus berkembang hingga menjadi ladang subur bagi para politisi untuk menangguk keuntungan kekuasaan.
Penyimpangan tersebut tak hanya mampu memperdaya masyarakat, tetapi juga menjustifikasi tirani dan monopoli kekuasaan atas nama agama. Pelaku utama dari distorsi ini adalah klan Bani Umayah, yang kekuasaannya mencapai puncak dalam figur Yazid bin Muawiyah. Di bawah pemerintahan Yazid, menjadi jelas bahwa Bani Umayah sejatinya tidak beriman kepada Islam yang hakiki. Keyakinan mereka hanyalah tameng politik untuk melegitimasi dominasi mereka atas umat.
Imam Husain as secara terbuka mengecam karakter dan tindakan penguasa saat itu. Dalam sebuah pernyataan, beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang taat kepada setan, ingkar kepada Allah, menyebarkan dosa, melanggar hukum Allah, serta merampas hak-hak baitul mal.”1 Para penguasa ini bukan saja melanggar batasan syariat, tetapi juga telah menghancurkan banyak konsep mendasar dalam agama demi mempertahankan kekuasaan.
Tiga istilah utama yang dimanipulasi oleh para khalifah tiranik adalah: ketaatan kepada Imam, wajibnya menjaga Jamaah, dan haramnya melanggar sumpah setia. Ketiganya sejatinya merupakan prinsip sah dalam struktur Islam demi menjaga stabilitas sosial dan politik. Namun, ketika kekuasaan dipersonalisasi dan dikendalikan oleh penguasa yang zalim, istilah-istilah ini justru menjadi alat represi.
Misalnya, konsep ketaatan kepada Imam yang semestinya bermakna kepatuhan kepada pemimpin yang adil dan beriman, telah diselewengkan menjadi kewajiban mutlak kepada siapa pun yang berkuasa, meski tiran. Pertanyaannya: apakah setiap pemegang kekuasaan layak ditaati tanpa syarat, bahkan jika ia melanggar hak Allah dan hak manusia?
Demikian pula dengan konsep Jamaah, yang mengajak kepada persatuan umat dan stabilitas sosial. Namun konsep ini diselewengkan menjadi alasan untuk membungkam kritik terhadap kezaliman. Apakah diam demi menjaga “Jamaah” dibenarkan saat komunitas berada di bawah monarki yang menindas dan menjajah umat?
Adapun sumpah setia, Islam memang sangat menekankan pentingnya menepati janji. Namun jika sumpah itu diberikan kepada penguasa seperti Yazid—yang dikenal fasik dan lalim—apakah melanggarnya tetap dianggap sebagai dosa? Atau justru keharusan moral dan agama?
Para khalifah dari Bani Umayah dan bahkan Bani Abbasiyah kemudian menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai alat legitimasi, sekalipun pemerintahan mereka penuh penyimpangan dan kehancuran moral. Rakyat pun dipaksa tunduk, seolah-olah ketaatan kepada pemimpin—siapa pun itu—adalah bagian dari iman.
Setelah berhasil menjamin baiat untuk putranya Yazid, Muawiyah pergi ke Madinah dan memaksa tokoh-tokoh yang menentangnya agar bersumpah setia. Menurut Muhammad bin Abu Bakar, saudaranya sendiri, Aisyah termasuk korban penganiayaan Muawiyah.
Dalam satu kisah lain, saat melaksanakan shalat di Masjidil Haram, Syimr bin Dzil-Jawsyan—pembunuh Imam Husain—mengangkat tangannya berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu kemuliaanku, maka ampunilah aku.” Ibnu Ishaq menegurnya, “Bagaimana mungkin engkau diampuni, sementara engkau ikut membunuh cucu Nabi?” Syimr menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah komandan. Jika tidak, kami lebih hina daripada keledai pembawa air.”2
Dalam peristiwa lain, Ibnu Ziyad berkata kepada Muslim bin Aqil, “Wahai penjahat, engkau telah memisahkan diri dari Imam dan menabur perpecahan!” Muslim membantah keras tuduhan itu, seraya menegaskan bahwa Muawiyah tidak pernah meraih khilafah melalui ijma’, dan telah merebut hak Ahlulbait dengan tipu daya dan kekerasan.
Ketika Imam Husain hendak meninggalkan Mekah menuju Kufah, utusan gubernur Amr bin Sa’id bin Ash berkata, “Tidakkah engkau takut kepada Allah karena telah keluar dari Jamaah umat Islam dan menimbulkan perpecahan?”3 Tuduhan seperti ini sangat lazim digunakan untuk membingkai setiap bentuk oposisi sebagai bid’ah dan pemberontakan.
Ironisnya, bahkan dalam barisan pasukan musuh Imam Husain, propaganda ini bergaung. Amr bin Hajjaj, komandan pasukan Ibnu Ziyad, berkata, “Kami tidak pernah tidak taat kepada Imam, dan tidak pula kami keluar dari Jamaah.”4 Mereka menyangka, selama mereka tunduk kepada kekuasaan yang berkuasa, mereka tetap berada dalam jalan yang benar—meski di saat yang sama, mereka sedang membantai cucu Rasulullah.
Sambil menasihati pasukan Ibnu Ziyad, seorang ulama rezim berkata, “Jangan pernah berhenti mengingat pentingnya ketaatan dan persatuan, dan kapan pun jangan ragu membunuh siapa pun yang memisahkan diri dari agama dan tidak sejalan dengan Imam (penguasa).”5
Bahkan tokoh-tokoh seperti Abdullah bin Umar—ahli fikih dan perawi hadis dalam mazhab Sunni—beranggapan bahwa selama mayoritas umat bersumpah setia kepada Yazid, maka ia pun ikut. Ia menasihati Imam Husain agar “tidak menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam.”6 Sementara tokoh-tokoh lain, seperti putri Umar dan Abdurrahman bin Auf, bahkan menulis surat agar Imam Husain tunduk kepada penguasa dan mendahulukan persatuan umat.
Penyimpangan lain yang turut memperburuk krisis spiritual umat Islam kala itu adalah penyebaran fatalisme (jabr)—keyakinan bahwa semua peristiwa, termasuk kekuasaan dan tirani, adalah kehendak Tuhan yang tak bisa ditolak. Menurut Abu Hilal Askari, Muawiyah adalah orang pertama yang menyebarkan dan mempopulerkan keyakinan ini.7 Ia pernah berkata bahwa penobatan Yazid adalah “takdir dari Allah yang tak seorang pun dapat menghindarinya.”8
Pemikiran ini bahkan meresap hingga ke dialog antara Ubaidillah bin Ziyad dan Imam Ali bin Husain as. Ketika Ziyad bertanya, “Bukankah Allah yang membunuh Ali Akbar?” Imam menjawab, “Aku punya saudara yang dibunuh oleh manusia.”9 Jawaban ini menegaskan bahwa kesyahidan bukan hasil determinisme buta, tetapi akibat dari kezaliman manusia yang bertanggung jawab.
Umar bin Sa’d, jenderal yang memimpin pembunuhan atas Imam Husain, ketika ditanya kenapa ia melakukannya demi pemerintahan kota Ray, menjawab bahwa “semua sudah ditakdirkan.”10
Bahkan Ka‘b al-Ahbar, tokoh Bani Israil yang masuk Islam, pernah meramalkan bahwa kekuasaan tidak akan pernah jatuh ke tangan Bani Hasyim. Ia mengklaim, jika suatu saat Bani Hasyim berkuasa, maka dunia akan kiamat.11 Pandangan semacam ini disebarluaskan untuk melemahkan legitimasi Ahlulbait.
Akibat dari penyimpangan sistematis ini, generasi berikutnya gagal memahami gerakan Imam Husain sebagai jihad suci melawan kezaliman. Bahkan dalam narasi Sunni klasik, revolusi Imam justru dicitrakan sebagai pemberontakan yang tidak sah terhadap khalifah “yang sah.”12
Inilah hasil dari manipulasi teologis oleh rezim tiranik yang telah mencabut ruh keadilan dari tubuh umat. Karbala bukan hanya peristiwa berdarah—ia adalah peringatan bahwa ketika agama dijadikan alat kekuasaan, maka yang lahir adalah tragedi kemanusiaan yang terus terulang sepanjang sejarah.
Catatan Kaki:
- Ansab al-Asyraf, Jilid III, hal. 171; Futuh al-Buldan, Jilid V, hal. 144-145; Thabari, al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid IV, hal. 1304. ↩
- Tarjamah al-Imam al-Husain, hal. 197; al-Imamah wa as-Siyasah, Jilid I, hal. 183; Lisan al-Mizan, Jilid III, hal. 151. ↩
- Thabari, al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid IV, hal. 289. ↩
- Ibid., hal. 275. ↩
- Ibid., hal. 331. ↩
- Tarjamah al-Imam al-Husain, hal. 167; Futuh al-Buldan, Jilid V, hal. 39. ↩
- Abu Hilal Askari, al-Awa’il, Jilid II, hal. 125. ↩
- al-Imamah wa as-Siyasah, Jilid I, hal. 183. ↩
- Tarjamah al-Imam al-Husain, hal. 188. ↩
- Ath-Thabaqat al-Kubra, Jilid V, hal. 148. ↩
- Ibnu Asakir, Tarjamah al-Imam al-Husain, hal. 193. ↩
- Cambridge History of Islam, Vol. I, hal. 81; al-Ikhtilaf fi al-Lafzh, hal. 47–49. ↩
Sumber: Sejarah Para Pemimpin Islam – Rasul Jafarian