Oleh: Muhammad Mahdi Rahimi, journalist and researcher
Pada 7 Oktober 2023, dunia diguncang oleh Operasi Badai Al-Aqsa, sebuah serangan terencana dan berani dari kelompok perlawanan Palestina terhadap jantung militer dan pemukiman ilegal Zionis. Bagi sebagian pihak di Barat, itu adalah serangan mengejutkan. Namun bagi para muqawamah, itu adalah langkah cerdas dan terpaksa, demi mencegah serangan besar yang sedang dirancang musuh.
Dalam pesan videonya, Abu Ubaidah, juru bicara Brigade Al-Qassam, menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan langkah pendahuluan untuk menggagalkan rencana musuh yang tengah memasuki tahap akhir dalam upaya penghancuran sistematis terhadap perlawanan di Gaza. Penilaian ini bukan dugaan kosong. Pidato Ayatullah Khamenei pada 4 Oktober 2024 telah lebih dahulu menyingkap tujuan utama dari seluruh kebijakan Amerika di kawasan.
“Upaya Amerika Serikat dan sekutunya untuk menjaga keamanan rezim perampas hanyalah kedok dari sebuah kebijakan yang mematikan: menjadikan rezim Zionis sebagai alat untuk menguasai seluruh sumber daya kawasan dan sebagai gerbang lalu lintas proyek-proyek global Barat.”
Dengan kata lain, sebuah proyek besar sedang dijalankan secara sistematis. Israel bukan sekadar penjajah, melainkan sarana logistik sekaligus mesin ideologis dalam rencana kolonisasi modern versi Amerika. Demi memastikan dominasi penuh, Amerika memberikan segalanya kepada rezim Zionis—mulai dari persenjataan hingga legitimasi di forum-forum internasional.
Sejak hari pertama perang, Gaza dibombardir dengan skala belum pernah terlihat sebelumnya. Dalam 48 jam pertama, lebih dari 1.500 target dihantam bom. Netanyahu bahkan mengeluh mengapa hanya 1.500, bukan 5.000. Targetnya jelas bukan hanya instalasi militer. Sekolah, rumah sakit, dan kamp pengungsi pun luluh lantak. Dalam waktu kurang dari 3 hari, lebih dari 600 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, syahid. Kekejaman ini tidak mungkin terjadi tanpa dukungan penuh Amerika, baik dalam bentuk bom presisi tinggi, data intelijen, maupun dukungan diplomatik di panggung PBB.
Setelah Gaza dan Iran, Lebanon menjadi front berikutnya. Hizbullah yang mencoba mengalihkan perhatian militer Israel dari Gaza justru menjadi sasaran operasi besar-besaran. Dalam 66 hari perang terbuka, ratusan desa di selatan Lebanon dibombardir. Di Beirut, dua upaya pembunuhan terhadap Sayyid Hassan Nasrallah dan Sayyid Hashem Safieddine membuat lebih dari 150 ton bom dijatuhkan ke ibu kota Lebanon. Korban sipil mencapai 3.000 orang, sebagian besar di lingkungan yang tidak memiliki fasilitas militer sama sekali.
Yaman pun tak luput. Sebagai negara yang paling teguh membela Gaza di berbagai forum dan jalanan, Yaman menjadi sasaran serangan udara Israel dan drone Amerika. Pelabuhan, pembangkit listrik, dan gudang pangan dihancurkan. Namun hingga hari ini, serangan balasan dari Yaman terhadap instalasi Zionis di Laut Merah dan sekitarnya terus berlanjut. Setiap Jumat, jutaan rakyat Yaman memenuhi jalan-jalan, bukan hanya memprotes, tapi menyatakan kesiapan jihad. Mereka tahu betul bahwa musuh tidak hanya menjajah tanah, tapi juga ingin menghancurkan semangat.
Yang lebih mengerikan, kekejaman itu tidak berhenti di kawasan Arab. Proyek kekacauan diperluas ke Iran. Pada pagi hari 13 Juni 2025, beberapa gedung di Teheran dibombardir oleh jet tempur Israel yang dilindungi oleh pesawat pengisi bahan bakar Amerika. Targetnya: membunuh ilmuwan nuklir Iran di tengah pemukiman padat penduduk. Salah satu korban adalah Sayyid Muhammad Reza Shadiqi Saber, syahid bersama istri dan tiga anaknya di rumah mereka. Di Quds Square, sebuah bom dijatuhkan ke jalur kendaraan sipil pada jam sibuk, menghancurkan jaringan air utama dan menyebabkan kebakaran hebat. Sekitar 60 orang menjadi korban di satu titik serangan.
Namun Iran tidak tinggal diam. Selama 12 hari perang terbuka melawan rezim Zionis, rudal-rudal Iran menghantam sejumlah titik strategis di wilayah pendudukan. Pangkalan-pangkalan militer porak-poranda, sistem pertahanan berlapis Israel berhasil ditembus, dan dunia menyaksikan dengan jelas bahwa muqawamah mampu menaklukkan teknologi tercanggih milik musuh.
“Mereka mampu menembus pertahanan berlapis musuh dan menghancurkan kawasan-kawasan penting militer maupun sipil,” tegas Imam Khamenei dalam salah satu pidatonya.
Dalam semua serangan ini, peran Amerika tidak sebatas sebagai penyedia senjata. Mereka adalah fasilitator utama. Amerika mengawal jet Israel dengan pesawat pengisi bahan bakar, mengerahkan kapal induk ke kawasan, bahkan menyediakan teknologi AI dari perusahaan seperti Google (Project Nimbus) untuk memilih target-target di Gaza. AI ini sedemikian efektif membunuh, hingga menyebabkan protes di kalangan karyawan teknologi Amerika sendiri. Di Lebanon, bahkan kamera toko kelontong digunakan sebagai alat pengintai untuk membunuh para pejuang muqawamah.
AS juga memegang kendali narasi global. Dalam forum internasional, mereka menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan semua upaya penghentian perang. Empat veto dalam dua tahun menjadi bukti bahwa darah umat bukan prioritas mereka. Melalui media, mereka membangun narasi bahwa Israel membela diri dan pejuang muqawamah adalah teroris. Protes mahasiswa dan jurnalis di AS yang membongkar fakta ini malah diberangus.
Namun proyek ini gagal. Apa yang tidak dipahami Amerika adalah bahwa umat ini bukan kumpulan massa tanpa arah. Umat ini adalah ummatun waahidah, satu bangsa perlawanan. Di Iran, seluruh rakyat bersatu membela pasukan bersenjata mereka. Di Gaza, rakyat bertahan dalam kelaparan dan kehancuran. Di Lebanon, warga menolak meninggalkan kampung dan malah bergabung dengan front perlawanan. Di Yaman, setiap rumah adalah benteng. Di Irak, pasukan Hashd al-Shaabi menutup celah-celah infiltrasi.
Inilah yang membuat proyek Timur Tengah Baru—versi Amerika dan Israel—runtuh. Setiap bom yang mereka jatuhkan menyalakan bara baru. Setiap anak yang mereka syahidkan melahirkan ribuan tekad jihad.
“Bangsa ini adalah pendukung utama muqawamah. Dengan dukungan mereka, poros perlawanan mampu bertahan dan menggagalkan rencana musuh,” ungkap Imam Khamenei.
Israel bukan pusat kejahatan, melainkan alat eksekusi. Amerika adalah otak dari kekacauan ini. Apa yang terjadi di Gaza, Teheran, Beirut, dan Sana’a bukan sekadar perang antarnegara. Ini adalah konfrontasi ideologis antara poros arogansi dan poros istikamah. Umat telah memilih tempatnya. Perlawanan adalah jalan, dan kemenangan adalah janji Allah.
Sumber: Khamenei.ir