Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Ilusi Normalisasi: Rezim Zionis Bukan Jaminan Keamanan

Oleh: Dr. Mohsen Farkhani | Peneliti urusan Palestina dan rezim Zionis

“Pemerintahan-pemerintahan yang berkhayal bisa mendapatkan keamanan dari rezim Zionis harus sadar bahwa bergantung kepada entitas tersebut tidak akan membawa keamanan bagi siapa pun. Mereka keliru jika mengira dapat meraih stabilitas dengan menjadikan rezim Zionis sebagai sandaran, sebab rezim ini sedang menuju kehancuran berdasarkan ketetapan Ilahi yang pasti. Dan insya Allah, ia tidak akan bertahan lama lagi.”
Ayatullah al-‘Uzhma Sayyid Ali Khamenei, 4 Juni 2025

Pernyataan ini bukan sekadar proyeksi politik seorang pemimpin revolusioner. Ia adalah kesimpulan atas sejarah panjang kejahatan, pengkhianatan, dan ketidakmampuan rezim Zionis untuk menjadi faktor stabilisasi, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi wilayah yang terus dililit konflik karena keberadaannya.

Selama beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan gelombang baru normalisasi hubungan diplomatik antara sejumlah negara Arab dan rezim Zionis, seperti melalui Abraham Accords yang ditandatangani oleh Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Banyak pihak mencoba memoles kesepakatan ini sebagai “langkah menuju stabilitas dan perdamaian”. Namun kenyataan berkata sebaliknya. Apa yang ditawarkan bukanlah perdamaian, melainkan persekutuan rapuh yang dibangun di atas kepentingan sepihak, penuh kebohongan, dan pengingkaran terhadap hak rakyat Palestina.

Asal-Usul Rezim Zionis: Berdiri di Atas Penjajahan dan Pemusnahan Identitas

Sejak awal kemunculannya, proyek Zionisme dibangun di atas penyangkalan eksistensi bangsa Arab di tanah Palestina. Slogan provokatif “a land without people for a people without land” (sebuah tanah tanpa penduduk untuk sebuah bangsa tanpa tanah) dijadikan dalih untuk menutupi kenyataan sejarah: bahwa Palestina telah dihuni oleh bangsa Arab selama ribuan tahun. Kongres Zionis Pertama tahun 1897 dengan terang-terangan merancang pemindahan massal Yahudi ke Palestina, tanpa mengindahkan hak-hak penduduk asli Arab yang hidup, berbudaya, dan berdaulat di tanah itu.

Ketika rezim Zionis diproklamasikan pada 1948, kejahatan besar pun dimulai: lebih dari 500 desa Arab dihancurkan, ribuan keluarga Palestina terusir dari tanah kelahiran mereka, nama-nama kota dan desa diubah secara sistematis, dan ratusan situs Islam dimusnahkan atau diubah menjadi taman hiburan dan kawasan wisata. Ini bukan hanya pengusiran fisik, tetapi sebuah bentuk genosida budaya—upaya sistematis untuk menghapus jejak sejarah, identitas, dan keberadaan bangsa Palestina dari tanah airnya sendiri. Semua ini terjadi dengan dukungan politik, militer, dan ideologis dari kekuatan-kekuatan kolonial Barat.

Contoh mencolok dari proyek ini adalah penghapusan nama kota Umm al-Rashrash yang kini disebut Eilat, serta Umm Khalid yang diubah menjadi Netanya. Bahkan Canada Park, taman rekreasi yang terlihat indah dan damai, sejatinya dibangun di atas puing-puing tiga desa Palestina yang dihancurkan usai Perang 1967. Perubahan ini bukanlah hal sepele. Ia adalah bagian dari rencana besar untuk mencabut akar identitas Arab dan Islam dari bumi Palestina.

Zionisme: Ideologi Supremasi dan Penghisapan

Zionisme bukan hanya gerakan politik, tetapi juga ideologi rasialis yang menyebarkan kepercayaan bahwa bangsa Yahudi adalah “bangsa pilihan” dan memiliki hak istimewa di atas bangsa-bangsa lain. Dalam tafsir ekstrem yang berakar pada Talmud, bangsa Arab dan non-Yahudi dianggap sebagai kelompok rendahan yang bisa dipinggirkan, bahkan dihapuskan.

Ide supremasi ini kemudian melahirkan praktik eksploitasi dan dominasi terhadap kawasan. Dalam setiap hubungan dengan negara-negara Arab yang menormalisasi hubungan dengannya, rezim Zionis selalu menjadi pihak yang lebih diuntungkan. Melalui Abraham Accords, rezim ini mendapatkan akses terhadap teknologi Arab, pasar ekonomi, dan kerja sama intelijen. Sementara negara-negara Arab tidak mendapat perlindungan nyata atau manfaat ekonomi berarti. Bahkan, justru mendapat cibiran publik dalam negeri dan ketidakpercayaan dari negara-negara tetangganya sendiri.

Lebih ironis lagi, normalisasi ini justru memperkuat posisi kelompok Perlawanan di mata umat, seperti Hizbullah di Lebanon, Ansarullah di Yaman, dan Hamas di Palestina. Masyarakat memandang mereka sebagai benteng terakhir yang menjaga kehormatan Islam dan tanah suci dari rezim penjajah yang tamak.

Anti-Arabisme Rezim Zionis: Politik Pecah Belah sebagai Strategi Abadi

Salah satu kejahatan strategis Zionisme adalah politik adu domba dan penghancuran persatuan Arab. Rezim Zionis secara konsisten melemahkan solidaritas antarnegara Arab dengan menanamkan fitnah, mendukung kelompok separatis, dan bermain dalam konflik internal negara-negara tetangganya.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, rezim ini memanfaatkan ketegangan antara Mesir yang revolusioner di bawah Gamal Abdel Nasser dan negara-negara konservatif seperti Arab Saudi dan Yordania. Mereka menggunakan diplomasi rahasia, seperti dengan Yordania pada 1970-an, untuk memecah belah dunia Arab dan mencegah terbentuknya front anti-Zionis yang bersatu.

Puncaknya adalah Perjanjian Camp David tahun 1978 yang memisahkan Mesir dari perjuangan Arab dan melemahkan kekuatan Palestina. Sejak saat itu, Arab dibelah dua: antara yang melawan dan yang menyerah.

Zionis juga mendukung milisi Kristen Falangis dalam Perang Saudara Lebanon, memfasilitasi pendudukan Selatan Lebanon pada 1982, dan terlibat dalam Operasi Lavon di Mesir – sebuah rencana pemboman yang menyasar target sipil untuk menyudutkan pemerintahan nasionalis Mesir di mata Barat.

Ilusi Keamanan: Retaknya Benteng Zionis dari Dalam

Meski didukung penuh oleh Amerika Serikat dan Barat, serta memiliki teknologi militer tercanggih, rezim Zionis justru hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Serangan roket dari Gaza, rudal presisi dari Lebanon, dan drone dari Yaman menunjukkan bahwa kekuatan militer mereka tidak mampu menghentikan gelombang perlawanan yang muncul dari hati rakyat.

Operasi balasan Iran seperti Janji Sejati 1, 2 & 3 menjadi pukulan telak yang meruntuhkan mitos ketangguhan pertahanan udara mereka. Dunia menyaksikan bagaimana Iron Dome, yang selama ini dibangga-banggakan, gagal membendung serangan rudal balistik dan drone presisi dari wilayah poros Perlawanan.

Tak hanya dari luar, dalam negeri mereka pun bergolak. Konflik antara kelompok Yahudi Ortodoks dan sekuler semakin tajam, terutama terkait soal wajib militer, pendidikan agama, dan kebijakan publik. Fragmentasi etnis antara Yahudi Ashkenazi, Mizrahi, dan imigran Afrika pun menjadi bara dalam sekam.

Isu korupsi semakin merusak kredibilitas. Benjamin Netanyahu, yang berkuasa dengan cara manipulatif, berulang kali diseret ke pengadilan atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Semua ini membuat publik di dalam negeri kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemerintahan.

Normalisasi: Jerat atau Jembatan?

Beberapa pemerintah Arab tergoda untuk menormalisasi hubungan dengan Zionis karena janji investasi, teknologi, atau perlindungan militer. Namun fakta membuktikan bahwa mereka hanya menjadi pion sementara dalam catur politik kolonial. Tidak ada keamanan, hanya ketergantungan yang memperlemah kedaulatan.

Kegagalan rezim ini untuk menciptakan stabilitas – baik bagi dirinya sendiri maupun bagi sekutu Arabnya – membenarkan peringatan Ayatullah Khamenei:

“Rezim Zionis tidak memiliki masa depan. Ini adalah takdir Ilahi yang telah ditetapkan.”


Ketergantungan pada Barat: Rezim yang Tidak Mandiri

Rezim Zionis sepenuhnya bergantung pada dukungan militer, finansial, dan diplomatik dari AS dan negara-negara Eropa. Tanpa miliaran dolar bantuan militer setiap tahun, dan veto atas berbagai resolusi PBB yang menentangnya, rezim ini tak akan bertahan lama.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dukungan publik di Barat mulai melemah. Kejahatan perang yang dilakukan terhadap rakyat Gaza, pembunuhan terhadap anak-anak dan perempuan, serta blokade kemanusiaan telah membuka mata banyak masyarakat dunia. Narasi sebagai “korban” tak lagi dipercaya. Rezim Zionis kini menghadapi krisis legitimasi global yang serius.

Penutup: Jalan Satu-satunya Adalah Perlawanan

Dari Nakba 1948 hingga serangan terbaru di Gaza, dari pembentukan pemukiman ilegal hingga eksploitasi ekonomi pasca-normalisasi, semua ini menunjukkan watak asli rezim Zionis: anti-Arab, anti-Islam, dan penjajah.

Maka, tidak ada ilusi keamanan di balik perjanjian damai yang direkayasa. Yang ada hanyalah penundaan kehancuran. Satu-satunya jaminan martabat dan kebebasan adalah jalan muqawamah – jalan perlawanan – yang dilandasi oleh keyakinan, pengorbanan, dan solidaritas umat Islam.


Sumber: Khamenei.ir

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT