Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Karbala: Tragedi yang Menghidupkan Kesadaran

Tragedi Karbala bukan sekadar kisah pilu dalam sejarah Islam. Ia bukan sekadar sebuah pembantaian atas satu keluarga suci, atau peristiwa yang menyayat hati para pecinta. Ia adalah puncak dari konfrontasi dua kutub dalam sejarah manusia: kutub kebenaran yang menjunjung nilai-nilai ilahi, dan kutub kebatilan yang mengenakan topeng agama untuk melanggengkan kekuasaan. Karbala adalah peristiwa yang menyimpan makna jauh melampaui darah dan air mata.

Di balik peristiwa 10 Muharram 61 Hijriah itu, terdapat pertarungan abadi antara ruh Islam yang sejati dengan bentuk kosong yang dipaksakan oleh kekuasaan tiran. Imam Husain tidak bangkit untuk membalas dendam, meraih kekuasaan, atau menimbulkan kekacauan. Ia bangkit untuk menyelamatkan wajah Islam yang telah mulai terdistorsi oleh para pewaris palsu mimbar Rasul. Dalam khutbahnya, beliau menyatakan dengan tegas: “Sesungguhnya aku bangkit bukan karena keangkuhan, bukan karena kesombongan, tetapi untuk menegakkan kembali ajaran kakekku, Rasulullah.”

Dengan kata lain, kebangkitan Imam Husain adalah gerakan perbaikan—islah—yang bertujuan menghidupkan nilai-nilai kebenaran yang telah dilumpuhkan oleh kekuasaan zalim. Tragedi Karbala adalah buah dari diamnya umat terhadap penyimpangan, dari sikap kompromistis terhadap penguasa yang mencampuradukkan hak dan batil atas nama stabilitas dan perdamaian.


Tragedi ini menjadi bukti bahwa Islam yang benar tidak bisa hidup berdampingan dengan kekuasaan yang menyimpang. Ketika Yazid, seorang penguasa yang terang-terangan melanggar nilai-nilai Islam, diangkat sebagai khalifah atas umat, maka diam adalah pengkhianatan. Dalam kondisi seperti itu, pengorbanan menjadi satu-satunya bahasa suci untuk menyampaikan kebenaran.

Karbala adalah bahasa itu. Di sana, darah menjadi hujjah. Di sana, pengorbanan menjadi argumentasi yang tak terbantahkan. Sejak saat itu, sejarah umat Islam memiliki dua poros yang saling berseberangan: Islam yang berdiam di istana dan Islam yang berdiri di Karbala.

Mereka yang melihat Karbala hanya sebagai tragedi keluarga Nabi akan kehilangan makna sejatinya. Karbala bukan kisah keluarga. Ia adalah panggung perlawanan. Ia adalah deklarasi universal tentang harga diri manusia di hadapan kezaliman. Di sanalah makna syahadah menjelma dalam bentuk paling murni.


Tragedi Karbala tidak akan abadi jika hanya menyentuh sisi emosional umat. Keabadiannya lahir dari kedalaman spiritual dan kekuatan rasional yang ia bawa. Ia bukan hanya menyedihkan, tetapi mencerahkan. Ia bukan hanya menggugah hati, tetapi juga menyentuh akal. Inilah perbedaan antara tragedi suci dan drama duniawi. Tragedi biasa meninggalkan kesedihan. Tragedi suci membangkitkan kesadaran.

Dalam Karbala, tidak ada tangisan tanpa makna. Tidak ada pengorbanan tanpa tujuan. Setiap luka di tubuh para syuhada adalah saksi bahwa kebenaran harus dibayar dengan harga yang paling mahal. Dan justru karena harga itulah, kebenaran menjadi mulia.


Salah satu keagungan peristiwa ini adalah bahwa ia tidak bersifat reaksioner. Kebangkitan Imam Husain bukan karena kekalahan politik, bukan pula karena tekanan emosi. Ia adalah gerakan yang matang, penuh kesadaran, dan dilakukan atas dasar tanggung jawab moral terhadap sejarah dan umat. Ketika sebagian orang mencoba membujuk Imam untuk menghindari pertempuran, ia menjawab dengan ketenangan seorang pejuang: “Jika agama Muhammad tidak akan tegak kecuali dengan kematianku, maka wahai pedang, terimalah aku.”

Ucapan ini bukan ungkapan keputusasaan. Ia adalah deklarasi spiritual bahwa kebenaran itu hidup jika ada yang rela mati untuknya. Inilah falsafah syahadah yang menjadi ruh Karbala.


Namun, bahaya terbesar terhadap pemahaman tragedi ini bukan datang dari musuh lahiriah, melainkan dari penyimpangan makna oleh para pengikutnya sendiri. Ketika Karbala direduksi menjadi peristiwa emosional belaka, ketika majelis-majelis Asyura berubah menjadi tempat ratapan tanpa kesadaran, maka ruh perjuangan mulai padam. Padahal Imam Husain tidak meminta untuk ditangisi, melainkan untuk diikuti.

Hakikat tragedi Karbala adalah peringatan bagi setiap generasi bahwa agama dapat dirampas oleh kekuasaan. Bahwa simbol-simbol suci dapat digunakan untuk melestarikan kebatilan. Dan bahwa diam terhadap kebatilan—atas nama perdamaian atau loyalitas—adalah bentuk tertinggi dari pengkhianatan.


Karbala bukan cerita tentang masa lalu. Ia adalah cermin yang memantulkan kondisi umat di setiap zaman. Yazidisme bukan nama seseorang. Ia adalah fenomena: kezaliman yang merasuk ke dalam sistem, kekuasaan yang menindas atas nama agama, serta umat yang diam karena dibutakan oleh kenyamanan atau ketakutan.

Maka selama kezaliman masih bernafas, Karbala masih hidup. Selama umat masih tertindas, Asyura tetap relevan. Dan selama ada manusia yang berani berkata “tidak” kepada kekuasaan zalim, maka Imam Husain akan tetap hadir di tengah mereka.

Itulah hakikat tragedi Karbala: peristiwa yang menghidupkan manusia, menggugah hati nurani, dan menyalakan api kesadaran di tengah kegelapan zaman.


Sumber: Ashura: Misrepresentations and Insights – Syahid Muthahhari

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT