Di balik lembaran sunyi pasca Karbala, Imam Sajjad as memikul beban pewarisan risalah Nabi. Selama lebih dari tiga dekade, beliau membangun umat dalam senyap, hingga akhirnya dibungkam oleh racun Bani Umayah. Tapi suaranya tak pernah padam—karena ia mengakar dalam kebenaran.
Jejak Sunyi Seorang Imam
Imam Ali bin Husain as yang lebih dikenal sebagai Imam Sajjad, hidup di masa paling gelap dalam sejarah Ahlulbait. Setelah pembantaian Karbala tahun 61 H, beliau menjadi satu-satunya lelaki dewasa dari keluarga Husain bin Ali yang selamat. Meski tubuhnya lemah karena sakit, jiwa beliau tetap kokoh menantang kezaliman.
Dalam kondisi sebagai tawanan, beliau menyampaikan dua khutbah monumental—di Kufah dan Damaskus—yang membongkar kedustaan rezim Umayyah dan menghidupkan kembali suara kebenaran. Tapi setelah kembali ke Madinah, Imam tidak memilih jalan konfrontasi bersenjata. Ia memilih jalan pendidikan ruhani, kesabaran, dan doa.
Dalam Sahifah Sajjadiyyah, beliau meninggalkan warisan doa yang sarat makna, membentuk kesadaran spiritual umat dalam senyap. Bersama itu, beliau membina murid-murid unggulan seperti Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Muslim, dan Abu Hamzah ats-Tsumali—mereka yang kelak menjadi perantara ilmu Ahlulbait.
Madinah dalam Bayang-bayang Kekuasaan
Bani Umayah memandang Imam Sajjad dengan curiga. Di bawah permukaan, Imam membangkitkan simpati umat dengan teladan akhlaknya. Ia hadir di masjid dengan wajah penuh nurani. Ia dikenal karena ketekunannya beribadah dan kemurahan hatinya pada fakir miskin. Semua ini membuat para penguasa khawatir.
Di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (65–86 H), Imam terus dipantau, meski tidak diganggu secara langsung. Namun ketika kekuasaan berpindah ke tangan anaknya, al-Walid bin Abdul Malik (86–96 H), situasi memburuk.
Al-Walid dikenal paranoid terhadap para tokoh yang dicintai rakyat. Ia khawatir pengaruh Imam Sajjad akan membangkitkan semangat perlawanan. Imam, yang tak pernah mendukung pemberontakan senjata, tetap dianggap ancaman karena kekuatan moral dan ilmunya yang meluas.
Racun sebagai Senjata Kekuasaan
Menurut mayoritas riwayat dalam sumber-sumber Syiah, Imam Sajjad dibunuh dengan cara diracun atas perintah langsung dari al-Walid bin Abdul Malik. Racun diberikan secara perlahan dan licik agar kematian beliau tampak seperti sakit biasa. (Lihat: Bihar al-Anwar, Allamah Majlisi, jld. 46, hlm. 144)
Syaikh Mufid dalam Al-Irsyad menyatakan bahwa racun diberikan dalam makanan atau minuman melalui perantara kepercayaan khalifah. Imam yang mengetahui niat jahat itu tetap menerima takdirnya, namun ia sempat berwasiat kepada putranya, Imam Muhammad al-Baqir as, mengenai urusan pengurusan jenazah dan kepemimpinan setelahnya.
Imam Khamenei menyatakan:
“Imam Sajjad tidak meninggal karena usia tua. Beliau dibunuh karena keteguhannya dalam mempertahankan garis kebenaran. Musuh merasa tak mampu membungkamnya secara terbuka, maka mereka memilih racun sebagai senjata pengecut.”
(Pidato Asyura, 2000)
Kesyahidan Sang Penjaga Risalah
Hari kesyahidan Imam Sajjad menurut riwayat adalah 25 Muharram 95 H. Usia beliau saat itu sekitar 57 tahun. Imam wafat dalam keadaan penuh kesakitan akibat racun, namun lisannya tetap dihiasi dzikir. Ia berdoa, memuji Allah, dan menyerahkan dirinya dalam keikhlasan total.
Jenazahnya dimandikan dan dikafani oleh putranya, Imam Muhammad al-Baqir as, sesuai wasiat. Beliau dimakamkan di Pemakaman Baqi’, Madinah, di samping makam pamannya, Imam Hasan al-Mujtaba as.
Suara Para Ulama dan Tokoh tentang Imam Sajjad
Imam Khomeini (ra):
“Jika bukan karena Imam Sajjad dan Sayyidah Zainab, maka pesan Karbala akan terkubur. Imam Sajjad adalah Imam Revolusi Sunyi. Ia menggugah dunia tanpa senjata, hanya dengan munajat dan kebijaksanaan.”
(Kutipan dari Tahrir al-Wasilah, pengantar edisi Asyura)
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei:
“Beliau adalah lambang kekuatan dalam kesabaran, dan kesabaran dalam kekuatan. Ia melawan musuh bukan dengan pasukan, tapi dengan pendidikan. Ia membangkitkan generasi pejuang melalui kesunyian yang menukik.”
(Pidato 14 April 2000)
“Setiap kalimat Imam Sajjad adalah revolusi. Di Damaskus, beliau berdiri di hadapan Yazid, dan berkata dengan kebesaran ilahi: ‘Aku adalah anak Zamzam dan Shafa, aku adalah anak Muhammad Musthafa!’ Ini bukan hanya identitas, tapi perlawanan.”
(Pidato Muharram 1425 H)
Allamah Thabathabai (ra):
“Imam Sajjad menggabungkan dimensi politik dan spiritual dalam satu nafas. Ia menenun jaringan keimanan umat dengan tali-tali kesabaran dan doa yang tak pernah putus.”
(Tafsir al-Mizan, pengantar pada surat Al-Insan)
Warisan yang Hidup Selamanya
Kesyahidan Imam Sajjad bukan akhir dari perjuangan, melainkan puncaknya. Beliau bukan hanya pewaris darah Karbala, tapi pengawal maknanya. Lewat khutbahnya di istana Yazid dan bait-bait Sahifah Sajjadiyyah, beliau melukis ulang wajah Islam yang telah dinodai oleh Bani Umayyah.
Kini, ribuan tahun kemudian, warisannya tetap membimbing hati-hati pencari kebenaran. Doanya menjadi nyala api dalam kesepian, dan keteguhannya menjadi inspirasi dalam setiap perjuangan melawan tirani.
Sebagaimana diungkapkan Ayatullah Khamenei:
“Ketika dunia membungkam kebenaran, Imam Sajjad mengubah rantai penjara menjadi mimbar. Beliau adalah simbol bahwa bahkan dalam tawanan, manusia bisa menjadi bebas dan memerdekakan dunia.”
Referensi:
- Syaikh al-Mufid, Al-Irsyad, Muassasah A’lami, Beirut.
- Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 46, Dar Ihya’ at-Turats.
- Syaikh Abbas Qummi, Muntaha al-Amal, jld. 2.
- Sahifah Sajjadiyyah.
- Ayatullah Khamenei, kumpulan pidato Muharram (2000–2005), www.khamenei.ir
- Tafsir al-Mizan, Allamah Thabathabai.
- Tahrir al-Wasilah, Imam Khomeini, pengantar edisi Asyura.