Dalam perjalanan ruhani seorang hamba, doa bukan sekadar permintaan. Ia adalah jembatan yang menghubungkan makhluk dengan Sang Pencipta. Doa adalah bisikan cinta, pengakuan lemah di hadapan Yang Maha Kuat, dan permohonan ampun dari jiwa yang ingin kembali kepada asalnya. Namun, ada satu hal yang mampu merobohkan jembatan itu—yakni dosa.
Dalam berbagai riwayat dari Ahlul Bait as, dosa tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran hukum, tetapi sebagai racun ruhani yang memutus hubungan antara hamba dan Tuhan. Ia adalah kabut tebal yang menutupi cahaya hidayah, penghalang dari rahmat Ilahi, dan pengikis restu Ilahi (tawfiq).
Dosa Merusak Hati dan Menutup Pintu Tawfiq
Imam Ja’far ash-Shadiq as, pewaris ilmu kenabian dari Rasulullah saw, menukil dari ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir as, sebuah hakikat yang mengguncang: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih merusak hati kecuali kesalahan. Hati itu akan terus berbuat kesalahan hingga dikuasai olehnya, sampai yang atas menjadi di bawah, dan yang di bawah menjadi di atas.” (Ushul al-Kafi, Jilid 3, hlm. 370)
Ini bukan hanya pernyataan metaforis. Hati manusia adalah pusat kesadaran moral dan spiritual. Ketika ia diracuni oleh dosa-dosa yang terus dilakukan tanpa penyesalan, maka terjadilah pembalikan orientasi. Yang sebelumnya menjunjung nilai-nilai ilahi kini tenggelam dalam hawa nafsu. Cahaya digantikan kegelapan. Ketulusan diganti kepalsuan.
Dalam riwayat lain, Imam ash-Shadiq as menambahkan: “Jika seseorang melakukan kesalahan, maka akan muncul satu titik hitam di hatinya. Jika ia bertobat, titik itu akan hilang. Namun jika terus berdosa, titik itu akan bertambah hingga menguasai seluruh hati. Setelah itu, ia tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan.” (Ushul al-Kafi, Jilid 3, hlm. 373)
Pernyataan ini senada dengan konsep “qaswat al-qalb” (kerasnya hati) dalam Al-Qur’an. Dosa yang tidak segera ditebus dengan istighfar akan mengeras menjadi noda permanen. Ia menumpuk, hingga hati kehilangan kemampuannya untuk menerima cahaya dan kebenaran. Allah Swt berfirman: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutup (mengotori) hati mereka.” (QS. Al-Mutaffifin: 14)
Dicabutnya Nikmat Zikir karena Dosa
Betapa berharganya zikir, sehingga dalam banyak ayat, Allah mengaitkan kemenangan dan keselamatan dengan mengingat-Nya. Namun, dosa bisa mencabut nikmat zikir itu dari hati seorang hamba. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq as, ia berkata:“Allah Swt mewahyukan kepada Nabi Dawud as: ‘Setidaknya ada satu dari tujuh puluh jenis hukuman yang akan Aku berikan kepada hamba-Ku yang tidak mengamalkan ilmunya, yaitu Aku akan cabut dari hatinya kenikmatan untuk berzikir kepada-Ku.'” (Dar al-Salam, Jilid 3, hlm. 200)
Ini adalah jenis hukuman ruhani yang sangat halus, tapi mematikan. Seseorang mungkin masih berbicara tentang agama, masih hafal doa dan ayat-ayat, tetapi hatinya tidak lagi bergairah saat mendengar nama Allah. Lidahnya kering dari istighfar, dan malam-malamnya hampa dari munajat.
Dosa Menghalangi Shalat Malam
Salah satu ibadah yang memiliki nilai spiritual tinggi dalam Islam adalah shalat malam (salat al-lail). Ia dilakukan secara sunyi, tanpa riya, di saat mayoritas manusia terlelap. Namun, dosa menjadi penghalang utama seseorang untuk dapat menikmati ibadah ini.
Dalam kisah yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as seseorang pernah mengadu: “Wahai Amirul Mukminin, aku telah diharamkan dari shalat malam.”
Imam Ali menjawab: “Sesungguhnya engkau telah terkekang oleh dosa-dosamu.” ‘(Ilal al-Syarā’i’, Jilid 2, hlm. 51)
Sementara Imam Ja’far ash-Shadiq as menegaskan: “Sesungguhnya seseorang yang melakukan suatu dosa akan dihalangi dari shalat malam. Dan sungguh perbuatan buruknya akan lebih cepat merusak dirinya dibandingkan dengan pisau yang menyayat daging.” (Ushul al-Kafi, Jilid 3, hlm. 374)
Shalat malam adalah indikator hidupnya jiwa. Ia adalah titik tolak dari bangkitnya ruhani seseorang. Ketika seseorang sudah merasa berat bangun untuk tahajjud, hendaknya ia merenung: dosa apakah yang telah mengikatku malam ini?
Iblis dan Strategi Menutup Pintu Tobat
Salah satu kisah yang menggambarkan strategi setan dalam menjerumuskan manusia adalah yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq dalam Amāli-nya. Ketika ayat berikut diturunkan:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka…” (QS. Ali Imran:135-136)
Iblis merasa sangat terguncang. Ia naik ke Gunung Tsur di Makkah dan memanggil seluruh bala tentaranya. Mereka pun datang dan berkata, “Apa yang membuat engkau memanggil kami?” Iblis menjawab, “Telah turun ayat ini, siapa yang sanggup menghadapinya?”
Satu per satu setan mengajukan strategi, tapi tak satu pun yang membuat Iblis puas, hingga bangkitlah setan bernama Al-Waswas Al-Khannas dan berkata: “Aku akan memberikan janji dan angan-angan kepada manusia sampai mereka melakukan kesalahan. Dan setelah mereka terjatuh dalam dosa, aku akan membuat mereka lupa untuk beristighfar.”
Iblis menjawab: “Engkaulah yang paling cocok untuk mendampingi ayat ini.” (Amāli al-Shaduq, hlm. 465)
Di sinilah letak tipu daya setan: bukan hanya mendorong manusia ke dalam dosa, tetapi menghalangi mereka dari jalan kembali. Ia menjadikan dosa terasa ringan, lalu menjadikan tobat terasa jauh dan mustahil. Padahal Allah membuka pintu tobat selebar-lebarnya bagi siapa pun yang datang dengan hati tulus.
Menjaga Hati dari Lumpur Dosa
Dari seluruh riwayat ini, tampak jelas bahwa dosa adalah bukan sekadar beban hukum, tapi luka ruhani yang menghalangi cahaya. Ia memutus hubungan kita dengan Allah, mencabut kemampuan kita untuk berzikir, dan bahkan menghalangi ibadah-ibadah terbaik seperti shalat malam.
Namun, Allah Maha Pengampun. Setiap titik hitam masih bisa dihapus, setiap belenggu masih bisa dipatahkan—asal kita kembali. Tobat bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan tertinggi jiwa yang ingin bangkit dari keterpurukan.
Di era ini, di tengah dunia yang terus menarik kita ke dalam kelalaian, menjaga diri dari dosa bukanlah hal mudah. Tapi justru karena itulah, menjaga hati dari dosa menjadi tugas suci seorang mukmin.
Sebagaimana kata Imam Ali a.s.: “Janganlah engkau melihat kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada siapa engkau telah bermaksiat.”
Semoga Allah SWT menjaga kita dari tergelincir, dan bila kita jatuh, semoga Dia menganugerahkan kekuatan untuk kembali. Karena dalam tobatlah, hubungan itu kembali tersambung. Dalam tangis istighfar, ruh kembali menemukan Tuhan-Nya.
*Dielaburasi dari buku Akibat Dosa – Sayyid Hasyim Ar-Rasuli AI-Mahallati