Oleh: Zahra Shafei, Peneliti Budaya
Dalam dunia yang terus digempur oleh gelombang globalisasi ala Barat, hijab tak sekadar sehelai kain yang menutupi tubuh perempuan Muslimah. Ia adalah lambang, pesan, dan perlawanan. Dalam pandangan Barat yang sekuler dan liberal, hijab kerap disematkan sebagai simbol penindasan dan keterbelakangan. Padahal bagi jutaan perempuan Muslimah, hijab adalah penegasan identitas, pelindung harga diri, dan ekspresi iman yang kokoh.
Konfrontasi ini bukan soal selera berpakaian. Ini adalah pertempuran dua nilai dunia yang saling bertolak belakang: satu berasal dari paradigma kolonialisme yang menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas dalam pusaran kapitalisme dan hedonisme; yang lain berasal dari sistem nilai Islam yang menjunjung kehormatan, peran sosial, serta spiritualitas perempuan dalam kerangka moral dan tauhid.
Model Perempuan Global: Penjajahan dalam Balutan Feminisme
Sejak masa kolonial hingga hari ini, Barat (khususnya Eropa dan Amerika) terus berupaya memaksakan model ‘perempuan modern’ sebagai satu-satunya standar global. Di balik slogan-slogan ‘kebebasan’ dan ‘kesetaraan’, model ini sesungguhnya menempatkan perempuan sebagai pelayan sistem kapitalis, terperangkap dalam jeratan konsumerisme, mode, dan eksploitasi seksual terselubung.
Jejak historisnya terlihat jelas. Di Aljazair, penjajah Prancis merendahkan budaya lokal dan mempropagandakan pencopotan hijab sebagai tindakan ‘pembebasan’. Dalam era modern, hal yang sama terjadi dalam bentuk yang lebih halus namun lebih berbahaya. Pemerintah Prancis, atas nama sekularisme (laïcité), melarang jilbab di sekolah, menghapus abaya dari ruang publik, dan bahkan pada bulan Februari 2025 meloloskan undang-undang yang melarang jilbab dalam kompetisi olahraga. Menteri Dalam Negeri dan anggota parlemen Prancis dengan terbuka menyuarakan pelarangan hijab di jalanan, dan beberapa bahkan berani mengucapkan ‘kematian bagi hijab’.
Pesan yang ingin disampaikan Barat jelas: ‘Identitas dan agama Anda tidak cocok dengan menjadi warga dunia kami’. Ini bukan hanya penghapusan busana, melainkan upaya penghapusan eksistensi dan identitas.
Dari Lord Cromer ke George Bush: Lintasan Warisan Kolonial
Di Mesir, Lord Cromer (perwakilan Inggris) menulis dalam bukunya Modern Egypt bahwa Islam merendahkan perempuan karena membatasi cara berpakaian mereka, dan bahwa syarat ‘kemerdekaan’ Mesir adalah dengan penghapusan hijab. Penjajah Inggris, sebagaimana Prancis, melihat hijab sebagai musuh utama dalam misi peradaban mereka.
Setelah Perang Dunia II, tongkat estafet peradaban kolonial ini dipegang oleh Amerika Serikat. Dalam invasi ke Afghanistan dan Irak, Amerika menggunakan narasi ‘pembebasan perempuan’ sebagai dalih perang. George W. Bush bahkan mengklaim bahwa kedatangan tentara AS telah memberikan kebebasan kepada perempuan Afghanistan, padahal yang terjadi adalah kehancuran total struktur sosial dan nilai-nilai lokal.
Senjata Tak Terlihat: Media Global dan Standar Kecantikan Barat
Perang terhadap hijab tidak hanya dilakukan lewat undang-undang atau kekuatan militer. Senjata paling efektif yang digunakan Barat adalah media. Dari film Hollywood hingga video di Instagram, dari serial Netflix hingga gim daring semua membentuk citra perempuan ideal: terbuka, sensual, dan tunduk pada standar kecantikan buatan. Dalam narasi mereka, perempuan berhijab adalah makhluk asing, tertindas, atau ekstremis.
Kita jarang bahkan hampir tidak pernah melihat perempuan berhijab digambarkan sebagai ilmuwan, pemimpin, atau pejuang kemanusiaan. Gambaran ini bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari proyek panjang untuk mencabut akar identitas Islam dan menanamkan rasa rendah diri pada generasi muda Muslim.
Media ini bukan hanya menyasar umat Islam. Bahkan masyarakat Kristen konservatif di Amerika Latin dan Eropa Timur kini menghadapi infiltrasi budaya pornografi dan pelucutan nilai-nilai kesucian. Dengan dalih ‘kebebasan berekspresi’, perempuan didorong untuk menjadikan tubuh mereka sebagai alat eksistensi di hadapan kamera dan publik.
Kerusakan Akibat Model Barat: Keluarga Runtuh, Perempuan Terluka
Apa hasil dari semua ini? Di balik layar yang penuh kilauan, terdapat realitas pahit. Di Amerika Serikat, hampir 40% anak lahir dari ibu tunggal; tingkat perceraian hampir mencapai 50%. Di Prancis, lebih dari separuh pernikahan berakhir dengan perceraian, dan 60% anak lahir tanpa status pernikahan orang tuanya. Seks bebas dikemas sebagai kebebasan, tetapi yang terjadi adalah eksploitasi diam-diam terhadap perempuan, yang akhirnya menjadi korban pasar mode, media, dan pria pemangsa.
Model perempuan Barat yang diklaim sebagai bentuk ‘kemajuan’ justru membawa kehancuran nilai kekeluargaan, kehormatan diri, dan stabilitas sosial. Perempuan ‘bebas’ untuk membeli tas bermerek, tetapi mereka menjadi budak standar kecantikan palsu. Mereka boleh menjalin hubungan tanpa ikatan, tetapi ketika mengandung dan menjadi ibu tunggal, sistem sosial menutup mata.
Hijab sebagai Simbol Perlawanan terhadap Hegemoni Global
Pertanyaan penting: jika Barat sungguh membela kebebasan dan hak perempuan, mengapa mereka mendukung diktator seperti rezim Saudi tetapi menjatuhkan sanksi kepada Republik Islam Iran hanya karena membela hijab?
Jawabannya jelas: perang terhadap hijab bukan tentang kebebasan. Ini adalah tentang kuasa. Ini adalah upaya menghancurkan simbol perlawanan terhadap dominasi nilai Barat. Hijab adalah bendera iman, harga diri, dan identitas yang tak tunduk. Dalam kancah pertempuran budaya global, hijab menjadi penanda penolakan terhadap penjajahan gaya baru: penjajahan melalui mode, iklan, dan ideologi kosong.
Sebagaimana dikatakan oleh Pemimpin Revolusi Islam, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam pidatonya tahun 1991, “Masyarakat Islam sejati, dengan Republik Islam di garis terdepan telah menggagalkan segala upaya kolonialis untuk memaksakan model budaya mereka.”
Zainab al-Kubra: Teladan Perempuan Perlawanan
Di tengah gempuran ini, masyarakat Iran berdiri sebagai benteng. Dengan sejarah peradaban yang berusia 3.000 tahun dan kekuatan ruhani Islam, perempuan Iran terinspirasi oleh sosok agung seperti Sayidah Zainab menjadi simbol kekuatan spiritual dan intelektual yang tak bisa dikalahkan. Mereka menunjukkan bahwa menjadi ilmuwan, ibu, aktivis, dan muslimah berhijab adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Hijab bukan simbol pengekangan. Ia adalah benteng dalam perang identitas. Ia adalah suara lantang dalam senyap, menolak tunduk pada sistem yang ingin mereduksi perempuan menjadi sekadar objek konsumsi.
Penutup
Hijab adalah medan perjuangan yang senyap namun genting. Ia menjadi penanda bahwa umat Islam masih memiliki nilai sendiri, pandangan dunia sendiri, dan jalan hidup yang tak bisa dipaksa tunduk oleh kekuatan kapitalisme global. Di tengah dunia yang semakin kabur batas moralnya, hijab berdiri tegak sebagai benteng akhir peradaban, harga diri, dan keimanan.
Sumber: Khamenei.ir