Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Para Tawanan Ahlulbait di Damaskus: Ketika Kebenaran Menembus Kegelapan

Syam—negeri luas yang kini kita kenal sebagai Suriah—pernah menjadi panggung utama dalam tragedi terbesar sejarah Islam: pasca tragedi Karbala. Negeri ini dulunya ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah komando Khalid bin Walid dan kemudian diperintah oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Namun, di balik kejayaan politik itu, tersembunyi sebuah realitas sosial dan keagamaan yang sangat mencengangkan: penduduk Syam tidak pernah melihat Rasulullah saw. Mereka tidak mengenal sabdanya dari dekat, tidak hidup bersama sahabat-sahabat utama beliau, bahkan tidak tahu siapa keluarga suci beliau.

Dalam kekosongan pengetahuan itu, propaganda menjadi senjata paling ampuh. Mu’awiyah dan rezim Bani Umayyah membentuk opini publik bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari “sunnah Nabi”. Tidak sedikit rakyat Syam yang menerima mentah-mentah narasi ini, karena bagi mereka, tidak ada rujukan langsung tentang Islam selain yang ditampilkan oleh penguasa.

Oleh karena itu, ketika kafilah tawanan Ahlulbait—keluarga Rasulullah saw—tiba di Damaskus setelah peristiwa Karbala, penduduk Syam menyambut mereka bukan dengan belas kasihan, melainkan dengan cemoohan. Mereka tidak tahu bahwa yang diarak sebagai tawanan adalah cucu Nabi, cicit Nabi, dan keluarga suci yang Allah sucikan dalam Al-Qur’an.

Pertemuan Sang Imam dengan Lelaki Tua Syam

Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa saat kafilah Ahlulbait memasuki Damaskus, seorang lelaki tua mendekati Imam Ali Zainal Abidin as, putra Imam Husain as. Dengan keyakinan yang dibentuk oleh propaganda bertahun-tahun, lelaki itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membinasakan kalian dan memenangkan Amirul Mukminin (yakni Yazid bin Mu’awiyah) atas kalian.”

Imam as, dengan kelembutan yang mencerminkan akhlak Rasulullah, tidak membalas dengan kemarahan. Beliau justru bertanya, “Wahai orang tua, pernahkah engkau membaca Al-Qur’an?”

Lelaki itu menjawab, “Ya, aku pernah membacanya.”

Imam pun mengutip beberapa ayat yang secara tegas menyinggung posisi keluarga Nabi: “Katakanlah: Aku tidak meminta balasan apa pun darimu selain kecintaan terhadap keluarga dekatku (al-qurba).” (QS. Asy-Syura: 23)

“Maka berikanlah kepada dzil qurba hak mereka.” (QS. Ar-Rum: 38)

“Ketahuilah, dari apa pun yang kalian peroleh, maka sesungguhnya seperlima darinya untuk Allah, Rasul, dan dzil qurba.” (QS. Al-Anfal: 41)

“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan kenistaan dari kalian, wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Lelaki itu mulai terdiam, matanya berkaca-kaca. Imam berkata tegas, “Kamilah dzil qurba. Kamilah Ahlulbait yang disucikan oleh ayat itu.”

Kesadaran menghantam batin lelaki tua itu. Ia menangis, melemparkan sorbannya, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah, aku berlepas diri dari musuh-musuh keluarga Muhammad.”

Itulah titik balik kecil, namun berarti: sebuah cahaya yang menembus kabut kebodohan dan propaganda. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya, bahkan di tengah negeri yang gelap sekalipun.

Ketika Imam Menjawab dengan Adzan

Kisah lain yang tak kalah menggugah terjadi tak lama setelah kafilah Ahlulbait memasuki Syam. Seorang pria bernama Ibrahim bin Thalhah bin Ubaidillah menghampiri Imam Ali Zainal Abidin as dan bertanya dengan nada penuh kemenangan, “Wahai Ali bin Husain, siapakah yang menang?”

Pertanyaan ini sebenarnya bukan sekadar retoris, tetapi mencerminkan cara berpikir politik mainstream: bahwa kemenangan berarti kekuasaan, tahta, dan kejayaan duniawi. Namun, jawaban sang Imam menghancurkan definisi itu.

Beliau berkata, “Jika engkau ingin tahu siapa yang menang, maka ketika tiba waktu salat, adzanlah dan dirikanlah salat.”

Jawaban yang diberikan Imam Ali bin Husain ini ingin menegaskan bahwa pertarungan dan pergulatan yang sebenamya adalah demi ditegakkannya adzan, takbir dan pengikraran atas keesaan-Nya, bukan demi pemerintahan dan kekuasaan Bani Hasyim. Dan bahwa kesyahidan Imam Husain as dan orang-orang pilihan dari kalangn Ahlulbait dan sahabatnya adalah sebab kelanggengan Islam Muhammadi dan tetap tegaknya Islam dihadapan kejahiliyahan Bani Umayah dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka yang tidak pernah merasakan manisnya iman dan Islam.

Islam Diselamatkan oleh Darah

Jawaban Imam Ali Zainal Abidin as adalah penegasan bahwa pengorbanan keluarganya bukan untuk merebut kekuasaan dunia. Kesyahidan Imam Husain as dan para sahabatnya adalah demi menjaga ruh Islam agar tidak hancur oleh kezaliman Bani Umayyah yang telah mengubah agama menjadi alat kekuasaan.

Di mata Yazid, kemenangan adalah kepala di atas tombak dan tahta yang dipertahankan dengan darah. Tapi di mata Ahlulbait, kemenangan adalah menjaga nilai-nilai Rasulullah tetap hidup. Maka meskipun jasad Imam Husain as terkapar di Karbala, semangat dan ajarannya tetap menyala di hati jutaan jiwa.

Epilog: Ketika Syam Membuka Mata

Kisah lelaki tua yang bertobat dan pengakuan diam-diam dari rakyat Syam setelah mendengar khutbah Sayyidah Zainab as dan Imam Sajjad as menunjukkan bahwa kebenaran tak bisa dibungkam selamanya. Negeri Syam yang awalnya tidak mengenal Ahlulbait, akhirnya menjadi saksi bahwa merekalah warisan sejati Rasulullah.


Catatan:
Dialog Imam Sajjad as dengan lelaki Syam terdapat dalam berbagai riwayat sejarah, seperti al-Irshad karya Syaikh Mufid dan Maqtal al-Husain karya al-Khwarizmi. Diriwayatkan juga oleh sejarawan Sunni seperti Abu Mikhnaf dan al-Tabari.


Disarikan dari buku Biografi Imam Ali Sajjad – Tim Al-Huda

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT