Empat hari menjelang wafat, Rasulullah ﷺ terbaring di ranjang dengan tubuh yang dilanda demam berat. Wajah beliau tampak pucat, tetapi sorot ketegasan masih jelas terpancar. Di tengah ruangan yang dipenuhi para sahabat, beliau bersuara lirih namun penuh wibawa: “Bawalah kepadaku kertas dan tinta, agar kutuliskan sesuatu yang akan menjaga kalian dari kesesatan selamanya.”
Sekilas, permintaan itu terdengar sederhana. Namun bagi mereka yang hadir, kalimat tersebut sarat dengan makna besar. Rasulullah ﷺ tidak hendak menulis pesan biasa, melainkan meninggalkan wasiat terakhir yang akan menjadi penuntun umat sepanjang masa.
Alih-alih tercipta keheningan dan kepatuhan, yang muncul justru kegaduhan. Sebagian sahabat segera menyatakan kesediaan, tetapi ada pula yang menolak dengan ucapan keras: “Kami telah memiliki Kitabullah, cukuplah itu bagi kami.” Kalimat itu menyulut perdebatan sengit, hingga suara-suara saling bersahutan di hadapan manusia paling mulia.
Menyaksikan pertentangan itu, Rasulullah ﷺ tampak berduka. Dengan nada kecewa beliau bersabda: “Pergilah… tinggalkan aku.” Sejak saat itu, peristiwa tersebut dikenang dengan nama Raziyyat al-Khamis—tragedi hari Kamis. Abdullah ibn Abbas, yang masih muda ketika menyaksikan kejadian itu, selalu menitikkan air mata ketika mengingatnya. Dengan suara lirih ia berkata, “Alangkah besarnya musibah pada hari Kamis itu.”
Wasiat yang Tertahan
Apa sebenarnya isi wasiat yang hendak ditulis Nabi? Para ulama Syiah menegaskan, Nabi ingin mempertegas kembali kepemimpinan sepeninggal beliau agar umat tidak berselisih. Sebab sejak Ghadir Khum, Nabi telah mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib sebagai wali dan penerus. Wasiat tertulis akan menjadi dokumen final yang tak bisa ditolak. Namun dengan kegaduhan itu, tulisan itu tak pernah tercatat di atas kertas. Sejarah pun kehilangan sebuah teks yang mestinya menjadi pegangan abadi.
Buku biografi Nabi karya Majma‘ Ahl al-Bayt menyebut tragedi itu sebagai “wasiat yang tidak terdiktekan.” Artinya, niat Nabi untuk menuliskan pesan tertahan oleh campur tangan manusia. Sejak itu, arah perjalanan politik Islam terbuka bagi sengketa. (Majma‘ Ahl al-Bayt).
Substansi Wasiat: Dua Amanah
Walaupun tertahan secara tertulis, Nabi telah menyampaikan inti pesannya dalam banyak kesempatan. Wasiat Nabi terkandung dalam hadis yang sangat masyhur, yakni Hadis al-Tsaqalayn: “Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka agung: Kitabullah dan Ahlul Bait-ku. Selama kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya.” Pesan ini diriwayatkan dalam banyak jalur, termasuk dalam kitab-kitab Sunni ternama seperti Sahih Muslim dan Musnad Ahmad. (Muslim, Kitab Fadhail; Musnad Ahmad).
Dari sini terlihat jelas bahwa wasiat Nabi bukan hanya soal menjaga Al-Qur’an sebagai teks, tetapi juga berpegang pada Ahlul Bait sebagai penjelas dan penafsir sejati. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Al-Qur’an tanpa Ahlul Bait akan ditarik ke banyak tafsir yang bertentangan; Ahlul Bait tanpa Al-Qur’an akan disalahgunakan sebagai klaim kosong.
Pelajaran dari Tragedi Kamis
Peristiwa Kamis itu mengajarkan beberapa hal penting bagi umat. Pertama, otoritas wahyu tidak boleh diperdebatkan di hadapan Nabi. Ibn Abbas sampai menilai peristiwa itu sebagai sebuah kesalahan besar dalam adab. Ketika Nabi memerintahkan sesuatu, seharusnya ketaatan mendahului perdebatan. Kedua, peristiwa itu memperlihatkan bagaimana politik dan kepentingan pribadi sudah mulai membayang di masa hidup Nabi. Ada yang khawatir bila Nabi menuliskan sesuatu, maka kepemimpinan umat setelahnya akan terkunci.
Ketiga, tragedi Kamis menunjukkan bahwa agama bukan sekadar teks. Ia membutuhkan pewaris yang menjaga makna. Dalam pandangan Syiah, pewaris itu adalah Ahlul Bait, yang telah ditunjuk secara jelas oleh Nabi. Inilah mengapa Syiah menempatkan imamah sebagai kelanjutan nubuwwah dalam hal bimbingan.
Wasiat Lain Menjelang Wafat
Selain permintaan untuk menuliskan wasiat, Nabi juga menyampaikan beberapa pesan lisan pada masa sakitnya. Riwayat menyebutkan tiga hal: pertama, agar Jazirah Arab disucikan dari kemusyrikan; kedua, agar para utusan asing dihormati; dan ketiga, sebuah pesan yang terlupa oleh perawi. Banyak ulama meyakini pesan ketiga itu adalah soal kepemimpinan sepeninggal Nabi. Dua pesan yang tersisa memperlihatkan visi besar Nabi: membangun masyarakat bertauhid dan menjadikan diplomasi mulia sebagai wajah Islam. (Musnad Ahmad; Tarikh al-Tabari).
Luka yang Membelah
Tragedi Kamis adalah luka dalam tubuh umat Islam. Di satu sisi, ia menyingkap keinginan Nabi untuk mengunci arah umat agar tidak berselisih. Di sisi lain, ia memperlihatkan bagaimana peluang itu hilang karena pertengkaran. Setelah Nabi wafat, umat pun benar-benar terjerumus ke dalam perselisihan politik yang panjang. Sejarah mencatat perdebatan sengit di Saqifah, perebutan kekuasaan, dan berlanjut pada peristiwa-peristiwa berdarah di kemudian hari.
Bagi Syiah, tragedi ini adalah titik awal terbelahnya umat. Wasiat Nabi tentang Al-Qur’an dan Ahlul Bait seharusnya menjadi penopang kesatuan, tetapi ditinggalkan. Sejak itu, sejarah Islam diwarnai penyimpangan, mulai dari pengabaian hak Ahlul Bait hingga tragedi Karbala.
Menyambung Wasiat yang Tertinggal
Meski wasiat tertulis itu hilang, pesan Nabi tetap hidup. Ia hadir dalam hadis-hadis yang mutawatir, dalam khutbah Ghadir, dan dalam jejak kehidupan Ahlul Bait. Tugas generasi setelahnya adalah menyambung yang tertinggal:
- Menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman nilai dan hukum.
- Menjadikan Ahlul Bait sebagai rujukan hidayah.
- Menegakkan adab dalam beragama agar tidak mengulang perdebatan di hadapan wahyu.
Dengan menyatukan Al-Qur’an dan Ahlul Bayt, umat memiliki tali pengikat yang kokoh. Inilah jalan keselamatan yang dijanjikan Nabi.
Epilog
Hari Kamis itu, kertas dan tinta tidak pernah dihadirkan, dan wasiat Nabi tidak pernah tertulis. Namun substansi pesannya tetap abadi: Al-Qur’an dan Ahlul Bait adalah pusaka agung yang harus dipegang bersama. Sejarah memang mencatat tragedi, tetapi tragedi itu juga menjadi peringatan. Jangan sampai umat kembali kehilangan Kamisnya.
Referensi
History of Islam up to the Demise of the Prophet – World Assembly of Ahlul Bayt (Majma‘ Ahl al-Bayt).