Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dialog Rasulullah saw dengan Kaum Ateis

Pembahasan sebelumnya Dialog Rasulullah saw dengan Pemuka Agama Kristen dan Yahudi

Di setiap zaman, selalu ada manusia yang menolak keberadaan Tuhan. Mereka berdalih bahwa alam ini ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan pencipta. Pandangan seperti itu bukan hanya milik era modern, tetapi sudah ada sejak masa Rasulullah Muhammad saw. Riwayat yang sampai kepada kita menggambarkan bagaimana beliau, dengan penuh hikmah dan kecerdasan, berhadapan langsung dengan kaum ateis yang menolak tauhid. Dengan argumentasi yang sederhana namun dalam, beliau membongkar kelemahan logika mereka hingga mereka sendiri mengakui kesalahan jalan pikirannya. Riwayat ini bukan hanya kisah sejarah, tetapi cahaya yang terus relevan bagi umat Islam dalam menghadapi gelombang ateisme modern.

Pandangan Ateis di Masa Rasulullah saw

Kaum ateis yang ditemui Rasulullah saw berkeyakinan bahwa alam semesta bersifat qadim, yaitu tidak memiliki permulaan dan tidak akan pernah berakhir. Mereka berkata:
“Kami hanya menetapkan apa yang kami saksikan. Kami tidak mendapati pencipta alam ini, maka kami katakan bahwa alam ini ada sejak awal. Kami tidak melihat alam ini berakhir, maka kami katakan ia kekal.”

Pernyataan itu, meskipun terkesan logis pada pandangan awam, sesungguhnya mengandung kontradiksi. Mereka menolak pencipta karena tidak menyaksikan-Nya secara langsung, tetapi pada saat yang sama menetapkan sifat qadim dan kekal pada alam tanpa bukti. Dengan kata lain, mereka menolak iman pada yang gaib, tetapi justru menetapkan keyakinan yang sama-sama gaib tanpa dasar.

Hujjah Rasulullah saw

Rasulullah saw tidak menjawab dengan kemarahan, melainkan dengan hujjah yang masuk ke dalam logika mereka. Beliau bertanya:

“Apakah kalian benar-benar mendapati alam ini qadim dan kekal? Jika demikian, berarti sejak awal kalian berada dalam bentuk dan rupa sekarang, dan akan selamanya begini. Namun bukankah kalian menyaksikan perubahan pada diri kalian dan pada alam ini? Bukankah penduduk negeri sebelumnya sudah tiada?”

Kaum ateis terdiam, lalu mengakui: “Kami belum melihat alam ini qadim dan kekal.”

Rasulullah saw kemudian mengarahkan perhatian mereka pada fenomena paling nyata: pergantian siang dan malam.

“Tidakkah kalian lihat malam dan siang datang silih berganti?”

Mereka menjawab: “Ya.”

“Apakah keduanya mungkin bersatu?”

Mereka menjawab: “Tidak mungkin.”

Beliau menegaskan: “Jika demikian, berarti masing-masing dari keduanya terputus dari yang lain, hingga keberadaan yang satu ada setelah yang lainnya. Maka jelaslah bahwa malam dan siang memiliki permulaan. Jika sesuatu memiliki permulaan, ia bukan qadim.”

Kaum ateis pun tak bisa menyangkal. Rasulullah saw lalu melanjutkan logikanya:

“Apakah kalian mengatakan malam dan siang memiliki akhir atau tidak? Jika kalian mengatakan tidak ada akhirnya, tentu saat yang kedua datang maka yang pertama tetap ada. Namun kenyataannya, saat malam datang, siang terputus. Itu berarti keduanya memiliki akhir. Jika kalian mengatakan ia memiliki akhir, berarti kalian mengakui ia hadits (baru, diciptakan). Dengan begitu, jelaslah bahwa tidak ada satu pun dari keduanya yang qadim.”

Mereka mengangguk dan mengakui kebenaran ucapan Rasulullah saw.

Analogi Bangunan

Untuk memperkuat argumentasinya, Rasulullah saw memberikan analogi yang sederhana:

“Alam ini bagaikan sebuah gedung. Setiap bagiannya saling membutuhkan satu sama lain agar bangunan itu tegak dan kokoh. Jika salah satu bagian runtuh, bangunan itu pun roboh. Maka bagian-bagian alam ini saling membutuhkan. Jika kalian menganggapnya qadim, bagaimana mungkin sesuatu yang membutuhkan bisa bersifat qadim? Sesuatu yang qadim mestinya tidak bergantung pada yang lain.”

Analogi ini sangat kuat. Sebuah gedung jelas tidak bisa berdiri tanpa tukang dan arsitek. Setiap batu bata tidak bisa berkata: “Aku sudah ada sejak awal dan berdiri sendiri.” Begitu pula dengan alam semesta. Keteraturan dan saling ketergantungan yang ada di dalamnya justru menunjukkan bahwa ia bergantung pada Pencipta yang tidak bergantung pada apa pun.

Keheningan Kaum Ateis

Mendengar hujjah itu, kaum ateis terdiam. Mereka tidak lagi menemukan celah untuk membantah. Pada akhirnya mereka berkata lirih:

“Kami akan meninjau ulang perkara kami.”

Itulah kemenangan hujjah Rasulullah saw. Beliau tidak mengalahkan mereka dengan pedang, melainkan dengan logika yang tajam, yang memaksa mereka mengakui kelemahan pikiran mereka sendiri.

Pesan Teologis: Tauhid dan Akal

Riwayat ini mengajarkan bahwa tauhid bukan hanya urusan iman hati, tetapi juga urusan akal sehat. Rasulullah saw menunjukkan bahwa ateisme bertentangan dengan akal. Jika alam berubah, maka ia tidak kekal. Jika sesuatu bergantung, maka ia tidak qadim. Hanya Allah yang bisa disebut qadim karena hanya Dia yang tidak bergantung pada apa pun, tidak berubah, dan tidak berawal maupun berakhir.

Inilah yang kemudian ditegaskan oleh para Imam Ahlulbait as. Imam Ali as berkata: “Awal agama adalah mengenal Allah.” Dan Imam Ja‘far al-Shadiq as menegaskan: “Segala sesuatu yang kalian saksikan berubah, maka ia adalah makhluk yang diciptakan.”

Tauhid sejati dalam pandangan Syiah adalah pengesaan Allah dalam dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada yang qadim selain Dia, dan tidak ada pencipta selain Dia.

Relevansi dengan Zaman Modern

Meski kisah ini berasal dari abad ke-7, argumentasi Rasulullah saw tetap relevan hingga kini. Dunia modern menyaksikan kebangkitan ateisme baru yang sering disebut new atheism. Mereka menolak Tuhan dengan dalih ilmu pengetahuan, lalu mengklaim bahwa alam ini ada dengan sendirinya melalui hukum-hukum fisika.

Namun hujjah Rasulullah saw tetap berlaku. Jika alam ini memiliki hukum, siapa yang menetapkan hukum itu? Jika alam ini teratur, mengapa keteraturan itu tidak runtuh? Jika alam ini bergantung pada energi, apa yang menciptakan energi itu?

Kaum ateis modern sering bersembunyi di balik istilah “kebetulan” atau “hukum alam”. Namun sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw, kebetulan yang teratur dan hukum yang konsisten justru menunjukkan adanya pengatur yang bijaksana.

Riwayat ini adalah inspirasi untuk menghadapi gelombang sekularisme dan materialisme. Tauhid bukan hanya doktrin teologis, tetapi juga fondasi perlawanan terhadap sistem dunia yang menyingkirkan Allah dari kehidupan sosial-politik.

Imam Khomeini ra menegaskan: “Tauhid adalah dasar seluruh perjuangan. Jika kita meyakini Allah sebagai satu-satunya penguasa, maka kita menolak tunduk kepada taghut.”

Dengan demikian, membela tauhid berarti membela kebebasan manusia dari penghambaan terhadap selain Allah—baik itu berhala zaman jahiliyah maupun berhala modern berupa ideologi, kapitalisme, atau kekuasaan yang zalim.

Penutup

Dialog Rasulullah saw dengan kaum ateis adalah contoh abadi bagaimana hujjah tauhid mengalahkan kesesatan. Dengan sederhana, beliau menunjukkan bahwa alam tidak mungkin qadim karena ia berubah, bergantung, dan berakhir.

Pelajaran bagi kita jelas: iman dan akal berjalan seiring. Tauhid bukan sekadar dogma, tetapi kebenaran yang bisa dipahami oleh logika manusia. Di tengah derasnya arus ateisme modern, umat Islam harus meneladani Rasulullah saw dengan menghidupkan kembali hujjah tauhid, membongkar kelemahan ideologi sesat, dan meneguhkan keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang azali dan kekal.


*Dielaborasi dari kitab Madinah Balaghah

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.