Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Nur Muhammad saw: Sumber Ciptaan dan Rahmat Semesta

Di tengah riuh kehidupan modern yang serba cepat, manusia kerap lupa pada akar spiritual keberadaannya. Kita sibuk menaklukkan bumi, menembus langit dengan teknologi, bahkan bercita-cita menjelajahi planet-planet jauh, namun sering alpa bertanya: siapakah kita sebenarnya, dan dari manakah semua ini bermula?

Al-Qur’an mengingatkan dengan tegas:

“Sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra [17]:70)

Ayat ini menjadi pintu masuk untuk merenungi hakikat penciptaan manusia—makhluk yang diangkat derajatnya, diberi akal, hati, dan amanah sebagai khalifah Allah di bumi. Namun, di atas semua itu, ada satu rahasia besar dalam sejarah kosmik: penciptaan cahaya Muhammad saw, sumber dari segala keberkahan semesta. (Bihar al-Anwar, jilid 15, hal. 24)


Manusia: Makhluk Termulia

Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin [95]:4)

Imam Ali bin Abi Thalib, dalam Nahjul Balaghah, berulang kali mengingatkan tentang kedudukan manusia sebagai makhluk paling sempurna. Dalam salah satu khotbah tentang penciptaan alam, beliau menggambarkan bagaimana Allah menciptakan langit tanpa tiang, membentangkan bumi, memancangkan gunung, dan menebarkan kehidupan. Namun, puncak ciptaan-Nya adalah manusia—makhluk yang tidak sekadar hidup, tetapi diberi kesadaran, kehendak, dan tanggung jawab moral. (Nahjul Balaghah, Khutbah 1)

Kisah penciptaan Adam menjadi saksi keagungan ini. Ketika Allah berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]:30)

Para malaikat sempat bertanya-tanya: Mengapa manusia? Bukankah mereka berpotensi menumpahkan darah dan membuat kerusakan? Namun Allah menegaskan, “Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” Di sinilah letak rahasia: manusia diberi potensi luhur, bahkan malaikat diperintahkan bersujud kepada Adam sebagai penghormatan, bukan karena fisiknya, tetapi karena potensi ruhani yang Allah titipkan.
(Bihar al-Anwar, jilid 11, hal. 142)


Segalanya Diciptakan untuk Manusia

Hadis Qudsi menyebutkan: “Hai anak Adam, Aku ciptakan segala sesuatu untukmu, dan Aku ciptakan kamu untuk-Ku.”

Pernyataan ini menggugah kesadaran: bumi, langit, laut, matahari, rembulan, bahkan bintang-bintang tunduk pada hukum yang memungkinkan manusia hidup dan beribadah. Alam semesta ini bukan tanpa tujuan; ia tersusun dengan ketelitian yang menunjuk kepada Sang Pencipta Yang Maha Esa.
(Al-Kafi, jilid 1, hal. 183)

Imam Ali dalam salah satu khotbahnya berkata:

“Lihatlah semut kecil di atas tanah yang keras, bagaimana ia menggerakkan tubuhnya, mencari rezekinya, dan menyimpan makanannya. Siapa yang menciptakan dan membimbingnya? Siapa yang menaruh telinga untuk mendengar tanpa lubang, dan mata untuk melihat tanpa cahaya?”

Ungkapan ini mengajarkan bahwa setiap detail ciptaan, sekecil apa pun, adalah tanda kebesaran Allah. Manusia, sebagai puncak ciptaan, seharusnya membaca tanda-tanda ini dengan hati yang tunduk, bukan kesombongan. (Nahjul Balaghah, Khutbah 185)


Rahasia Cahaya Muhammad saw

Di atas semua kisah penciptaan, terdapat satu rahasia besar yang banyak disebut dalam riwayat Ahlul Bait: sebelum Adam, sebelum langit dan bumi, Allah menciptakan Nur Muhammad—cahaya suci Nabi Muhammad saw.

Riwayat menyebutkan:

“Allah menciptakan cahaya Muhammad dari Cahaya-Nya sendiri sebelum segala sesuatu yang lain diciptakan.” (Bihar al-Anwar, jilid 15, hal. 24)

Dari cahaya inilah, kemudian seluruh ciptaan memancar. Para ulama Syiah menjelaskan bahwa Nur Muhammad adalah hakikat pertama, sumber segala kesempurnaan, sekaligus sebab penciptaan semesta. Dalam hadis disebutkan: “Lawlaka, lawlaka, ma khalaqtul aflak”—”Sekiranya bukan karena engkau (Muhammad), niscaya Aku tidak menciptakan alam semesta.” (Al-Kafi, jilid 1, hal. 441)


Empat Bagian Cahaya Muhammad

Riwayat lain menuturkan bahwa Allah membagi Nur Muhammad menjadi empat bagian:

  1. Bagian pertama untuk menciptakan Lauh al-Mahfuzh dan Pena yang menulis takdir.
  2. Bagian kedua untuk menciptakan ‘Arsy dan menuliskan kalimat agung La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah di atasnya.
  3. Bagian ketiga untuk menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang sebagai penerang dunia.
  4. Bagian keempat untuk menciptakan surga, para nabi, malaikat, dan ruh-ruh orang beriman. (Bihar al-Anwar, jilid 15, hal. 24-25)

Pembagian ini mengandung pesan mendalam: seluruh tatanan kosmos—dari wahyu, hukum, cahaya fisik, hingga kehidupan rohani—bersumber dari hakikat Muhammad saw.


Manusia, Dosa, dan Ampunan

Al-Qur’an menegaskan: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka, dan tidak pula Allah akan mengazab mereka jika mereka beristighfar.” (QS. Al-Anfal [8]:33)

Ayat ini menunjukkan keberkahan kehadiran Rasulullah saw di muka bumi. Selama manusia berpegang pada ajarannya dan memohon ampun, rahmat Allah akan terus mengalir. (Tafsir Al-Mizan, jilid 9, hal. 122)


Refleksi Imam Ali tentang Penciptaan

Dalam salah satu khutbahnya, Imam Ali berkata tentang rahasia penciptaan:

“Allah menciptakan langit tanpa tiang yang tampak, mengalirkan air di bumi yang keras, dan menegakkan gunung-gunung sebagai pasak. Dia mengutus para nabi berturut-turut membawa wahyu, hingga sampailah pada Muhammad, penutup para nabi, cahaya di atas cahaya.”

Ungkapan ini menegaskan kesinambungan sejarah kenabian yang berpuncak pada Rasulullah saw sebagai rahmat bagi semesta alam. (Nahjul Balaghah, Khutbah 91)


Merenungi penciptaan dunia, manusia, dan Nur Muhammad membawa kita pada kesadaran mendalam: hidup ini bukan sekadar perjalanan biologis, melainkan kosmik dan spiritual. Manusia bukan sekadar penghuni bumi, tetapi khalifah yang memikul amanah ilahi.

Cahaya Muhammad saw yang menjadi asal mula penciptaan mengingatkan kita bahwa inti dari keberadaan ini adalah tauhid dan rahmat. Semesta diciptakan bukan untuk kesia-siaan, tetapi untuk mengenal Allah melalui tanda-tanda-Nya, melalui para nabi-Nya, dan terutama melalui Rasul terakhir yang membawa agama penyempurna. (Al-Kafi, jilid 1, hal. 441)

Di tengah gelapnya zaman modern, kembali pada cahaya ini berarti kembali pada makna terdalam kehidupan: ketundukan kepada Allah, kecintaan kepada Rasul dan Ahlul Baitnya, serta tanggung jawab memakmurkan bumi dengan keadilan dan kasih sayang. (Bihar al-Anwar, jilid 15, hal. 30)


*Disarikan dari buku Idola Semesta Alam – Syeikh Muzaffer Ozak AI-Jerrahi

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.