Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Hukum Islam: Antara Keteguhan Prinsip dan Fleksibilitas Zaman

Sejak awal turunnya wahyu, Islam telah menghadirkan dirinya sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga membimbing perjalanan sosial, politik, ekonomi, dan budaya umat manusia. Al-Qur’an tidak turun sekadar sebagai kitab doa atau ibadah ritual, melainkan sebagai petunjuk hidup yang mengarahkan manusia menuju kesempurnaan.

Namun, pertanyaan besar selalu muncul: bagaimana hukum Islam yang diturunkan 14 abad lalu masih relevan hingga hari ini? Bukankah masyarakat, teknologi, dan hubungan sosial manusia telah berubah begitu drastis? Apakah hukum Islam tidak akan tertinggal dan membeku dalam sejarah?

Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr, seorang ulama besar yang dikenal sebagai pemikir revolusioner abad ke-20, memberikan jawaban yang sangat mendalam. Beliau menunjukkan bahwa hukum Islam dibangun atas dua landasan: unsur-unsur tetap yang bersifat universal dan abadi, serta unsur-unsur yang dapat berubah sesuai konteks sosial. Dengan kerangka ini, Islam tampil sebagai sistem hukum yang tidak kaku, tetapi juga tidak kehilangan prinsip.


Dua Jalur Hubungan Sosial dalam Pandangan Al-Qur’an

Menurut al-Sadr, untuk memahami hukum Islam kita harus menelaah pandangan Al-Qur’an terhadap unsur-unsur sosial yang membentuk masyarakat. Manusia hidup dalam dua jalur besar:

  1. Hubungan manusia dengan alam.
    Sejak awal penciptaan, manusia dihadapkan pada alam sebagai ruang hidupnya. Manusia belajar menanam, berburu, membangun tempat tinggal, memanfaatkan air, api, dan udara. Hubungan ini bersifat ilmiah dan teknis, ditentukan oleh pengetahuan serta kemampuan manusia memahami hukum-hukum alam.
  2. Hubungan manusia dengan sesama manusia.
    Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri. Masyarakat terbentuk dari interaksi individu-individu: kerja sama, perdagangan, hukum, politik, dan budaya. Inilah jalur sosial yang menentukan struktur masyarakat.

Kedua jalur ini, meskipun tampak berdiri sendiri, pada kenyataannya saling mempengaruhi. Kemajuan dalam memahami alam akan memengaruhi hubungan sosial manusia, begitu pula sebaliknya. Misalnya, penemuan teknologi pertanian berpengaruh pada distribusi ekonomi dan struktur sosial. Atau, perubahan politik bisa menentukan arah penelitian ilmiah.

Di sinilah Al-Qur’an hadir, memberi panduan agar hubungan manusia dengan alam dan dengan sesama tidak melenceng dari tujuan penciptaan: keadilan, keseimbangan, dan pengabdian kepada Allah.


Unsur Tetap dan Unsur yang Dapat Berubah

Dari dua jalur hubungan sosial tadi, Ayatullah al-Sadr merumuskan prinsip penting: hukum Islam memiliki dua lapisan.

  1. Unsur Tetap
    Unsur ini lahir dari kemandirian relatif kedua jalur tersebut. Ia adalah prinsip-prinsip dasar yang bersifat permanen, tidak terikat ruang dan waktu. Misalnya:
    • Keadilan sebagai asas kehidupan.
    • Larangan kezaliman, riba, dan penindasan.
    • Kewajiban menjaga martabat manusia.
    • Hak dasar atas harta, kehormatan, dan kehidupan.

Unsur-unsur ini bersifat universal dan abadi. Ia tidak mungkin berubah karena merupakan refleksi langsung dari nilai Ilahi.

  1. Unsur yang Dapat Berubah
    Unsur ini lahir dari efek timbal balik antara manusia dengan alam dan sesamanya. Karena kondisi sosial, ekonomi, dan politik terus berubah, maka hukum-hukum yang mengatur bidang ini pun harus memberi ruang fleksibilitas.

Contohnya, mekanisme pengelolaan zakat, sistem administrasi negara, atau cara distribusi kekayaan alam. Prinsipnya tetap sama, yaitu menegakkan keadilan sosial, tetapi penerapannya bisa berbeda di setiap zaman sesuai kebutuhan masyarakat.

Ayatullah al-Sadr menegaskan bahwa hukum Islam tidak hanya terdiri dari teks yang kaku, melainkan juga dari prosedur penyesuaian. Di sinilah peran ijtihad, fatwa, dan otoritas ulama. Mereka bertugas mengisi ruang hukum yang fleksibel ini dengan merujuk kepada pedoman pokok Islam.

Dengan demikian, hukum Islam adalah sebuah sistem hidup: ia memadukan keteguhan prinsip dengan keluwesan penerapan.


Keseimbangan dalam Syariat

Bayangkan jika hukum Islam hanya berisi aturan-aturan tetap tanpa ruang perubahan. Ia akan cepat usang, tidak mampu menghadapi tantangan zaman, dan akhirnya ditinggalkan. Sebaliknya, jika hukum Islam hanya berisi aturan yang fleksibel, tanpa prinsip tetap, maka ia akan kehilangan ruh dan bisa dipelintir sesuai kepentingan manusia.

Keseimbangan inilah yang membuat Islam berbeda. Prinsipnya teguh, tetapi penerapannya lentur. Ia ibarat pohon kokoh yang berakar kuat di tanah, namun dahan dan rantingnya bisa tumbuh ke segala arah mengikuti cahaya matahari.

Al-Sadr menekankan bahwa keseimbangan ini bukanlah kompromi, melainkan kekuatan Islam itu sendiri. Ia memungkinkan syariat selalu hadir sebagai pedoman hidup yang segar, mampu menjawab kebutuhan manusia kapan pun dan di mana pun.


Islam dan Pandangan Sejarah Manusia

Selain menguraikan hukum, Ayatullah al-Sadr juga mengajak kita memahami pandangan Al-Qur’an tentang perjalanan sejarah manusia. Menurutnya, kehidupan manusia di bumi dapat dibagi menjadi tiga tahap:

  1. Tahap Menyusui
    Pada tahap ini, manusia masih berada dalam fase awal peradaban. Kehidupan sosial sederhana, penuh ketergantungan pada alam, dan belum berkembang kompleks.
  2. Tahap Persatuan
    Inilah fase ketika manusia mulai membangun solidaritas, kesadaran kolektif, dan struktur sosial yang lebih mapan. Muncul peradaban, negara, dan tatanan hukum.
  3. Tahap Perpecahan dan Disintegrasi
    Sejarah menunjukkan bahwa setelah mengalami puncak persatuan, manusia sering terjerumus ke dalam perpecahan. Keserakahan, penindasan, dan perebutan kepentingan melahirkan kehancuran.

Ketiga tahap ini bukan sekadar teori sejarah, melainkan gambaran siklus kehidupan umat manusia. Dengan memahaminya, kita dapat mengerti bagaimana hukum Islam hadir sebagai penuntun di setiap fase: dari masa awal peradaban, masa kejayaan, hingga masa krisis.


Relevansi Pemikiran al-Sadr Hari Ini

Dalam dunia modern, banyak orang menganggap agama sudah ketinggalan zaman. Aturan Islam sering dituduh tidak sesuai dengan kehidupan kontemporer. Namun, pemikiran al-Sadr justru menunjukkan sebaliknya: hukum Islam memiliki mekanisme internal yang membuatnya abadi sekaligus adaptif.

Sebagai contoh, prinsip keadilan sosial tetap sama dari dulu hingga sekarang. Tetapi cara mewujudkannya bisa berbeda. Di masa Rasulullah saw, distribusi zakat dan ghanimah adalah instrumen utama. Hari ini, kita bisa menggunakan sistem pajak syar’i, lembaga keuangan Islam, dan mekanisme redistribusi kekayaan yang sesuai konteks global. Prinsipnya tetap, tetapi bentuknya menyesuaikan.

Demikian pula dalam bidang politik. Islam menolak tirani dan menegaskan prinsip syura (musyawarah) serta keadilan. Bentuk praktisnya bisa berbeda: di masa Nabi saw berupa kepemimpinan langsung, di masa kini bisa berupa sistem Republik Islam dengan mekanisme modern.

Inilah keindahan hukum Islam: ia tidak pernah kehilangan arah, tetapi selalu bisa melangkah maju.


Penutup

Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr, dengan kejernihan pikirannya, mengajarkan kita bahwa hukum Islam bukanlah warisan kaku dari masa lalu. Ia adalah sistem Ilahi yang hidup, yang memadukan antara prinsip abadi dan fleksibilitas praktis.

Dengan kerangka ini, umat Islam tidak perlu takut menghadapi perubahan zaman. Justru sebaliknya, kita dapat yakin bahwa syariat Islam mampu menjawab setiap tantangan baru, karena ia ditopang oleh wahyu yang sempurna.

Di tengah dunia yang terus berubah, pemikiran al-Sadr mengingatkan kita: jika kita berpegang teguh pada prinsip tetap Islam sambil membuka ruang ijtihad dalam hal-hal yang berubah, maka hukum Islam akan selalu relevan, hidup, dan membawa manusia menuju keadilan dan kesempurnaan.


Dielaborasi dari buku Sejarah dalam Perspektif Al-Quran karya  Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.