Seperti akar pohon yang menembus bumi demi mencari air, pikiran manusia juga terus menggali realitas untuk menemukan makna. Sejak manusia mulai merenung tentang kehidupannya, pertanyaan abadi selalu muncul: Jika Allah adalah Mahaadil, mengapa dunia penuh dengan penderitaan, bencana, dan ketidakadilan? Pertanyaan ini bukan sekadar wacana filsafat, melainkan jeritan hati yang lahir dari pengalaman hidup: kehilangan orang yang dicintai, derita penyakit, kelaparan, peperangan, dan berbagai tragedi yang tampaknya mengguncang keyakinan pada keadilan Ilahi.
Bagi sebagian orang, penderitaan adalah alasan untuk meragukan keadilan Allah. Bagi sebagian lain, ia adalah pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat kehidupan. Tulisan ini mencoba menyelami persoalan itu, bukan dari kacamata skeptis, tetapi melalui pandangan Al-Qur’an, riwayat Ahlulbait as, serta refleksi akal yang jernih.
Penderitaan dalam Cahaya Akal dan Wahyu
Setiap manusia, sadar atau tidak, pernah bertanya: mengapa ada orang yang sehat sementara yang lain hidup dalam sakit kronis? Mengapa ada orang yang lahir di keluarga kaya, sementara yang lain harus berjuang keras untuk sekadar makan? Mengapa ada peperangan, bencana alam, wabah, dan ketidakadilan sosial?
Kecenderungan manusia adalah menilai segala sesuatu dari permukaan. Apa yang menguntungkan dirinya ia sebut baik, dan apa yang merugikan dirinya ia sebut buruk. Padahal, penilaian semacam itu sering keliru, sebab manusia tidak memiliki pandangan menyeluruh tentang rantai sebab-akibat dalam kehidupan.
Ibarat seorang musafir yang baru pertama kali melihat buldoser merobohkan bangunan tua. Dengan wawasannya yang sempit, ia menganggap tindakan itu bodoh: penghancuran tanpa arti. Padahal ia tidak tahu bahwa reruntuhan itu akan menjadi landasan bagi bangunan yang lebih indah dan bermanfaat. Begitulah manusia ketika menghadapi sakit, bencana, atau kemiskinan. Ia tergesa-gesa menyebutnya “tidak adil,” tanpa menyadari rancangan lebih besar yang melingkupi seluruh peristiwa.
Al-Qur’an sendiri sudah menegaskan keterbatasan pandangan manusia:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216)
Ayat ini adalah jawaban Ilahi atas kegelisahan manusia. Bahwa di balik sesuatu yang tampak pahit, tersimpan rahmat. Dan di balik sesuatu yang tampak menyenangkan, terkadang bersembunyi bahaya yang lebih besar.
Penderitaan dalam perspektif agama bukanlah kutukan, melainkan ujian. Ia adalah alarm Ilahi yang membangunkan manusia dari kelalaian. Orang yang hanya mencari kesenangan sering terperangkap dalam kelupaan, sementara penderitaan bisa memaksa manusia untuk kembali mencari makna sejati.
Imam Ali as pernah berkata: “Jika engkau sabar dalam kesulitan, maka itu adalah kemenangan.” Penderitaan, dengan demikian, bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menguji iman, menguatkan jiwa, dan melahirkan kesadaran yang lebih dalam.
Sejarah manusia juga membuktikan hal yang sama. Bangsa-bangsa yang ditempa penderitaan besar sering kali menjadi bangsa yang kuat. Individu pun demikian. Tokoh-tokoh besar hampir selalu ditempa oleh ujian yang berat. Nabi Muhammad saw lahir sebagai yatim, menghadapi kemiskinan, hinaan, dan peperangan. Imam Husain as menanggung penderitaan Karbala, tetapi justru dari tragedi itu lahir kebangkitan abadi yang menggetarkan hati umat sepanjang zaman.
Maka, penderitaan tidak harus dilihat sebagai pertentangan dengan keadilan Ilahi, melainkan sebagai bagian dari hukum gerak dan perubahan dalam kehidupan. Dunia ini adalah alam yang dinamis, penuh kontradiksi, dan justru di sanalah letak maknanya. Tanpa sakit, manusia tidak akan tahu arti sehat. Tanpa kesulitan, manusia tidak akan tahu arti kemudahan. Tanpa penderitaan, manusia tidak akan pernah merasakan nikmatnya kebahagiaan.
Penderitaan sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan
Penderitaan memiliki fungsi spiritual yang mendalam. Ia menyingkapkan rapuhnya kehidupan duniawi, sehingga manusia diarahkan untuk mencari sandaran sejati: Allah SWT. Ketika kehilangan harta, manusia sadar bahwa harta bukanlah pegangan abadi. Ketika kehilangan orang yang dicintai, ia sadar bahwa tidak ada yang kekal kecuali Allah. Ketika tubuhnya sakit, ia sadar bahwa tubuh hanyalah titipan sementara.
Imam Ja’far al-Shadiq as berkata: “Seandainya seorang mukmin tahu pahala yang Allah sediakan baginya karena musibah, ia akan berharap terus ditimpa musibah selama hidupnya.” Pandangan inilah yang mengubah bencana menjadi rahmat, kesedihan menjadi pengingat, dan kemalangan menjadi tangga menuju Allah.
Dalam dimensi ruhani, penderitaan adalah tungku yang membakar karat jiwa. Ia memurnikan manusia dari kesombongan dan nafsu. Orang yang selalu kenyang tidak tahu nikmatnya makanan. Orang yang tidak pernah gagal tidak tahu manisnya keberhasilan. Orang yang tak pernah diuji tidak akan merasakan syukur yang sejati.
Karena itu, penderitaan tidak boleh dipandang sebagai akhir, melainkan sebagai jalan. Jalan untuk menyucikan jiwa, memperdalam kesadaran, dan membebaskan manusia dari keterikatan dunia menuju cahaya Ilahi. Imam Ali as mengingatkan: “Janganlah engkau menganggap kecil sesuatu yang menyakitkanmu, karena boleh jadi di balik itu ada rahmat yang besar.”
Kesadaran ini juga melahirkan sikap yang seimbang: sabar dalam menghadapi kesulitan, syukur dalam menikmati nikmat, dan tafakur dalam membaca makna di balik setiap peristiwa. Dengan sikap seperti ini, manusia tidak lagi terombang-ambing oleh suka dan duka, tetapi mampu berdiri tegak dalam menghadapi segala keadaan.
Penutup
Allah tidak menciptakan dunia ini sia-sia. Segala sesuatu berjalan dalam kerangka rencana Ilahi. Apa yang tampak sebagai penderitaan bukanlah bukti ketidakadilan, melainkan bagian dari proses menuju kesempurnaan. Penderitaan adalah bahasa Ilahi yang berbicara kepada manusia. Ia keras, tetapi penuh makna. Ia bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk membangun. Bukan untuk menjerumuskan, melainkan untuk menyelamatkan.
Maka, daripada mengutuk penderitaan, lebih baik manusia belajar membaca pesan Ilahi di baliknya. Sebab penderitaan yang diterima dengan sabar dan disikapi dengan iman akan berubah menjadi tangga yang mengantarkan manusia menuju kemuliaan abadi.
Disarikan dari buku karya Mujtaba Musawi Lari – Keadilan Allah Qada dan Qadar Manusia