Di tengah kehidupan modern yang riuh dan serba cepat, manusia sering lupa bahwa di balik semua kesibukan dunia ada hakikat yang lebih mendalam: hubungan hamba dengan Tuhannya. Teknologi, politik, dan materialisme berlari tanpa henti, sementara suara hati yang memanggil kepada ketenangan dan penghambaan kian samar terdengar.
Namun, sepanjang sejarah, Allah selalu menghadirkan para arif dan ulama yang menjaga cahaya spiritual agar tidak padam. Salah satunya adalah Ayatullah Syaikh Bahjat—seorang ulama takwa, ahli ibadah, dan pembimbing ruhani yang semasa hidupnya penuh dengan zikir, doa, dan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Muhammad saw.
Nasihat-nasihat beliau lahir dari hati yang selalu bersama Allah, dari jiwa yang ditempa kesungguhan ibadah, dan dari ilmu yang berpadu dengan akhlak. Dalam setiap kalimatnya, ada ketenangan sekaligus ketegasan: mengingatkan manusia agar kembali ke jalan lurus, jalan yang dijanjikan Rasulullah saw sebagai jalan keselamatan—jalan Al-Qur’an dan Ahlul Bait.
Tulisan ini merangkum sebagian pelajaran utama Ayatullah Bahjat agar pembaca bukan hanya memahami maknanya, tetapi juga merasakan getaran spiritual yang beliau wariskan kepada umat setelah kepergiannya.
Cinta kepada Ahlul Bait: Ruh dari Agama
Bagi Ayatullah Bahjat, agama tanpa cinta kepada Ahlul Bait ibarat tubuh tanpa ruh. Al-Qur’an menegaskan hal ini dengan sangat jelas:
“Katakanlah: Aku tidak meminta kepada kalian upah atas dakwah ini kecuali kecintaan kepada keluargaku” (QS. Asy-Syura: 23).
Ayat ini, menurut beliau, bukan sekadar permintaan Nabi, melainkan perintah ilahi. Kecintaan kepada Ahlul Bait bukan hanya ekspresi emosional, melainkan bagian dari struktur agama itu sendiri.
Beliau sering mengingatkan bahaya pemikiran yang memisahkan Islam dari Ahlul Bait. Ada orang yang berkata, “Cukuplah Al-Qur’an, kami tidak butuh Ahlul Bait.” Ayatullah Bahjat menanggapi dengan tegas bahwa Al-Qur’an justru mengikat keduanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tanpa Ahlul Bait, pesan Al-Qur’an akan disalahpahami, bahkan diselewengkan.
Beliau menunjuk pada peristiwa Ghadir Khum ketika Rasulullah saw mengangkat tangan Imam Ali as di hadapan ribuan sahabat dan bersabda:
“Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”
Peristiwa ini diabadikan Al-Qur’an:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu” (QS. Al-Maidah: 3).
Tanpa kepemimpinan Ahlul Bait, kesempurnaan itu tidak pernah terjadi. Itulah sebabnya, Ayatullah Bahjat menyebut cinta kepada Ahlul Bait sebagai nyawa Islam.
Beliau juga mengaitkan hal ini dengan tradisi menangis mengenang tragedi Karbala. Bagi Ayatullah Bahjat, air mata bukan kelemahan, melainkan bahasa hati. Para nabi dahulu menangis dalam munajat mereka; para pecinta Ahlul Bait menangis karena cinta dan empati kepada para kekasih Allah yang dizalimi.
“Jika matamu meneteskan air mata,” kata beliau, “itu pertanda rahmat Allah sedang mengetuk hatimu.”
Tangisan ini bukan sekadar duka sejarah, tetapi jembatan ruhani antara hamba dengan Allah melalui cinta kepada wali-wali-Nya.
Ziarah: Pertemuan Lahir dan Batin
Ayatullah Bahjat sering menekankan bahwa ziarah ke makam para Imam bukan sekadar kunjungan fisik, melainkan pertemuan hati. Di balik setiap salam yang diucapkan, ada ikatan ruhani antara peziarah dan tuan makam yang hidup di sisi Allah.
Beliau memberikan beberapa adab penting dalam berziarah:
- Persiapan spiritual: Berpuasalah beberapa hari sebelumnya, niatkan ziarah hanya karena Allah, bukan karena kebanggaan atau riya.
- Meminta izin: Ucapkan salam dari kejauhan, rasakan hatimu—adakah getaran yang muncul? Jika ya, itu tanda bahwa pintu izin telah dibuka.
- Kehadiran hati: Jangan terlalu banyak berbicara atau meminta hal-hal duniawi. Hadirkan cinta dan kerendahan hati, karena para Imam mengetahui kebutuhanmu bahkan sebelum engkau menyebutkannya.
Beliau sering menceritakan karamah yang terjadi di makam Imam Ridha as: penyembuhan penyakit, mimpi-mimpi ruhani, bahkan kehadiran Imam Mahdi as yang disaksikan sebagian peziarah. Semua ini menunjukkan bahwa ziarah bukanlah perjalanan biasa, melainkan jembatan antara dunia fisik dan dunia malakut.
“Ziarah sejati,” ujar beliau, “adalah ketika hatimu berbicara, bukan hanya bibirmu.”
Ayatullah Bahjat bahkan menyarankan agar peziarah tidak terburu-buru. Duduklah sebentar, resapi kehadiran ruhani para wali Allah, dan biarkan hati berbicara dalam diam. Dalam keheningan itulah sering kali hadir ilham, ketenangan, atau jawaban atas doa-doa yang tak terucap.
Amal Ikhlas di Tengah Godaan Zaman
Tema lain yang selalu beliau ulang adalah pentingnya amal yang ikhlas. Menurut beliau, di zaman modern ini, manusia sering terjebak dalam pujian, popularitas, dan pamer kebaikan. Amal yang sejatinya untuk Allah menjadi ternodai oleh pandangan manusia.
Beliau mengingatkan hadis Nabi saw:
“Sedikit amal yang dilakukan dengan ikhlas lebih baik daripada amal besar yang disertai riya.”
Karena itu, Ayatullah Bahjat menganjurkan agar amal-amal kecil seperti shalat malam, sedekah tersembunyi, atau dzikir harian dilakukan dengan penuh kesadaran dan jauh dari pamer.
Beliau juga menekankan bahwa ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi bumerang. Banyak orang mengetahui kebenaran tetapi enggan melaksanakannya. Inilah sumber kesesatan: pengetahuan yang tidak melahirkan ketundukan.
Mengutip Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-Ankabut: 69).
Amal yang ikhlas adalah cahaya yang menuntun pada ilmu lebih tinggi, sementara amal yang ternodai akan memadamkan cahaya hidayah dari hati pelakunya.
Nasihat untuk Generasi Muda
Ayatullah Bahjat sering menyampaikan keprihatinan terhadap pemuda Muslim yang hidup di tengah gempuran ideologi materialisme dan propaganda Barat. Beliau mengingatkan bahwa pemuda adalah sasaran utama serangan pemikiran yang ingin memisahkan mereka dari Al-Qur’an dan Ahlul Bait.
Beliau memberikan beberapa pesan praktis:
- Bacalah Al-Qur’an setiap hari, meski hanya beberapa ayat.
- Hafalkan surat-surat penting seperti Yasin, Al-Waqi’ah, dan Ar-Rahman.
- Pelajari Nahjul Balaghah dan Shahifah Sajjadiyah; di dalamnya ada mutiara doa dan hikmah kepemimpinan Islam.
- Jauhi teman atau media yang melemahkan imanmu dengan candaan yang merendahkan agama.
- Jadikan majelis ilmu dan zikir sebagai ruang utama dalam hidupmu.
Menurut beliau, generasi muda yang tumbuh dengan cinta kepada Ahlul Bait akan menjadi benteng Islam di masa depan. Sebaliknya, pemuda yang jauh dari warisan ini akan mudah dipengaruhi ideologi asing yang hanya menawarkan kekosongan spiritual.
Menyucikan Hati dari Kesombongan
Ayatullah Bahjat mengingatkan bahwa musuh terbesar manusia bukanlah musuh lahiriah, melainkan kesombongan di dalam hati. Beliau mengisahkan tentang Nabi Isa as yang memohonkan ampun untuk Iblis. Allah bersedia mengampuni, asalkan Iblis mau bertobat. Namun, kesombongan membuatnya menolak.
“Kesombongan,” ujar Ayatullah Bahjat, “adalah tirai yang menutup pintu hidayah. Sekali ia menguasai hati, semua nasihat akan terdengar sia-sia.”
Karena itu, beliau menganjurkan latihan-latihan kerendahan hati: mengakui kesalahan, tidak memandang rendah orang lain, dan memperbanyak doa memohon keteguhan iman.
Beliau sering mengulang doa yang diajarkan Rasulullah saw:
“Ya Allah, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
Doa ini, menurut beliau, harus selalu dibaca karena hati manusia sangat mudah berubah arah jika tidak dijaga oleh Allah.
Kembali kepada Cahaya
Nasihat-nasihat Ayatullah Bahjat berputar pada satu poros utama: kembali kepada Allah melalui Al-Qur’an, Ahlul Bait, amal yang ikhlas, dan hati yang bersih. Di tengah dunia yang bising oleh informasi dan godaan, beliau mengajak umat untuk mencari ketenangan di bawah naungan dua pusaka Nabi:
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara: Kitab Allah dan Ahlul Baitku. Selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat.”
Dengan cinta kepada Ahlul Bait, ziarah yang penuh kesadaran, amal yang tulus, serta kerendahan hati, manusia akan menemukan jalan menuju Allah—jalan yang tak akan ditutup oleh hiruk-pikuk dunia.
Warisan Ayatullah Bahjat adalah cahaya yang menuntun setiap pencari kebenaran. Siapa pun yang merenungkan nasihatnya dengan hati terbuka akan merasakan bahwa di balik kesederhanaan kata-katanya ada kedalaman samudra makrifat yang tak pernah kering.
Disarikan dari tulisan di Al-Islam.org