Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid

Dalam pandangan dunia Islam yang berlandaskan tauhid, alam semesta tidak terbatas pada apa yang tampak oleh indra manusia. Ada dua dimensi yang saling terkait, yaitu alam nyata (syahadah) dan alam gaib (ghayb). Keduanya bukanlah dua dunia yang asing, melainkan dua sisi dari satu realitas yang sama.

Al-Qur’an berulang kali menyinggung kedua dimensi ini, bahkan memberi penekanan khusus pada alam gaib. Iman kepada yang gaib menjadi salah satu ciri mendasar orang beriman, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

“Orang-orang yang beriman kepada yang gaib…” (QS al-Baqarah: 3).

Pada ayat lain, ditegaskan pula bahwa “Bagi-Nya kunci-kunci kegaiban, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.” (QS al-An‘am: 59).

Dengan demikian, keyakinan pada realitas gaib bukan sekadar tambahan, melainkan inti dari keimanan seorang Muslim.

Kata gaib sendiri berarti sesuatu yang tersembunyi. Namun, tersembunyi di sini memiliki dua makna. Ada gaib yang bersifat relatif, yaitu segala sesuatu yang sebenarnya dapat diindra, tetapi kebetulan tidak berada dalam jangkauan manusia. Misalnya, bagi orang yang tinggal di Teheran, kotanya nyata, sementara Isfahan baginya gaib. Sebaliknya, bagi penduduk Isfahan, kotanya nyata, sedangkan Teheran gaib.

Al-Qur’an menggunakan istilah gaib dalam makna relatif ini ketika mengisahkan umat-umat terdahulu: “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang gaib, yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad).” (QS Hud: 49). Kisah-kisah itu nyata bagi mereka yang mengalaminya, namun menjadi gaib bagi generasi setelahnya.

Selain itu, ada gaib yang bersifat mutlak, yakni realitas yang tidak mungkin dijangkau oleh indra manusia karena sifatnya non-materi dan tak terbatas. Al-Qur’an menegaskan: “Dialah Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.” (QS al-Hasyr: 22).

Inilah gaib yang menjadi dasar iman, sebab tidak semua orang dapat mengakuinya tanpa bimbingan wahyu. Setiap manusia tentu mengakui adanya gaib relatif, baik yang beriman maupun yang kafir. Tetapi hanya orang berimanlah yang dengan yakin mengakui gaib mutlak.

Di sini sering muncul pertanyaan: bagaimana sebenarnya hubungan antara alam nyata dan alam gaib? Apakah keduanya dipisahkan oleh semacam batas ruang, sehingga di luar jangkauan fisik kita terdapat dunia lain yang gaib? Gambaran semacam itu sesungguhnya terlalu sederhana dan kurang tepat. Seandainya kedua alam dipisahkan oleh tapal batas material, keduanya sama-sama akan menjadi nyata dan fisik. Hubungan antara gaib dan nyata tidak bisa dijelaskan dengan cara materialistis seperti itu. Hubungannya lebih tepat dipahami seperti hubungan antara bayangan dengan benda, atau antara proyeksi dengan sumbernya. Alam nyata ini hanyalah lapisan tipis, sebuah cerminan dari realitas yang lebih tinggi.

Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa segala sesuatu di dunia ini berakar pada realitas lain di alam gaib. Firman-Nya: “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS al-Hijr: 21).

Bahkan besi pun disebut sebagai sesuatu yang diturunkan: “…dan Kami turunkan besi…” (QS al-Hadid: 25).

Tentu saja, yang dimaksud bukan perpindahan fisik dari langit ke bumi, melainkan penjelasan bahwa hakikat setiap benda di alam nyata memiliki asal usul dalam khazanah gaib. Dengan kata lain, apa yang kita saksikan hanyalah bentuk proyeksi atau manifestasi dari realitas yang lebih tinggi.

Konsep ini kemudian terhubung dengan keyakinan mendasar dalam Islam. Iman kepada gaib tidak hanya berupa pengakuan abstrak, tetapi dijabarkan secara konkret dalam bentuk iman kepada malaikat, iman kepada wahyu, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada para rasul, dan iman kepada Hari Akhir.

Al-Qur’an menegaskan: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya…” (QS al-Baqarah: 284).

Dan dalam ayat lain: “Barang siapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka ia benar-benar telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS an-Nisa: 136).

Penting untuk dicatat bahwa iman kepada kitab-kitab Allah tidak hanya berarti percaya pada lembaran wahyu yang turun kepada para nabi. Jika hanya itu maksudnya, niscaya cukup disebutkan iman kepada para rasul. Namun, Al-Qur’an menyinggung adanya realitas lain di alam gaib, yang menjadi sumber dari seluruh wahyu, seperti al-Lauh al-Mahfuzh (Lauh Terjaga), Ummul Kitab (Induk Kitab), al-Kitab al-Marqūm (Kitab Tertulis), dan al-Kitab al-Maknūn (Kitab Tersembunyi).

Semua ini adalah simbol-simbol dari khazanah gaib yang memuat hakikat dan kebenaran yang kemudian diturunkan ke alam nyata dalam bentuk wahyu. Dengan demikian, iman kepada kitab dalam pengertian Al-Qur’an juga berarti iman kepada realitas gaib yang melampaui lembaran-lembaran tertulis.

Di sinilah letak pentingnya peran para nabi. Mereka tidak sekadar datang membawa hukum-hukum praktis, melainkan juga memberikan kepada manusia sebuah pandangan dunia. Mereka mengajarkan bahwa alam tidak terbatas pada fenomena indrawi yang dapat dijangkau ilmu fisika dan eksperimen. Nabi-nabi Allah mengangkat pandangan manusia dari yang indrawi menuju yang akliah, dari yang nyata menuju yang gaib, dari yang terbatas menuju yang tak terbatas. Tanpa bimbingan mereka, manusia cenderung terjebak dalam pandangan sempit, hanya percaya pada apa yang terlihat dan dapat diukur. Padahal, kehidupan sejati justru terhubung dengan apa yang melampaui penglihatan.

Namun, gelombang pemikiran materialistis yang datang dari Barat telah banyak memengaruhi cara berpikir sebagian umat Islam. Mereka menuntut agar seluruh konsep besar Islam diturunkan menjadi objek-objek yang dapat diindra, seakan-akan kebenaran hanya sah bila dapat diuji di laboratorium. Pandangan ini secara tidak sadar mereduksi keluasan ajaran Islam dan mempersempit cakrawala spiritual manusia. Bila pandangan ini terus dibiarkan, iman kepada yang gaib akan kehilangan makna, dan umat hanya akan terikat pada dunia kasat mata yang dangkal.

Pandangan dunia tauhid justru mengingatkan bahwa alam nyata hanyalah permukaan, sementara alam gaib adalah kedalaman. Alam nyata ibarat bayangan yang tak memiliki makna jika terpisah dari sumber cahayanya. Menolak keberadaan gaib berarti menolak lapisan terdalam dari realitas. Oleh karena itu, iman kepada gaib menjadi cahaya yang menuntun manusia di tengah keterbatasan indra dan akal. Tanpa itu, kehidupan manusia akan terasa hampa dan terputus dari akar hakikatnya.

Dengan memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki asal-usul dalam khazanah gaib, seorang mukmin akan memiliki pandangan dunia yang seimbang. Ia tidak akan terjebak dalam materialisme yang sempit, tetapi juga tidak melayang dalam mistisisme kosong tanpa pijakan. Ia akan melihat setiap benda, setiap peristiwa, bahkan dirinya sendiri, sebagai bagian dari sebuah sistem kosmik yang berlapis, di mana alam nyata adalah permukaan dan alam gaib adalah hakikat. Inilah jalan tengah yang ditawarkan Islam: tauhid, yang mempersatukan dimensi lahir dan batin, nyata dan gaib, materi dan makna.

Pada akhirnya, iman kepada gaib bukanlah sekadar kepercayaan dogmatis, melainkan pintu menuju pandangan dunia yang lebih dalam. Ia menuntun manusia untuk tidak berhenti pada apa yang tampak, melainkan menembus hingga ke akar realitas. Dengan iman ini, manusia tidak hanya hidup di dunia nyata, tetapi juga senantiasa tersambung dengan dunia gaib yang menjadi asal sekaligus tujuan akhirnya.


Disadur dari buku Pandangan Dunia Tauhid – Syahid Muthahhari

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT