Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menghidupkan Jiwa dengan Mengingat Mati

Mengingat kematian bukanlah ajakan untuk berputus asa dari kehidupan, melainkan panggilan untuk hidup dengan kesadaran yang lebih dalam. Dalam pandangan Islam, khususnya sebagaimana diajarkan oleh Ahlulbait Nabi saw, kesadaran akan mati dan Hari Kebangkitan adalah sumber moralitas, keteguhan hati, dan kejernihan batin.

Imam Ja’far Shadiq as berkata bahwa mengingat mati memiliki banyak kebaikan: menghapus keinginan yang berlebihan, mencabut akar kelalaian, melembutkan hati yang keras, menjauhkan pelanggaran, menekan sifat tamak, dan menjadikan dunia tampak sederhana dalam pandangan manusia (Biharul Anwar, jilid VI, hlm. 133).

Dengan mengingat kematian, seseorang diingatkan akan janji Allah dan keadilan-Nya. Ia berpikir tentang masa depan akhiratnya, tentang setiap amal dan pertanggungjawabannya kelak. Karena itu Rasulullah saw bersabda, “Berpikir dan merenung sesaat lebih baik daripada beribadah selama setahun.” (Biharul Anwar, jilid VI, hlm. 133).

Kesadaran tentang kematian menajamkan pikiran dan membersihkan hati. Nabi saw pernah bersabda bahwa hati manusia dapat berkarat sebagaimana besi, dan cara membersihkannya adalah dengan mengingat mati dan membaca Al-Qur’an. Dalam hadis lain beliau bersabda, “Senantiasalah mengingat mati, karena ia memiliki empat dampak: menghapus dosa, mengurangi kegandrungan pada dunia, mencegah perbuatan buruk, dan menumbuhkan rasa cukup.” (Nahjul Fasahah, hlm. 444).

Imam Ali a.s. menegaskan, orang yang selalu mengingat mati akan hidup sederhana, tidak tamak, dan tidak kikir. Ia menyadari bahwa banyak harta hanya memperberat pertanggungjawaban di hadapan Allah. Dunia, kata beliau, memperdayakan para pencintanya; sedangkan orang yang selalu mengingat mati akan memalingkan hatinya dari kemunafikan dunia dan mengarahkannya kepada kehidupan abadi (Biharul Anwar, jilid VI).

Orang yang sadar akan kematian tidak menunda amal kebajikan, karena ia tahu ajal bisa datang kapan saja. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Barangsiapa melihat mati di hadapannya, ia tidak akan pernah lalai dari tugasnya, karena ia tahu kematian dapat menjemputnya dalam setiap gerak.” (Biharul Anwar, jilid VI, hlm. 135).

Maka orang semacam itu bersegera dalam melakukan amal-amal yang mulia. Imam Ali as sering mengingatkan manusia akan kefanaan kekuasaan dan kemegahan dunia. Dalam salah satu khutbahnya beliau berkata, “Di manakah raja-raja Yaman dan Hijaz? Di manakah Kaisar Iran dan Romawi? Di manakah mereka yang membangun benteng megah dengan emas? Mereka telah tiada, sementara kematian terus berjalan di atas jejak mereka.” (Nahjul Balaghah).

Peringatan ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menegakkan kesadaran bahwa kematian adalah kepastian yang meniadakan kesombongan dan memperhalus jiwa.

Doa-doa para Imam Ahlulbait pun dipenuhi kesadaran seperti ini. Dalam Doa Abu Hamzah Tsumali, Imam Sajjad as bermunajat: “Ya Ilahi, pada sakaratul mautku, limpahkanlah rahmat-Mu atas duka dan ketidakberdayaanku. Ya Ilahi, limpahkanlah rahmat-Mu di kuburku yang sunyi dan dalam kegelisahanku. Ya Ilahi, pada Hari Pengadilan, limpahkanlah rahmat-Mu ketika amal perbuatanku dihisab dan aku malu atas kelemahanku.” (Sahifah Sajjadiyah).

Dalam doa Imam Ali as di Masjid Kufah pun terdapat pengakuan yang menggugah: “Ya Ilahi, lindungilah aku dari Hari ketika manusia melarikan diri dari ayah, ibu, anak, dan sahabatnya. Hari ketika setiap jiwa akan bertanggung jawab atas amalnya sendiri. Selamatkanlah aku dari siksa neraka.” (Nahjul Balaghah).

Doa-doa semacam ini bukan sekadar permohonan, melainkan latihan spiritual yang menjernihkan jiwa, melapangkan dada, dan menghidupkan kesadaran batin. Ia menjadi pengingat bahwa hidup di dunia hanyalah perjalanan singkat menuju pertemuan dengan Sang Pencipta. Namun, tidak semua manusia mampu mengingat mati dengan jernih. Imam Ali a.s. berkata, “Aku khawatir terhadap dua hal: mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Yang pertama menyesatkan dari jalan yang benar, dan yang kedua menjauhkan dari mengingat Hari Kebangkitan.” (Nahjul Balaghah).

Panjang angan dan harapan yang berlebihan membuat manusia lalai. Ia menunda kebaikan seolah waktu masih panjang, padahal kematian tidak pernah menunggu kesiapan siapa pun.

Mengingat mati bukanlah pesimisme, melainkan kesadaran akan keterbatasan diri dan keadilan Ilahi. Ia menumbuhkan rasa tanggung jawab, keikhlasan, dan ketenangan. Orang yang senantiasa mengingat mati tidak akan takut menghadapinya, sebab setiap amalnya telah dipersiapkan untuk hari itu. Seperti Imam Ali as yang pada malam ketika beliau ditikam berkata dengan ketenangan yang abadi: “Demi Allah, aku telah menang.”

Kemenangan sejati bukanlah menghindari kematian, melainkan menyambutnya dengan hati yang bersih dan amal yang utuh—dengan keyakinan bahwa hidup yang sementara ini hanya bermakna jika diarahkan pada keabadian di sisi Allah SWT.


Disadur dari buku karya Ayatullah Mukḥsin Qara’ati – Misteri Hari Pembalasan: Dalil Al-Qur’an dan Argumen Akal

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT