Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Akibat Mengingkari Hari Kebangkitan

Keimanan kepada Hari Kebangkitan bukan sekadar ajaran akidah yang abstrak, melainkan poros kesadaran manusia. Di sanalah terletak akar moralitas dan rasa tanggung jawab. Manusia yang yakin bahwa segala amalnya akan diperhitungkan kelak, tidak akan berani berbuat sewenang-wenang; sementara yang mengingkarinya akan hidup dalam kelalaian, menganggap hidup ini sekadar permainan tanpa arah dan tanpa akhir. Pengingkaran terhadap kebangkitan sejatinya bukanlah penolakan intelektual, melainkan perlawanan terhadap nurani dan fitrah yang menuntut keadilan dan makna hidup.


1. Melalaikan Tanggung Jawab

Setiap manusia dianugerahi kesadaran moral — sebuah suara lembut dalam hati yang menegur ketika hendak berbuat zalim. Namun, manusia juga memiliki kecenderungan untuk memanipulasi kesadarannya sendiri. Ketika seseorang ingin mengambil manfaat dari pohon yang bukan miliknya, ia mendengar suara hati yang melarangnya. Tetapi agar dapat menipu dirinya sendiri, ia berbisik dalam hati, “Tak ada pemiliknya.” Dengan alasan itu, ia menenangkan batinnya, lalu melanggar larangan moralnya sendiri.

Perilaku seperti ini adalah cerminan dari jiwa yang kehilangan arah, sebagaimana digambarkan Al-Qur’an:

“Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus. Ia bertanya: ‘Kapankah hari Kiamat yang diancamkan itu?”
(QS. Al-Qiyamah [75]: 5–6)

Pertanyaan sinis itu bukanlah pencarian pengetahuan, melainkan bentuk ejekan terhadap kebenaran. Ia bukan bertanya untuk memahami, melainkan untuk membenarkan penolakannya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, gejala ini sangat nyata. Seseorang ingin menuruti hawa nafsunya, lalu ia berkata, “Kita semua bersaudara, tak ada salahnya.” Saat takut kepada penguasa zalim, ia beralasan, “Kita harus bertaqiyah.” Ketika ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan yang rusak, ia berdalih, “Kita harus bekerja sama dengan masyarakat.” Padahal yang sebenarnya ia lakukan hanyalah menutupi kelemahannya dengan topeng rasionalitas.

Manusia seperti ini telah kehilangan kejujuran terhadap dirinya sendiri. Ia membangun tembok alasan untuk menolak tanggung jawab yang sudah menjadi fitrahnya. Inilah akar dari segala penyimpangan moral — ketika seseorang mulai percaya bahwa tidak ada hari perhitungan, tidak ada keadilan Ilahi yang menantinya. Ia menjadi bebas tanpa kendali, hidup seolah-olah tidak akan pernah mati.


2. Hilangnya Kepercayaan kepada Ilmu dan Kekuasaan Allah

Pengingkaran terhadap Hari Kebangkitan juga bersumber dari lemahnya keyakinan terhadap kekuasaan dan ilmu Allah. Mereka menganggap mustahil bahwa manusia yang telah mati akan hidup kembali. Bagi mereka, kematian adalah akhir dari segalanya — sebuah kehancuran total.

Al-Qur’an menjawab pemikiran ini dengan tegas:

“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’ Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka hanya menduga-duga saja.”
(QS. Al-Jatsiyah [45]: 24)

“Orang-orang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Ya, demi Tuhanku, kamu benar-benar akan dibangkitkan, kemudian diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu mudah bagi Allah.”
(QS. At-Taghabun [64]: 7)

Bagi manusia yang beriman, kehidupan adalah pancaran kekuasaan Allah yang tiada batas. Tuhan yang mampu menciptakan dari ketiadaan, tentu lebih mudah untuk menghidupkan kembali yang telah mati. Sebagaimana firman-Nya:

“Dan Dia-lah yang menciptakan dari permulaan, kemudian menghidupkannya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah mudah bagi-Nya.”
(QS. Ar-Rum [30]: 27)

Imam Ja‘far ash-Shadiq a.s. pernah berkata bahwa manusia yang mengingkari kebangkitan adalah mereka yang tidak mengenal hakikat diri dan Tuhannya. Sebab, siapa pun yang memahami dirinya sebagai ciptaan, akan mengetahui bahwa keberadaannya bukan berasal dari dirinya sendiri — dan yang telah memulai penciptaan tentu mampu mengulanginya kembali.


3. Alam Sebagai Cermin Kebangkitan

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap kali kamu menyaksikan datangnya musim semi, perbaharuilah keyakinanmu terhadap kehidupan setelah mati.”

Musim semi adalah wahyu alam yang mengajarkan manusia tentang kebangkitan. Tanah yang kering, pohon yang gersang, dan dedaunan yang gugur — semuanya seolah mati. Namun ketika rahmat Ilahi turun bersama hujan, bumi itu kembali hidup, menumbuhkan kehidupan baru.

Maulana Jalaluddin Rumi menggubahnya dengan indah:

“Setelah musim gugur, datanglah musim semi kehidupan; misteri alam pun tersingkap, bumi yang mati kembali hidup.”

Setiap pergantian musim, setiap benih yang tumbuh, setiap bayi yang lahir — semuanya adalah tanda-tanda kebangkitan yang berulang setiap hari. Dunia ini bukanlah tempat tanpa makna, tetapi sebuah madrasah besar di mana manusia belajar bahwa kematian hanyalah gerbang menuju kehidupan yang lebih tinggi.


4. Sikap Keras Kepala dan Permintaan Mustahil

Namun sebagian manusia, bahkan setelah melihat tanda-tanda itu, tetap saja menolak. Mereka bertanya dengan nada ejekan, “Kapankah Hari Kebangkitan itu?”

Al-Qur’an menegaskan:

“Mereka berkata: ‘Siapakah yang akan menghidupkan kami kembali?’ Katakanlah: ‘Yang telah menciptakan kamu pada kali pertama.’ Lalu mereka menggelengkan kepala dan berkata: ‘Kapankah itu terjadi?’ Katakanlah: ‘Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat.’”
(QS. Al-Isra [17]: 51)

Penolakan mereka bukan karena tidak tahu, tetapi karena tidak mau tahu. Mereka menuntut mukjizat yang mustahil — agar planet-planet diturunkan ke bumi, agar Allah tampak dalam wujud manusia, agar gunung melahirkan unta seketika. Namun ketika mukjizat pun benar-benar ditunjukkan, seperti terbelahnya bulan, mereka berkata, “Itu hanya sihir.”

Padahal tugas para nabi bukanlah menjadi pesulap yang memenuhi keinginan manusia, melainkan menjadi penunjuk jalan menuju kesadaran. Dunia ini bukan panggung hiburan atau pameran mukjizat; ia adalah ruang ujian di mana iman harus tumbuh dari kesadaran, bukan dari paksaan penglihatan.


5. Kematian Sebagai Sunnatullah

Keengganan manusia untuk menerima kebangkitan seringkali lahir dari ketakutannya terhadap kematian. Ia membayangkan mati sebagai akhir dari segalanya, padahal kematian hanyalah perpindahan dari satu alam ke alam lain.

Al-Qur’an menyatakan:

“Kami telah menetapkan kematian di antara kamu, dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan.”
(QS. Al-Waqi‘ah [56]: 60)

Menariknya, dalam Al-Qur’an kata mati sering digunakan bersamaan dengan istilah tawaffa — yang berarti “mengambil kembali secara utuh.” Dengan demikian, kematian bukanlah kehancuran, melainkan proses pengembalian amanah jiwa kepada pemiliknya, yaitu Allah SWT.

“Dia yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
(QS. Al-Mulk [67]: 2)

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Janganlah kamu mengira kematian itu melenyapkanmu. Sesungguhnya kematian hanyalah memindahkanmu dari satu rumah ke rumah yang lain.”
(Bihar al-Anwar)

Kematian bukanlah kegelapan, melainkan pintu menuju cahaya yang abadi. Ia adalah fase kelahiran kedua — kelahiran rohani yang menyingkapkan hakikat segala amal. Siapa yang hidup dengan keimanan akan terlahir kembali dalam kedamaian; siapa yang hidup dalam penyangkalan akan menuai kebingungan di hadapan kebenaran yang selama ini ia dustakan.


Menyambut Kesadaran Kebangkitan

Pengingkaran terhadap Hari Kebangkitan bukanlah persoalan intelektual, tetapi persoalan moral dan spiritual. Ia lahir dari ketakutan terhadap tanggung jawab. Manusia yang menolak kebangkitan ingin bebas tanpa batas, ingin berbuat tanpa konsekuensi. Namun tanpa kebangkitan, seluruh makna keadilan hilang; yang lemah akan selamanya tertindas, yang zalim takkan pernah diadili.

Iman kepada kebangkitan menegakkan keseimbangan semesta. Ia membuat manusia sadar bahwa setiap tindakan — sekecil apa pun — memiliki akibat. Ia mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah ladang tempat menanam benih amal untuk dituai di hari perhitungan.

Keyakinan ini pula yang menjadi rahasia keteguhan para syuhada Karbala. Mereka tidak takut mati karena mereka tidak menganggap kematian sebagai akhir, melainkan sebagai perjumpaan dengan Tuhan yang mereka cintai.

Di sinilah perbedaan antara orang yang beriman dan yang mengingkari: yang pertama memandang kematian sebagai gerbang menuju kehidupan, sementara yang kedua menganggap kehidupan sebagai jalan menuju kehampaan.

Semoga kita termasuk mereka yang menatap maut dengan senyum, karena di baliknya terhampar kehidupan abadi yang dijanjikan Allah.


Disadur dari buku karya Ayatullah Mukḥsin Qara’ati – Misteri Hari Pembalasan: Dalil Al-Qur’an dan Argumen Akal

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT