Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Perjanjian Sharm el-Sheikh: Pengakuan Terselubung atas Kekuatan Perlawanan Palestina

Gencatan senjata antara Kubu Perlawanan Palestina dan rezim Zionis baru-baru ini bukan sekadar sebuah kesepakatan politik. Ia merupakan momen bersejarah ketika perjuangan dua tahun penuh kepedihan, blokade, dan pertempuran sengit berubah menjadi kemenangan strategis dan moral bagi rakyat Palestina. Di balik kesepakatan Sharm el-Sheikh yang tampak diplomatis, tersimpan pengakuan terselubung atas kegagalan logika militer Israel dan keberhasilan jalan perlawanan.

Dari Medan Perang ke Meja Perundingan

Perjanjian Sharm el-Sheikh—yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan sejumlah pemerintah Arab—di atas kertas bertujuan mengakhiri dua tahun perang yang melelahkan. Namun secara substansial, ia menjadi tangga penyelamat bagi Benjamin Netanyahu, yang terperangkap dalam kebuntuan politik dan militer. Dua tahun perang tidak berhasil menghancurkan Hamas, tidak mampu mengembalikan tawanan Israel melalui operasi militer, dan gagal memulihkan kontrol penuh Tel Aviv atas Jalur Gaza.

Donald Trump, melalui apa yang disebutnya sebagai “rencana perdamaian,” mencoba mengamankan secara diplomatik apa yang gagal dicapai Israel di medan perang. Namun hasil akhirnya berbicara sebaliknya: yang menang bukanlah strategi kekerasan Israel, melainkan keteguhan perlawanan Palestina.

Selama dua tahun penuh, rakyat Gaza hidup di bawah pengepungan total. Kota demi kota hancur, rumah-rumah rata dengan tanah, dan ribuan jiwa menjadi korban. Namun dari reruntuhan itu, lahir sebuah tekad kolektif yang tidak bisa dipatahkan. Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, dalam pernyataannya menegaskan bahwa meski musuh memiliki keunggulan teknologi dan intelijen, mereka gagal membebaskan para tawanan dengan kekuatan senjata. Sebagaimana janji perlawanan sebelumnya, para tawanan hanya akan kembali melalui negosiasi dan kesepakatan politik, bukan paksaan militer.

Pernyataan ini menandai runtuhnya doktrin “kekuatan militer absolut” yang selama puluhan tahun menjadi dasar strategi keamanan Israel. Sejak berdirinya entitas itu, keyakinan bahwa “kekuatan akan menundukkan kehendak” menjadi mitos yang menopang eksistensinya. Kini, mitos itu runtuh di hadapan keteguhan rakyat yang bersandar pada iman dan kesabaran.

Pesan Kemanusiaan di Balik Pertukaran Tahanan

Pertukaran tahanan ini tidak hanya bermakna politis, tetapi juga menyentuh dimensi kemanusiaan yang mendalam. Adegan rakyat Gaza menyambut anak-anak mereka yang kembali dari penjara menggambarkan bahwa masyarakat Palestina tetap utuh dan hidup, meski tubuh kota mereka porak-poranda. Di setiap pelukan ibu kepada anaknya, tergambar simbol kebangkitan kolektif: bahwa penjara tidak pernah mampu membunuh semangat bangsa yang berjuang untuk kebebasan.

Setiap tahanan yang bebas bukan sekadar individu yang kembali; ia adalah perwujudan memori sejarah dan kehendak yang tak tunduk. Dalam setiap wajah yang pulang dari sel-sel isolasi, tampak bayangan generasi yang telah lama berjanji: bahwa tanah air, sekalipun dibanjiri darah dan air mata, tidak akan dibiarkan mati.

Dalam pandangan spiritual Islam, peristiwa seperti ini mengingatkan pada janji ilahi bahwa “Allah bersama orang-orang yang sabar.” Kemenangan bukan selalu berarti kekuasaan politik, tetapi keteguhan ruhani untuk tetap berdiri ketika dunia berusaha menjatuhkan. Maka, pertukaran tahanan ini bukan hanya kemenangan diplomatik, melainkan kemenangan moral yang meneguhkan makna jihad sebagai kesetiaan kepada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Dari sudut pandang strategis, peristiwa ini menjadi penanda lahirnya keseimbangan kekuatan baru di kawasan. Untuk pertama kalinya, rezim Zionis harus mengakui kenyataan pahit bahwa tanpa persetujuan pihak perlawanan, ia tidak dapat melangkah bebas—baik dalam operasi militer maupun kebijakan sipilnya. Fakta ini mengguncang citra “tentara tak terkalahkan” yang selama puluhan tahun menjadi kebanggaan Israel.

Pandangan dunia pun mulai berubah. Israel yang dulu berusaha menampilkan diri sebagai pihak yang selalu diserang, kini semakin terlihat sebagai kekuatan penindas yang terpaksa duduk di meja perundingan dengan lawan yang selama ini diremehkan. Sebaliknya, perlawanan Palestina tampil sebagai kekuatan yang matang dan berdaulat—bukan lagi sekadar gerakan bersenjata, tetapi sebagai aktor politik yang mampu menentukan arah masa depan negerinya sendiri.

Pengakuan yang Terselubung

Meskipun secara formal disebut sebagai perjanjian damai dan gencatan senjata, kesepakatan Sharm el-Sheikh sejatinya adalah pengakuan terbuka atas kemenangan perlawanan. Ia menandai kemenangan kehendak atas kekuatan senjata, ketabahan atas teknologi, dan iman atas penindasan.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Israel akan memulai perang baru, tetapi apakah Israel mampu memulihkan legitimasi moral dan politiknya setelah kekalahan yang begitu telak ini. Dunia menyaksikan bahwa kekuatan militer terbesar di kawasan Timur Tengah terpaksa tunduk pada kehendak rakyat yang telah dikepung, dibombardir, dan dilucuti.

Kekalahan seperti ini lebih dalam daripada sekadar kehilangan wilayah atau korban jiwa. Ia adalah kekalahan makna, ketika sebuah entitas kehilangan kepercayaan diri dan pembenaran moral atas keberadaannya. Sebaliknya, bagi rakyat Palestina, kemenangan ini bukan akhir perjuangan, melainkan awal dari babak baru sejarah perlawanan.

Simbol Keteguhan Iman

Bagi masyarakat Islam, terutama bagi kalangan mukmin yang melihat perjuangan Palestina sebagai bagian dari poros perlawanan terhadap kezaliman global, pertukaran tahanan ini merupakan simbol keteguhan iman dan janji Allah terhadap mereka yang berjuang di jalan kebenaran.

Kemenangan ini tidak diukur dari banyaknya senjata atau dukungan diplomatik, tetapi dari keberanian spiritual untuk tidak menyerah.

Pertukaran tahanan antara Perlawanan Palestina dan rezim Zionis bukanlah transaksi kemanusiaan semata. Ia adalah penegasan bahwa tak ada kekuatan dunia yang dapat menundukkan kehendak rakyat yang beriman dan berpegang pada keadilan.

Dalam catatan sejarah perlawanan global, peristiwa ini akan dikenang sebagai saat ketika Gaza—sebuah tanah kecil yang dikepung dari segala arah—berhasil menundukkan sebuah kekuatan militer yang dulu dianggap tak terkalahkan. Ia menjadi pelajaran universal bagi seluruh umat manusia bahwa kebebasan bukan hadiah, melainkan buah dari pengorbanan, keyakinan, dan keteguhan jiwa.

Kini dunia tahu, bahwa di balik reruntuhan Gaza, bukan hanya puing-puing yang tersisa, tetapi api perlawanan yang tidak pernah padam. Dan dari bara itu, lahirlah harapan baru bagi semua bangsa tertindas di muka bumi—bahwa kemenangan, pada akhirnya, selalu berpihak kepada mereka yang tidak pernah berhenti memperjuangkan kebenaran.


Sumber: Khamenei.ir

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT