Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Perang Uhud: Ketika Doa Menjadi Senjata dan Kesetiaan Menjadi Kemenangan

Perang Uhud merupakan salah satu peristiwa paling memilukan dalam sejarah perjuangan Islam. Setelah kemenangan gemilang di Badar, kaum Muslimin kembali berhadapan dengan pasukan Quraisy yang membawa dendam lama. Jumlah mereka berlipat: tiga ribu pasukan musyrik dengan perlengkapan lengkap melawan sekitar tujuh ratus pasukan mukmin yang berpuasa dan penuh keyakinan.

Namun di balik kisah luka dan kekalahan, terdapat lembaran suci yang jarang disingkap: doa Rasulullah saw di puncak kesendirian, saat semua berpaling kecuali satu — Ali bin Abi Thalib as.

Uhud dalam Riwayat Ahlul Bait as

Menurut riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Ja‘far ash-Shadiq as, perang Uhud bukan sekadar ujian militer, tetapi “penyingkap hakikat hati para sahabat.” Imam bersabda:

“Allah menguji Rasul-Nya di Uhud, sebagaimana Dia menguji para nabi sebelumnya, agar tampak siapa yang benar-benar setia dan siapa yang berpaling ketika badai datang.”
(Al-Kafi, jilid 8, hal. 224)

Ketika pasukan pemanah yang diperintahkan Rasulullah agar tidak meninggalkan pos mereka tergoda oleh rampasan perang dan turun dari bukit, posisi Muslimin terbuka lebar. Khalid bin Walid (yang saat itu masih kafir) memanfaatkan kesempatan itu dan menyerang dari belakang. Kekacauan pun terjadi, dan barisan kaum Muslimin tercerai-berai.

Dalam riwayat Imam Ali Zainal Abidin as disebutkan:

“Tatkala Rasulullah ditinggalkan, dan para sahabat berpaling dari medan, hanya tinggal Ali bin Abi Thalib dan Abu Dujanah yang bertahan di sisi beliau. Ali mematahkan pedang demi pedang, hingga Rasulullah menyerahkan Dzulfiqar kepadanya.”
(Bihar al-Anwar, jilid 20, hal. 73)

Doa di Tengah Kekalahan

Di tengah situasi yang genting itu, Rasulullah saw mengangkat pandangan ke langit dan memanjatkan doa yang menggetarkan:

“Ya Allah, sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Mu. Engkau telah menjadikan bagi setiap nabi seorang penolong dari keluarganya. Maka Engkau telah menjadikan bagiku penolong dari keluargaku, yaitu Ali bin Abi Thalib, saudaraku. Sungguh, ia sebaik-baik saudara dan sebaik-baik penolong.”

Beliau melanjutkan:

“Ya Allah, Engkau telah menjanjikan kepadaku empat ribu malaikat yang berbaris. Janji-Mu adalah benar, Engkau tidak akan menyalahi janji. Engkau berjanji memenangkan agama-Mu atas seluruh agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya.”

Riwayat Furat bin Ibrahim al-Kufi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa setelah doa itu dipanjatkan, Rasulullah mendengar seruan dari langit. Beliau menengadah dan melihat Jibril as di atas kursi emas, dikelilingi empat ribu malaikat bersenjata lengkap.

Dari langit terdengarlah suara yang kemudian menjadi kalimat legendaris sepanjang sejarah:

“Lā fatā illā ʿAlī, wa lā sayfa illā Dzulfiqār.
“Tidak ada pemuda (pahlawan) selain Ali, dan tidak ada pedang selain Dzulfiqar.”

Jibril turun dan mengelilingi Rasulullah saw, seraya berkata:

“Wahai Rasulullah, demi Dzat yang memuliakanmu dengan petunjuk, para malaikat kagum terhadap laki-laki ini yang menolongmu dengan seluruh dirinya.”

Rasulullah menjawab dengan kalimat penuh cinta:

“Wahai Jibril, bagaimana dia tidak menolongku dengan dirinya, padahal dia bagian dariku dan aku bagian darinya.”

Dan Jibril berkata:

“Dan aku bagian dari kalian berdua.”

Uhud: Kekalahan yang Mengandung Kemenangan

Riwayat Ahlul Bait as menegaskan bahwa meskipun perang Uhud secara lahir tampak sebagai kekalahan, secara batin ia adalah kemenangan spiritual yang besar. Imam al-Ridha as pernah berkata:

“Allah tidak menilai kemenangan dari jumlah atau senjata, tetapi dari siapa yang tetap teguh di sisi kebenaran. Di Uhud, hanya Ali yang tetap bersama Rasulullah, maka kemenangan itu miliknya.”
(Uyūn Akhbār al-Ridha, jilid 1, hal. 315)

Keteguhan itu tak hanya fisik, tapi juga spiritual. Dalam beberapa riwayat disebutkan, setiap kali Ali as menebas musuh, cahaya memancar dari pedangnya — simbol pertolongan Ilahi. Malaikat menyaksikan dari langit, mengagumi keberanian yang bersumber dari cinta kepada Rasulullah saw.

Imam al-Baqir as menafsirkan peristiwa ini sebagai manifestasi kesatuan antara nubuwwah dan imamah. Beliau bersabda:

“Ali adalah tangan kanan Rasulullah, sebagaimana Harun adalah tangan kanan Musa. Di Uhud, tangan itu tidak bergetar walau seluruh dunia berpaling.”
(Tafsir al-Qummi, jilid 1, hal. 209)

Kesaksian Rasulullah saw terhadap Ali as

Setelah pertempuran mereda, Rasulullah saw bersabda di hadapan sahabat-sahabat yang tersisa:

“Wahai manusia, ketika kalian berpaling dariku, Ali menolongku. Barang siapa mentaatinya, berarti ia telah mentaatiku; dan barang siapa menentangnya, berarti ia telah menentangku, serta berpisah denganku di dunia dan di akhirat.”

Pernyataan itu bukan sekadar pujian, melainkan deklarasi terhadap wilayah Ali as — bahwa ketaatan kepadanya adalah kelanjutan ketaatan kepada Nabi sendiri.

Sahabat Hudzaifah al-Yamani, yang dikenal sebagai penjaga rahasia Rasulullah, berkata setelah mendengar sabda itu:

“Tidak layak orang berakal meragukan bahwa orang yang tidak pernah menyekutukan Allah lebih utama daripada yang pernah menyekutukan-Nya. Dan orang yang tidak pernah meninggalkan Rasulullah tentu lebih utama dari yang pernah meninggalkannya. Dan dia itu adalah Ali bin Abi Thalib.”

Kesaksian Para Ulama

Hadis ini, sebagaimana dituturkan oleh Furat bin Ibrahim dan dikukuhkan oleh Ibnu Abil Hadid al-Mu‘tazili dalam Syarh Nahjul Balaghah, diakui sebagai riwayat yang masyhur dan sahih. Ibnu Abil Hadid menukil dari gurunya, Abdul Wahhab bin Sukainah:

“Hadis ini sahih. Tidak setiap hadis sahih dimuat dalam kitab sahih. Banyak hadis sahih yang diabaikan para penyusunnya.”

Hal ini menegaskan bahwa ketinggian spiritual Ali bin Abi Thalib di medan Uhud bukan sekadar pandangan teologis Syiah, tetapi juga diakui oleh banyak ulama Ahlusunah yang jujur dalam menilai sejarah.

Doa dan Makna Kemenangan

Dari peristiwa Uhud, Ahlul Bait as mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukanlah menang dalam hitungan pasukan, tetapi menang dalam keimanan. Di saat semua berlari, ada satu jiwa yang tetap setia. Di saat banyak yang mencari perlindungan, ada satu yang rela menjadi perisai bagi Nabi.

Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya berkata tentang Uhud:

“Demi Allah, aku tidak pernah melangkah satu langkah pun kecuali di mana Rasulullah saw berdiri. Aku menjadi pelindung baginya hingga darahku membasahi tanah di hadapannya.”
(Nahjul Balaghah, khutbah 56)

Doa Rasulullah di tengah kekalahan bukanlah tanda kelemahan, melainkan seruan tauhid, pengakuan bahwa segala kemenangan datang dari Allah semata. Dalam pandangan Ahlul Bait as, doa itu adalah puncak tawakkul dan keimanan, bukan sekadar permohonan pertolongan, tapi penegasan posisi kenabian dan imamah dalam satu garis cahaya.

Perang Uhud mengajarkan bahwa kekalahan lahiriah bisa menyembunyikan kemenangan batiniah yang abadi. Saat tubuh-tubuh terjatuh dan darah mengalir, Allah menurunkan pertolongan-Nya melalui cahaya kesetiaan. Dari lembah itu, sejarah Islam menyaksikan lahirnya kalimat yang tak pernah mati:

“Tidak ada pemuda selain Ali, dan tidak ada pedang selain Dzulfiqar.”

Kisah ini bukan hanya kenangan peperangan, tetapi cermin bagi umat yang ingin memahami hakikat perjuangan: bahwa di tengah kekalahan duniawi, bisa tersembunyi kemenangan Ilahi — jika hati tetap bersama Rasulullah dan wali pilihannya.


Dielaborasikan dari hadis di kitab Madinah Balaghah

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT