“Semua sandera perempuan telah dibunuh Hamas.”
“Hamas tidak menyisakan satu pun perempuan hidup-hidup.”
Dua kalimat ini menggema di berbagai kanal media sosial pro-Israel dalam beberapa hari terakhir. Sebuah pesan pendek yang ditujukan untuk menipu memori dunia, seolah-olah tragedi yang sesungguhnya telah berganti pelaku. Namun bagi siapa pun yang mengikuti dua tahun genosida di Gaza, tuduhan ini bukan hanya menggelikan—tetapi menunjukkan kepanikan rezim Zionis yang sedang kehilangan kendali atas narasi global.
Membantahnya tak perlu penelitian rumit. Cukup mengingat satu hal sederhana: dalam setiap kesepakatan pertukaran tawanan sebelumnya, semua perempuan dan lansia selalu menjadi prioritas untuk dibebaskan lebih dulu. Bahkan ketika pesawat-pesawat Zionis menggempur Gaza tanpa henti—berusaha membunuh tawanan mereka sendiri agar Hamas kehilangan daya tawar—para pejuang Al-Qassam justru melindungi para sandera di terowongan bawah tanah, menjauh dari bahaya.
Kini, setelah diumumkan gencatan senjata, tiba-tiba muncul narasi baru: semua sandera perempuan dibunuh. Narasi ini jelas dibuat bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi untuk menghidupkan kembali mesin propaganda Zionis yang sekarat.
Belum lama berselang, dunia menyaksikan momen-momen manusiawi dalam pertukaran tawanan: seorang sandera Israel mencium kening penjaga Al-Qassam, mengucapkan terima kasih karena telah melindunginya berbulan-bulan. Ironisnya, tak lama setelah pulang ke Tel Aviv, seorang perempuan Israel yang dibebaskan dari Gaza justru menjadi korban perkosaan oleh pelatih kebugarannya sendiri. Fakta ini menjadi tamparan keras bagi narasi kebohongan “Hamas barbar dan kejam terhadap perempuan.”
Sejak 7 Oktober 2023, ketika Operasi Badai Al-Aqsa mengguncang dunia, Israel berulang kali menuduh Hamas memperkosa, membakar, dan menyiksa anak-anak. Namun kebenaran selalu menyingkap arah sebaliknya: justru tentara Israel-lah yang selama dua tahun mempermalukan perempuan Gaza—mengunggah pakaian pribadi mereka di media sosial, menahan kebutuhan dasar, bahkan menjadikan tubuh mereka alat penghinaan.
Kini, para pelaku kehinaan itu berusaha menutupi jejaknya dengan cerita baru. Mereka bukan sedang berbicara tentang perempuan—mereka sedang berbicara tentang krisis legitimasi. Karena di balik kebohongan itu, yang sekarat bukan sandera, melainkan kredibilitas mereka sendiri.
Kegagalan propaganda ini bukan peristiwa terpisah. Ia adalah bagian dari perang besar: perang atas kesadaran umat manusia. Setelah Operasi Badai Al-Aqsa, Israel kehilangan monopoli atas narasi Palestina. Gelombang opini dunia berbalik arah; bahkan di Amerika Serikat, lebih dari separuh warganya kini memandang negatif terhadap Tel Aviv. Netanyahu berulang kali mengeluh, “Kita kalah dalam perang opini,” dan menyerukan perubahan algoritma media sosial agar konten anti-Israel dibungkam.
Maka lahirlah babak baru: perang siber dan manipulasi kesadaran. TikTok, media paling berpengaruh di kalangan muda, kini berpindah ke tangan investor pro-Israel setelah tekanan dari pemerintah AS. Para pemilik barunya secara terbuka menyatakan misi mereka: memasukkan konten pro-Israel ke arus utama. Netanyahu pun menyebut media sosial sebagai “senjata tempur baru.” Dan kampanye “sandera perempuan” adalah tembakan perdananya.
Namun, sebagaimana senjata Zionis lainnya, pelurunya meleset. Aktivis digital segera menemukan pola yang janggal: konten-konten seragam, akun-akun penyebar yang identik, dan gaya penyampaian yang terkoordinasi. Bocoran kemudian mengungkap bahwa para influencer dunia dibayar ratusan ribu dolar untuk menyebarkan narasi palsu. Inilah bentuk kolonialisme modern: bukan lagi penjajahan tanah, tetapi penjajahan pikiran.
Taktik ini bukan hal baru. Sejak era kolonial klasik, isu perempuan selalu dijadikan pintu masuk untuk menyerang Islam. Barat dan Zionis selalu berusaha menggambarkan budaya Islam sebagai ancaman bagi perempuan—seolah kehormatan, hijab, dan moralitas adalah bentuk penindasan. Mereka menggunakan “hak-hak perempuan” sebagai kedok untuk menjustifikasi intervensi politik dan militer.
Kita melihat pola yang sama di Sudan, yang hancur karena propaganda “kebebasan perempuan”, dan di Iran, ketika kerusuhan “Women, Life, Freedom” dibiayai asing untuk menggoyang Republik Islam. Kini, propaganda itu dihidupkan lagi untuk mencemarkan Hamas, memecah solidaritas global, dan menodai Islam.
Namun yang tak mereka perhitungkan adalah keteguhan perempuan Palestina sendiri. Selama dua tahun genosida, perempuan Gaza menjadi simbol kekuatan spiritual Islam. Mereka melahirkan anak di tengah reruntuhan, mendidik mereka dengan zikir, dan menguburkan suami serta anak-anak mereka dengan kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.” Mereka tidak menuntut dibebaskan dari Islam—karena Islam-lah yang memberi mereka kekuatan untuk bertahan.
Keteguhan perempuan Gaza membongkar kebohongan propaganda Barat tentang “pembebasan perempuan.” Mereka menunjukkan kepada dunia bahwa kebebasan sejati bukan berarti bebas dari agama, melainkan bebas dari penjajahan.
Kini, setelah ratusan kampanye digital gagal mengubah persepsi dunia, rezim Zionis hanya menyisakan satu peluru terakhir: fitnah terhadap Islam itu sendiri. Namun kebohongan sebesar apa pun tidak akan mampu menutupi satu fakta kecil yang kini telah menjadi kesadaran dunia: bahwa Islam adalah benteng terakhir bagi kehormatan manusia, ketika seluruh nilai kemanusiaan Barat telah runtuh.
Bagi umat yang meneladani Sayyidah Zainab as, kebenaran tidak diukur dari siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling sabar dalam menanggung luka. Sebagaimana Zainab berdiri tegak di istana Yazid dan menelanjangi kebohongan kekuasaan, begitu pula perempuan Gaza hari ini berdiri di bawah langit yang terbakar, menelanjangi kebohongan modernitas Zionis.
Dan dari reruntuhan Gaza, suara mereka menggema ke seluruh dunia: “Kami hidup, kami sabar, dan kami menang—karena kami percaya kepada Allah.”
Sumber: Khamenei.ir