Ada saat-saat ketika kata-kata kehilangan maknanya. Setiap upaya untuk menggambarkan kemuliaan seseorang terasa terlalu kecil, terlalu terbatas. Begitulah ketika lidah mencoba menyebut nama Sayyidah Fatimah Zahra sa. Dalam pandangan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, beliau bukan sekadar putri Rasulullah, bukan pula hanya seorang ibu bagi para Imam suci. Sayyidah Fatimah Zahraadalah samudra kebijaksanaan, kesucian, dan kedalaman spiritual yang tak bertepi.
Sayyid Ali Khamenei berkata dengan nada penuh kekaguman: “Fatimah Zahra sa lebih unggul daripada seluruh wanita suci sepanjang sejarah. Dalam waktu yang begitu singkat, beliau menjadi samudra hikmah, takwa, kesucian, dan keluhuran rohani. Inilah mukjizat Islam.”
Betapa luar biasanya kalimat ini—sebuah pengakuan bahwa kehidupan Sayidah Zahra adalah keajaiban yang melampaui logika manusia biasa. Ia hidup singkat, namun menorehkan makna yang panjang. Dalam dirinya berpadu dua lautan besar: lautan pengetahuan dan lautan cinta.
Rahbar mengaitkan Sayidah Zahra dengan Surah al-Kautsar. Beliau berkata, bahkan seandainya tidak ada riwayat pun yang menjelaskan keterkaitan itu, hubungan spiritual antara Fatimah Zahra dan Kautsar sudah tampak begitu nyata.
Kautsar berarti kelimpahan, keberkahan yang tak pernah habis. Dari Fatimah Zahra mengalir mata air itu—dari rahim sucinya lahir para Imam maksum, penuntun cahaya bagi manusia. Beliau menggambarkan bahwa dunia telah dipenuhi oleh “melodi-melodi rohani” yang mengalir dari suara para Imam: Hasan, Husain, Sajjad, Shadiq, dan seluruh keturunannya. Semua itu, katanya, “berasal dari Fatimah Zahra.”
Maka benar, Kautsar bukan sekadar sungai di surga, melainkan simbol kehidupan yang abadi—air jernih dari hati seorang wanita yang seluruh keberadaannya adalah kebaikan.
Cinta yang Menuntun
Sayyid Ali Khamenei kemudian mengingatkan bahwa mencintai Sayidah Zahra sa adalah anugerah besar yang tidak boleh disepelekan:
“Cinta kepada Fatimah Zahra, Siddiqah al-Kubra, adalah karunia agung bagi kita. Segala puji bagi Allah yang memperkenalkan kita kepadanya, yang menjadikan kita bersandar pada kasih sayangnya dan menjadikan kita mencintainya.”
Cinta ini bukan sekadar perasaan lembut dalam hati seorang mukmin. Ia adalah bentuk kesadaran spiritual—sebuah jembatan antara manusia dan cahaya ilahi. Barang siapa mencintai Zahra dengan tulus, maka ia sedang mencintai kebenaran, sedang mencintai keadilan, sedang mencintai Tuhan.
Rahbar sering mengingatkan bahwa cinta yang benar kepada Ahlulbait bukan hanya dengan lidah, melainkan dengan sikap hidup. Cinta itu berarti meneladani. Maka mencintai Fatimah berarti berusaha hidup sebagaimana ia hidup: dengan kesucian, dengan keberanian, dan dengan keikhlasan yang tak pernah memudar meski dunia berpaling.
Cahaya yang Tak Terlukiskan
Dalam kesempatan lain, Sayyid Ali Khamenei mengungkapkan betapa mustahilnya manusia memahami sepenuhnya hakikat Sayidah Zahra:
“Tidak ada kata yang dapat melukiskan beliau. Dimensi keberadaannya yang luhur dan jiwanya yang suci melampaui batas pemahaman manusia. Beliau adalah inti pancaran kenabian dan wilayah, pancaran cahaya yang menakjubkan.”
Kemudian beliau mengutip kesaksian dari Ummul Mukminin Aisyah yang mengatakan:
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih menyerupai Rasulullah—dalam kemuliaan, wajah, sinar, akhlak, dan tutur kata—selain Fatimah.”
Kesaksian ini menegaskan bahwa Sayidah Zahra bukan sekadar putri Nabi, melainkan bayangan kenabian dalam bentuk perempuan. Bila Rasulullah adalah matahari, maka Fatimah adalah cahayanya yang menembus relung hati. Ia mewarisi bukan hanya darah ayahnya, tetapi juga seluruh keindahan jiwanya.
Teladan Bagi Seluruh Umat
Dalam pandangan Sayyid Ali Khamenei, Sayidah Zahra adalah teladan bagi semua manusia—bukan hanya bagi perempuan. Beliau berkata: “Kita terlalu kecil untuk menggambarkan kedudukan beliau. Namun dari perilakunya, kita bisa belajar bagaimana menjadi manusia sejati. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut dua perempuan sebagai teladan bagi seluruh orang beriman—istri Firaun dan Maryam binti Imran. Maka Fatimah Zahra sa adalah Siddiqat al-Kubra di antara para siddiqin dan siddiqat.”
Artinya, az-Zahra adalah contoh universal bagi siapa pun yang mencari kebenaran. Ia menunjukkan bahwa kesempurnaan manusia bukan ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kedalaman iman dan keberanian moral. Dalam dirinya berpadu kelembutan dan kekuatan, ilmu dan amal, cinta dan perjuangan.
Sayyidah Fatimah bukan hanya wanita yang berdoa di malam hari, tetapi juga suara lantang yang menegur penguasa yang zalim. Ia adalah lambang kesadaran dan perlawanan, sebagaimana ia juga simbol kasih dan kelembutan seorang ibu. Dari rumah kecilnya di Madinah, ia menyalakan api kesadaran yang terus menyala hingga kini—di setiap hati yang mencintai kebenaran.
Menjaga Cahaya di Hati
Sayyid Ali Khamenei menutup pesannya dengan seruan lembut namun dalam: syukurilah nikmat ini. Syukur karena kita mengenal Zahra, karena kita menaruh cinta kepadanya, karena kita menjadikan hidupnya sebagai pedoman dalam kegelapan zaman.
Setiap air mata yang jatuh ketika nama Zahra disebut adalah tanda kehidupan rohani. Setiap langkah yang diambil dengan kesadaran untuk menegakkan kebenaran adalah kelanjutan dari perjuangannya. Cintanya bukan nostalgia, melainkan arah.
Dan sungguh, siapa pun yang hatinya tersentuh oleh cahaya Zahra, akan menemukan kedamaian. Karena dari dirinya mengalir keindahan yang berasal dari Allah sendiri—nur yang tak akan pernah padam.
Sumber: Khamenei.ir