Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Keadilan dari Meja Makan Imam Ja‘far Ash-Shadiq as

Suatu waktu, Madinah mengalami masa-masa sulit. Tanah kering, ladang gagal panen, dan persediaan bahan pokok menipis. Harga biji-bijian naik tajam, membuat masyarakat panik. Mereka yang memiliki simpanan segera menimbunnya, khawatir hari-hari depan semakin gelap. Sementara yang miskin, yang hidup dari tangan ke mulut, terpaksa berdesak-desakan di pasar setiap hari hanya untuk mendapatkan sedikit makanan.

Dalam situasi seperti itu, masyarakat terbelah antara yang mampu mempertahankan keamanan pangan dan yang terhimpit oleh kelaparan. Namun, di tengah kepanikan itu, Imam Ja‘far Ash-Shadiq as memberikan teladan yang mengguncang logika umum dan menggugah nurani manusia.

Imam Ja‘far Ash-Shadiq as memanggil Ma‘tab, orang kepercayaannya yang bertugas mengatur kebutuhan rumah tangga beliau. Dengan tenang Imam bertanya,

“Ada berapa persediaan makanan kita?”

Ma‘tab menjawab, “Cukup banyak, wahai Imam.”

Imam kemudian berkata dengan mantap,

“Bawa ke pasar dan juallah semuanya.”

Ma‘tab heran. Ia tahu bahwa di Madinah saat itu tidak ada bahan makanan tersisa di pasar. Ia menimpali,

“Wahai Imam, di Madinah tidak ada makanan. Jika kita menjualnya, kita tidak akan bisa membeli lagi yang lain.”

Namun Imam tetap dengan pendiriannya,

“Bawa ke pasar dan juallah.”

Maka dijual lah gandum yang menjadi persediaan keluarga Imam. Setelah itu, Imam berkata kepada Ma‘tab,

“Mulai sekarang, belanjalah setiap hari seperti orang banyak. Dan siapkan makanan keluargaku separuh dari sya‘ir (gandum kualitas rendah) dan separuh dari hinthah (gandum berkualitas tinggi). Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa aku mampu memberi keluargaku makan hanya dengan hinthah saja. Namun aku ingin Allah melihat bahwa aku mengatur kehidupanku dengan cara yang baik.”

Perintah Imam Ash-Shadiq as ini sederhana, tetapi sarat makna moral dan sosial. Di tengah krisis, beliau menolak untuk hidup dalam kelebihan sementara rakyat di sekitarnya menderita. Ia tidak hanya menyeru pada kesederhanaan, tetapi juga mencontohkannya secara nyata. Ia tidak menyimpan kelebihan makanan untuk dirinya sendiri, bahkan melepaskan seluruh persediaannya agar ikut merasakan kesulitan yang dialami masyarakat umum.

Tindakan ini bukanlah bentuk populisme, melainkan ekspresi tauhid sosial: keyakinan bahwa hidup harus selaras dengan keadilan Ilahi. Bahwa kesejahteraan sejati bukanlah milik individu, melainkan milik seluruh umat yang saling berbagi.

Dengan menjual persediaannya dan membeli makanan seperti rakyat biasa, Imam as menghancurkan sekat antara “pemimpin” dan “yang dipimpin”. Ia menunjukkan bahwa tanggung jawab moral seorang pemimpin bukan sekadar memberi perintah, tetapi menjadi teladan hidup yang nyata.

Dimensi Sosial dan Spiritual

Imam Ash-Shadiq as tidak sedang mengajarkan strategi ekonomi, tetapi menanamkan kesadaran spiritual tentang tanggung jawab sosial. Ketika beliau berkata, “Aku ingin Allah melihat bahwa aku mengatur penghidupan ini dengan baik,” beliau menegaskan bahwa pengelolaan hidup sehari-hari pun adalah bagian dari ibadah.

Dalam pandangan Islam, krisis bukan alasan untuk mengabaikan nilai moral. Sebaliknya, justru di saat-saat sulit itulah nilai-nilai keimanan diuji. Menimbun makanan, memanfaatkan kelangkaan, atau menikmati kemewahan di tengah penderitaan orang lain adalah bentuk pengkhianatan terhadap ruh keadilan yang diajarkan para Imam as.

Sya‘ir dan Hinthah: Simbol Kesetaraan

Menarik bahwa Imam Ja‘far Ash-Shadiq as memilih untuk mencampur dua jenis gandum: sya‘ir (gandum rendah, sering digunakan untuk pakan hewan) dan hinthah (gandum halus berkualitas tinggi untuk roti). Pilihan ini bukan sekadar soal nutrisi, tetapi simbol bahwa dalam kehidupan sosial, yang tinggi dan rendah, yang kaya dan miskin, harus berpadu dalam satu meja kemanusiaan.

Beliau ingin agar keluarganya tidak merasakan kenyamanan yang tidak dirasakan masyarakat. Dengan memakan makanan yang sama dengan orang-orang biasa, beliau menghapus jurang pemisah antara rumahnya dan rumah rakyat kecil.

Inilah hakikat keimanan yang membumi — iman yang tidak terkurung di ruang doa, tetapi hadir di meja makan, di pasar, dan di setiap keputusan ekonomi sehari-hari.

Pelajaran untuk Zaman Kini

Jika kita memindahkan kisah ini ke zaman modern, pesan Imam Ja‘far Ash-Shadiq as tetap relevan. Dunia hari ini kembali didera krisis — harga bahan pokok naik, inflasi menggigit, dan jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Dalam situasi seperti ini, banyak orang berlomba menimbun kekayaan, memburu keuntungan di tengah penderitaan.

Namun, seorang mukmin sejati tidak akan ikut dalam arus keserakahan itu. Ia akan menata hidupnya sebagaimana Imam Ash-Shadiq as: mengatur pengeluaran dengan bijak, membantu yang membutuhkan, dan menolak hidup dalam kemewahan yang melukai nurani sosial.

Krisis adalah cermin yang memperlihatkan siapa sebenarnya kita. Ia menyingkap apakah kita hidup demi diri sendiri atau demi keadilan. Imam Ash-Shadiq as menunjukkan bahwa cara kita mengatur dapur rumah tangga pun bisa menjadi cermin tauhid atau sebaliknya — cermin egoisme.


Tauhid dalam Tindakan

Ajaran Imam Ja‘far Ash-Shadiq as menegaskan bahwa tauhid tidak berhenti pada pengakuan bahwa “tiada Tuhan selain Allah”. Tauhid sejati adalah kesatuan antara keyakinan dan tindakan. Ketika seseorang menyadari bahwa rezeki berasal dari Allah, ia tidak akan takut kehilangan. Ia tidak akan menimbun, karena ia percaya bahwa keberkahan datang dari berbagi, bukan dari menutup diri.

Sebaliknya, syirik sosial muncul ketika manusia menggantungkan keamanan pada harta dan persediaan, bukan pada Allah. Maka, tindakan Imam as menjual persediaannya bukan sekadar kedermawanan, melainkan deklarasi tauhid yang hidup: bahwa Allah-lah pengatur rezeki, bukan manusia.

Kisah ini adalah potret kecil dari kebesaran jiwa para Imam Ahlulbait as. Dari Madinah yang dilanda krisis, mereka mengajarkan kepada dunia bahwa keadilan sosial berawal dari rumah, dari sikap terhadap sesama, dari sepotong roti yang kita bagi.

Dalam dunia yang hari ini diwarnai kesenjangan ekstrem, kisah Imam Ja‘far Ash-Shadiq as bukan hanya sejarah, tetapi seruan moral: bahwa seorang mukmin sejati tidak menunggu kemakmuran untuk berbagi, tetapi berbagi justru agar kemakmuran menjadi nyata.


Dielaborasi dari buku karya Syahid Muthahhari – Kisah Orang-orang Bijak

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT