Di balik kisah para nabi, selalu tersimpan mutiara kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu. Salah satunya adalah kisah Nabi Ibrahim as, kekasih Allah, yang memberikan pelajaran mendalam tentang doa, cinta Ilahi, dan hakikat penghambaan.
Dialog di Bukit Bayt al-Maqdis
Diriwayatkan dari Imam Ja‘far Ash-Shadiq as bahwa suatu hari Nabi Ibrahim sedang berada di sebuah bukit di Bayt al-Maqdis, tempat ia menggembalakan ternaknya. Di sana, beliau bertemu dengan seorang laki-laki ahli ibadah. Terjadilah percakapan yang menyingkap hakikat doa.
Nabi Ibrahim bertanya, “Hari apakah yang paling mulia?”
Sang ahli ibadah menjawab, “Hari Pembalasan, ketika manusia saling menerima balasan atas amal mereka.”
Nabi Ibrahim berkata lagi, “Apakah engkau ingin berdoa, sementara aku mengaminkan doamu agar kita diselamatkan dari kesengsaraan di hari itu?”
Namun, ahli ibadah itu menjawab dengan getir, “Jangan harapkan doaku. Aku telah berdoa selama tiga puluh tahun, tetapi Allah belum mengabulkannya.”
Mendengar itu, Nabi Ibrahim bertanya, “Maukah aku beri tahu apa yang menahan doamu?”
“Ya,” jawabnya.
Nabi Ibrahim berkata, “Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, Dia menahan doanya agar hamba itu senantiasa bermunajat dan memohon kepada-Nya. Namun jika Dia murka kepada seorang hamba, maka Dia segera mengabulkan doanya—atau menanamkan keputusasaan di hatinya.”
Makna Cinta dalam Penundaan
Pelajaran ini mengajarkan bahwa tertahannya doa bukanlah tanda keterlambatan rahmat Allah, melainkan bentuk cinta dan perhatian-Nya. Allah ingin mendengar suara hamba-Nya yang terus berharap, karena doa itu sendiri adalah ibadah.
Imam Ja‘far as bersabda:
“Sesungguhnya hamba yang dicintai Allah, ketika berdoa memohon sesuatu, Allah berfirman kepada malaikat, ‘Penuhi hajat hamba-Ku ini, tetapi jangan segera, karena Aku ingin terus mendengar suaranya.’”
(Bihar al-Anwar, jilid 93, hal. 378)
Dengan demikian, keterlambatan bukanlah penolakan. Justru di dalamnya terdapat keindahan hubungan antara hamba dan Tuhannya. Allah menyukai suara hamba yang berdoa, sebagaimana seorang kekasih menikmati panggilan dari kekasihnya.
Rasulullah saw bersabda:
“Allah menyayangi seorang hamba yang memohonkan hajatnya kepada-Nya dan terus mengulangi doanya, baik doanya dikabulkan maupun tidak.”
(Ushul al-Kafi, jilid 4, hal. 224)
Doa: Ikatan Ruhani antara Hamba dan Tuhan
Doa bukan sekadar permintaan, melainkan jembatan yang menghubungkan jiwa manusia dengan alam ketuhanan. Dalam doa, manusia mengakui kelemahannya dan menyatakan ketergantungannya kepada Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada seorang Muslim pun yang berdoa kepada Allah kecuali akan dikabulkan doanya, baik disegerakan di dunia, diakhirkan di akhirat, atau dijadikan sebagai penghapus dosa.”
(Bihar al-Anwar, jilid 93, hal. 378)
Maka, setiap doa yang tulus akan berbuah, meski bentuknya tidak selalu sesuai harapan. Kadang ia berubah menjadi ketenangan, pengampunan, atau ujian yang mengangkat derajat ruhani kita.
Ujian: Bahasa Cinta yang Tersembunyi
Imam Ja‘far Ash-Shadiq as juga menegaskan,
“Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang derajatnya di bawah mereka. Orang Mukmin diuji sesuai kekuatan iman dan amalnya. Barang siapa imannya kuat, amalnya baik, maka cobaan baginya besar. Barang siapa imannya lemah, amalnya kurang, maka cobaan pun ringan.”
(Bihar al-Anwar, jilid 93:375)
Ujian adalah tanda perhatian, bukan hukuman. Seorang hamba yang dicintai Allah tidak dibiarkan tanpa cobaan, karena melalui ujian itu Allah menumbuhkan kesabaran, keteguhan, dan ketulusan doa.
Menghadirkan Keindahan dalam Penantian
Bila setiap doa dikabulkan seketika, maka manusia akan berhenti menjadi hamba dan mulai merasa sebagai penguasa. Maka, penantian adalah ruang bagi jiwa untuk bertumbuh. Dalam penantian itu, doa berubah menjadi seni penghambaan, dan keheningan menjadi madrasah cinta Ilahi.
Sebagaimana ungkapan bijak yang diriwayatkan dari para arif:
“Jika setiap doa hamba segera dikabulkan, maka ia bukanlah hamba lagi. Ia diperintahkan berdoa karena ia hamba, dan Allah berbuat sesuai kehendak-Nya.”
Kisah Nabi Ibrahim as bukan hanya tentang seorang nabi dan seorang ahli ibadah, melainkan tentang kita—manusia yang sering gelisah menunggu jawaban dari langit. Padahal, mungkin justru dalam penundaan itu, Allah sedang menunjukkan betapa Dia mencintai kita.
“Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.”
(QS. Ghafir [40]: 60)
Maka jangan pernah berputus asa dalam berdoa. Karena bisa jadi, bukan hasil doa yang sedang ditunggu Allah dari kita, melainkan suara hati yang terus memanggil-Nya — suara cinta seorang hamba kepada Tuhannya.
Disarikan dari buku Akibat Dosa – Sayyid Hasyim Ar-Rasuli AI-Mahallati