Dalam sejarah panjang Ahlulbait as, nama Imam Ja‘far Shadiq as memancarkan cahaya yang abadi. Beliau bukan sekadar seorang imam keenam dari garis suci keturunan Rasulullah saw, tetapi juga seorang reformis spiritual dan intelektual yang membangun fondasi kokoh bagi kebangkitan Islam yang murni. Keagungan beliau tidak hanya dikenang karena kedalaman ilmu dan keluasan akhlaknya, tetapi karena perannya dalam menyelamatkan Islam dari penyesatan dan penyimpangan yang ditanamkan oleh kekuasaan tiran pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas.
Lahir dari Rahim Kesalehan
Imam Ja‘far Shadiq as lahir di Madinah al-Munawwarah, waktu subuh tahun 17 Rabiul Awal 83 H, bertepatan dengan hari kelahiran kakek buyutnya, Rasulullah saw. Ibunda beliau adalah Ummu Farwah binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, seorang wanita yang salehah dan berilmu. Tentang ibundanya ini, Imam Shadiq berkata:
“Dia bagian dari orang-orang beriman, bertakwa, dan beramal baik; dan Allah mencintai orang-orang yang beramal baik.”
Ummu Farwah dikenal sebagai perempuan alim yang meriwayatkan banyak hadis dari suaminya, Imam Muhammad Baqir as, dan termasuk di antara sedikit perempuan yang mencapai derajat keilmuan tinggi di masa itu. Diriwayatkan oleh Abdul A‘la, “Aku melihat Ummu Farwah bertawaf mengelilingi Ka‘bah sambil menutupi dirinya dengan selimut agar orang tidak mengenalinya. Ia menyentuh Hajar Aswad dengan tangan kirinya. Seseorang menegurnya, ‘Engkau telah menyalahi sunah.’ Ia menjawab, ‘Kami tidak memerlukan ilmumu.’”
Jawaban ini mencerminkan keteguhan iman dan kecerdasan spiritual seorang perempuan mukminah yang memahami hakikat ibadah tanpa tunduk pada pandangan sempit masyarakat patriarkal kala itu. Dari rahim kesalehannyalah lahir seorang manusia yang kelak menjadi pusat cahaya ilmu dan akhlak bagi seluruh dunia Islam.
Masa Tumbuh dalam Naungan Dua Imam Agung
Imam Shadiq as tumbuh di bawah bimbingan kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin as, dan ayahnya, Imam Muhammad Baqir as, dua sosok agung yang menghidupkan kembali ruh Islam setelah tragedi Karbala. Dari mereka, beliau mewarisi bukan hanya ilmu, tetapi juga semangat kesabaran, kelembutan hati, dan keteguhan dalam menghadapi kezaliman.
Sejak usia muda, Imam Shadiq menunjukkan kecemerlangan luar biasa. Di Madinah, beliau menjadi poros ilmu pengetahuan dan tempat berkumpul para ulama, fuqaha, dan ahli hadis. Di antara murid-murid ayahnya yang menonjol kala itu terdapat nama-nama besar seperti Ibnu Juraih, Abdurrahman al-Auzai, Yahya bin Katsir, dan Muhammad bin Munkadir.
Dari dirinya terpancar kewibawaan seorang pewaris kenabian. Pandangan matanya penuh hikmah, kata-katanya menyejukkan hati, dan akhlaknya menjadi cermin dari sabda Rasulullah saw.: “Akhlak terbaik adalah akhlak keluarga Muhammad.”
Beliau hidup bersama ayahandanya selama 19 tahun. Setelah Imam Muhammad Baqir as wafat pada tahun 114 H, dengan wasiat ilahi beliau memikul amanah imamah dan menjalankan kepemimpinan spiritual selama 34 tahun, sebuah masa yang sarat tantangan, gejolak politik, dan peluang besar bagi gerakan intelektual Islam.
Menyaksikan Zaman Tirani
Imam Ja‘far Shadiq as hidup melewati masa tujuh khalifah besar Bani Umayyah — mulai dari Abdul Malik bin Marwan hingga Marwan al-Himar, penguasa terakhir dinasti itu. Beliau menyaksikan langsung bagaimana kekuasaan Umayyah dijalankan melalui pedang, racun, dan propaganda. Islam dijadikan alat legitimasi kekuasaan, dan ulama istana dipelihara untuk menjustifikasi kezaliman.
Dalam kitab ‘Uyun al-Akhbar (jilid 1, hal. 243), Ibnu Qutaibah menulis bahwa para fuqaha istana memperkuat kekuasaan dengan menyelewengkan makna-makna syariat dan mengaburkan sejarah Islam. Bagi Imam Shadiq as, inilah bahaya terbesar: penyesatan sistemik atas ajaran Islam itu sendiri.
Beliau pun menyaksikan kesyahidan orang-orang suci dari keluarga Alawi. Ayah beliau diracun hingga wafat, pamannya Zaid bin Ali gugur di medan jihad, disusul putranya Yahya bin Zaid, yang tubuhnya disalib dan abunya ditebarkan ke sungai. Tentang Zaid, Imam Shadiq berkata:
“Inna lillah wa inna ilaihi raji‘un. Aku berharap pahala dan kemuliaan di sisi Allah bagi pamanku. Dia telah pergi, demi Allah, dalam keadaan syahid sebagaimana syuhada yang syahid bersama Rasulullah, Ali, dan Husain.”
(Sayid Muhsin Amin, Zayd al-Syahid, hal. 18)
Tragedi itu menambah luka di dada Imam, namun tidak melemahkan langkahnya. Beliau memilih jalan yang lebih panjang dan mendasar: membangun kesadaran melalui ilmu, bukan pedang.
Kebangkitan dari Madrasah Ahlulbait
Ketika Bani Umayyah tumbang dan Bani Abbas naik takhta, kekuasaan berganti tetapi tirani tetap sama. Namun di tengah pergolakan itu, Imam Shadiq memanfaatkan celah politik untuk melancarkan revolusi intelektual. Di Madinah, beliau mendirikan Madrasah Ahlulbait, yang kelak dikenal sebagai universitas Islam pertama dalam sejarah.
Ratusan bahkan ribuan murid belajar di bawah bimbingan beliau — di antara mereka terdapat tokoh-tokoh besar seperti Abu Hanifah dan Malik bin Anas, dua pendiri mazhab fiqih besar Ahlussunnah yang secara terbuka mengakui keagungan Imam. Abu Hanifah berkata:
“Aku tidak pernah melihat orang yang lebih berilmu dari Ja‘far bin Muhammad.” (Tarikh Baghdad, al-Khatib al-Baghdadi, jil. 1, hal. 170)
Madrasah Imam Ja‘far Shadiq bukan sekadar lembaga keagamaan; ia adalah pusat peradaban. Di sana diajarkan tafsir, hadis, fiqih, ilmu kimia, astronomi, filsafat, bahkan kedokteran. Di bawah bimbingannya lahir ilmuwan seperti Jabir bin Hayyan, sang bapak kimia modern, yang menulis ribuan risalah berdasarkan ajaran gurunya.
Dengan pendekatan rasional dan spiritual sekaligus, Imam menegakkan Islam sebagai agama ilmu, akal, dan keadilan. Ia menolak taqlid buta dan menekankan penggunaan akal sehat sebagai alat memahami wahyu. Baginya, ilmu tanpa moral akan menyesatkan, dan agama tanpa akal akan membeku.
Akhlaq yang Menghidupkan Umat
Imam Ja‘far Shadiq as bukan hanya guru bagi para ulama, tetapi juga pembimbing masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Beliau mendorong kaum miskin agar bekerja dengan tangan mereka sendiri dan menjaga harga diri dari meminta-minta. Dalam salah satu nasihatnya kepada muridnya, Syu‘aib, beliau berkata:
“Hai Syu‘aib, berbuat baiklah kepada dirimu sendiri, sambunglah silaturahmi dengan kerabatmu, dan janganlah engkau memonopoli sesuatu dengan mengatakan, ‘Ini hanya untukku dan keluargaku.’ Sesungguhnya yang menciptakan mereka juga yang memberi rezeki kepada mereka.”
(Manaqib Ibnu Syahrasyub, jil. 4, hal. 243)
Beliau juga menanamkan prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab ulama terhadap umat. Dalam Al-Kafi (jil. 8, hal. 162), beliau menegur para ulama yang diam terhadap kemungkaran:
“Kalianlah para ulama yang menanggung dosa-dosa orang bodoh kalian. Apa yang mencegah kalian untuk menasihati dan menegur mereka yang berbuat salah di tengah kalian?”
Imam mengajarkan agar konflik diselesaikan dengan moral, bukan dengan menyeret perkara ke pengadilan zalim. Beliau menegaskan:
“Siapa pun yang bersengketa dengan saudaranya, lalu enggan kecuali berhukum kepada penguasa taghut, maka dia sama kedudukannya dengan orang yang disebut dalam firman Allah:
‘Tidakkah engkau melihat orang-orang yang mengaku beriman kepada wahyu yang diturunkan kepadamu dan sebelum kamu, tetapi mereka ingin berhukum kepada taghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya.’ (QS. al-Nisa: 60)”
(Al-Kafi, jil. 7, hal. 114, hadis ke-2)
Etika sosial Imam Shadiq bukan sekadar teori; ia adalah revolusi moral. Ia ingin membangun masyarakat yang berakhlak, mandiri, saling menasihati, dan bebas dari ketergantungan pada kekuasaan yang zalim.
Wafat dan Warisan Abadi
Ketika pengaruhnya semakin luas, Khalifah Abbasiyah al-Manshur al-Dawaniqi mulai khawatir. Ia memerintahkan agen-agen rahasianya untuk membunuh Imam dengan racun. Imam pun wafat syahid di Madinah pada tahun 148 H, dalam usia 65 tahun, dan dimakamkan di Baqi‘, di samping ayah dan leluhur sucinya. (Bihar al-Anwar, jil. 47, hal. 3; Al-Irsyad, jil. 2, hal. 188)
Namun wafatnya tidak memadamkan cahaya yang telah beliau nyalakan. Melalui madrasah dan ajarannya, beliau menanamkan akar-akar Islam yang rasional, berkeadilan, dan berperikemanusiaan. Dari beliau lahir generasi ulama dan pejuang yang membawa semangat Ahlulbait ke seluruh penjuru dunia.
Imam Malik bin Anas, yang pernah berguru kepadanya, berkata penuh hormat:
“Aku sering datang menemui Ja‘far bin Muhammad. Setiap kali aku menemuinya, aku mendapati dia dalam satu dari tiga keadaan: sedang shalat, berpuasa, atau membaca Al-Qur’an. Aku tidak melihat orang yang lebih takut kepada Allah darinya.” (Tarikh Baghdad, jil. 1, hal. 170)
Wangi yang Tak Pernah Hilang
Imam Ja‘far Shadiq as adalah perpaduan sempurna antara ilmu dan akhlak, antara nalar dan cinta. Dari tangan sucinya lahir universitas Islam pertama, dari lisannya terpancar hikmah abadi, dan dari perilakunya tercium keharuman kemanusiaan yang tak lekang oleh waktu.
Dalam dunia yang terus bergejolak oleh fitnah dan kebodohan, pesan beliau masih menggema: “Bangunlah peradaban dengan ilmu dan akhlak, bukan dengan pedang dan propaganda.”
Dan selama cahaya keimanan masih berdenyut di dada kaum mukminin, keharuman perilaku dan kecemerlangan sejarah Imam Ja‘far Shadiq as akan terus menjadi taman keabadian dalam sejarah Islam dan kemanusiaan.
*Disadur dari buku Universitas Imam Ja’far Shadiq dan pengaruhnya terhadap Mazhab Lain karya Assad Haidar