Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Al-Qur’an dan ‘Itrah Ahlulbait: Dua Pusaka yang Tak Terpisahkan

Di sepanjang sejarah Islam, dua pusaka agung selalu menjadi landasan keselamatan umat: Al-Qur’an dan Al-‘Itrah, keturunan suci Rasulullah saw. Keduanya, sebagaimana ditegaskan Nabi dalam hadis al-Tsaqalain, adalah satu kesatuan cahaya. Bila salah satunya terasing, yang lain pun ikut terasing; bila salah satunya ditinggikan, yang lain pun ikut terangkat. Kesatuan ini bukan sekadar simbolis—ia adalah realitas paling mendasar dalam arsitektur ruhani dan sosial Islam.

Sejak awal, Ahlulbait mengajarkan bahwa hamasah (semangat juang) dan ‘irfan (pengetahuan mendalam tentang Allah) juga merupakan dua sisi dari satu kebenaran. Tak ada perjuangan tanpa pengetahuan; dan tak ada pengetahuan tanpa keberanian mempertahankannya. Karena itu, penyingkiran Ahlulbait dari panggung umat selalu berbarengan dengan marginalisasi Al-Qur’an sebagai pedoman revolusioner umat.

Kaum Umawiyin Mengasingkan Dua Wasiat Nabi

Sejarah menunjukkan bahwa kaum pertama yang menyingkirkan kedua pusaka ini adalah Bani Umayyah. Amirul Mukminin Ali as menggambarkan mereka dengan jelas: “Mereka menampakkan Islam tetapi memendam kekufuran.” (Nahj al-Balaghah, khutbah 16)

Hingga Fathu Makkah, mereka memusuhi Islam secara terang-terangan. Setelah tidak mampu melawan Nabi secara fisik, mereka menyimpan niat buruk di balik layar dan menjalankan agenda jahiliah dengan wajah baru. Kekuasaan menjadi sarana mereka membangkitkan kembali tradisi kesukuan, perebutan harta, kekuasaan, dan kemewahan—semuanya dibungkus dengan nama agama.

Di bawah dominasi politik mereka, Al-Qur’an dijadikan ornamen, bukan petunjuk hidup. Ahlulbait dipinggirkan, bahkan diputus dari umat. Penindasan terhadap keluarga Nabi mencapai puncaknya pada tragedi Karbala tahun 61 H, ketika Imam Husain, putera Rasul, bersama keluarganya dibantai demi mempertahankan kemurnian Islam.

Mengapa Imam Husain Harus Bangkit?

Sebagian orang bertanya: mengapa Imam Ali as tidak bangkit seperti Imam Husain? Mengapa yang satu memilih bersabar, sementara yang lain memilih berkorban dengan darah?

Jawabannya tegas: keduanya adalah satu cahaya. Perbedaan tindakan bukan perbedaan keberanian, melainkan perbedaan kondisi sosial–politik. Imam Ali pernah berkata: “Aku syahid sendirian, sementara Ahlulbaitku masih hidup; aku enggan menyeret mereka kepada kesyahidan yang tidak membawa manfaat bagi agama.”

Pada masa Imam Ali, kaum munafik telah mengakar kuat dalam struktur kekuasaan. Seandainya seluruh Ahlulbait gugur saat itu, tidak akan tersisa apa pun yang dapat membangkitkan kembali cahaya Islam. Sementara pada masa Imam Husain, umat berada di titik kritis: Al-Qur’an dikubur, sunnah Nabi dipalsukan, dan tirani menjelma sebagai agama resmi negara. Kebangkitan Husain bukan pilihan emosional, tetapi hasil analisis jernih terhadap kondisi bangsa, sebagaimana beliau katakan: “Aku telah meneliti keadaan umat, luar dan dalamnya, dan aku tidak melihat jalan lain kecuali bangkit bersama keluargaku.”

Karbala menjadi terapi terakhir bagi umat yang sekarat.

Kaum Munafik: Luka yang Menganga Sejak Awal Islam

Bani Umayyah bukan fenomena baru. Mereka adalah kelanjutan dari kaum munafik yang telah menghantui umat sejak zaman Rasulullah. Pada perang Uhud, 300 orang munafik kembali ke Madinah dan meninggalkan Nabi di medan perang. Pada malam al-Aqabah, mereka berusaha membunuh Nabi dalam perjalanan pulang dari Tabuk. Pada peristiwa Ifk, mereka melemparkan tuduhan keji terhadap kehormatan keluarga Nabi untuk mengoyak stabilitas sosial umat. Al-Qur’an menyingkapkan penyakit mereka sebagai “penyakit dalam hati” yang membuat mereka selalu mencari dukungan musuh-musuh Islam (QS. al-Maidah: 52).

Mereka adalah jaringan politik yang lihai, bersandiwara di depan kaum muslimin, tetapi bersekongkol dengan kaum musyrik, Yahudi, dan Nasrani. Setelah Rasulullah wafat, kelompok ini tidak hilang—mereka justru menguat, memegang kendali politik, dan membuka jalan bagi dominasi Bani Umayyah.

Bagaimana Mu’awiyah Membangun Imperiumnya?

Pertanyaan besar sejarah: bagaimana mungkin Mu’awiyah mendapat kekuasaan selama 40 tahun, baik sebagai gubernur maupun khalifah?

Jawabannya: rekayasa politik sistematis.

Ia memilih Syam karena di sanalah tersedia:

  1. dukungan militer yang besar,
  2. hubungan strategis dengan Romawi,
  3. basis masyarakat yang jauh dari pusat ilmu Madinah,
  4. kesiapan menerima propaganda jahiliah model baru.

Sementara Madinah adalah kota ilmu, Syam menjadi laboratorium kultur kekuasaan. Dari sana, Bani Umayyah membangun kekuatan politik, militer, dan propaganda, hingga mampu mengalahkan kekuatan moral yang dibangun Imam Ali.

Mengapa Ahlulbait Menekankan Pendidikan?

Umat yang tidak berilmu mudah dibodohi, dan inilah modal terbesar kekuasaan zalim. Karena itu Ahlulbait menjadikan pendidikan sebagai landasan perlawanan. Hisyam bin Abdul Malik—khalifah Umawi—sangat takut rakyat Syam mengenal Imam Baqir as. Ia memuji beliau sebagai “Baqir al-‘Ulum”, tetapi ketika rakyat mulai haus ilmu, ia segera mengusir Imam.

Rezim Umawi ingin umat tetap buta, sebab kebodohan adalah benteng terakhir tirani. Di sinilah kebangkitan Imam Husain memainkan peran: Karbala membuka mata umat, memunculkan gelombang keilmuan yang pada akhirnya mengalir hingga ke Iran dan melahirkan generasi ulama besar, termasuk Imam Khomeini yang menyalakan Revolusi Islam.

Politik Sebagai Fardhu ‘Ain

Dalam pandangan Ahlulbait, memahami politik bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban agama. Imam Ali berkata bahwa kaum munafik tidak pernah hilang; mereka selalu lahir dari sulbi lelaki dan rahim wanita. Mereka berulang kali muncul, dan umat harus selalu waspada. Karena itu, mengenali tipu daya politik, tidak tertipu propaganda, dan tidak menipu umat adalah kewajiban seperti shalat.

Ketika umat tidak memahami politik, maka meskipun Imam Ali memimpin negara, Bani Umayyah tetap dapat merebut kekuasaan. Kebodohan adalah pintu kelemahan terbesar umat.

Mengapa Imam Ali Pindah ke Kufah?

Imam Ali tidak menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahannya bukan karena meremehkan kota Rasulullah. Beliau pindah ke Kufah karena ingin berada lebih dekat dengan Syam—sumber kekuatan Umawi—dan agar lebih mudah menggerakkan umat. Kufah merupakan titik strategis untuk menghadapi invasi politik Umawi dan menyampaikan ajaran Islam yang murni.

Namun Bani Umayyah memutus jalur keilmuan antara Syam dan Madinah, menutup akses umat ke pusat cahaya pengetahuan.

Karbala: Manifestasi Kesatuan Al-Qur’an dan Al-‘Itrah

Imam Husain bukan hanya melakukan perlawanan bersenjata. Kebangkitan beliau adalah deklarasi bahwa memisahkan Al-Qur’an dari penjaganya adalah kejahatan terbesar dalam sejarah. Ketika Yazid menginjakkan sepatu di atas kehormatan syariat, al-Husain menegakkan kembali hubungan suci antara Kitab dan keluarga Nabi.

Karbala adalah pelajaran abadi bahwa agama tak boleh tunduk pada tirani. Bahwa Al-Qur’an bukanlah dekorasi rezim, tetapi pedang cahaya yang harus dijaga oleh pewarisnya.


Sejarah sejak masa Rasulullah hingga Karbala menunjukkan bahwa kaum zalim berulang kali berusaha memisahkan Al-Qur’an dari Ahlulbait. Namun setiap kali cahaya itu hendak dipadamkan, pengorbanan Ahlulbait kembali menyalakannya.

Al-Qur’an dan Al-‘Itrah adalah dua pusaka yang tidak akan pernah berpisah. Umat hanya akan selamat bila kembali berpegang teguh pada keduanya. Karbala mengajarkan kepada kita bahwa menjaga kedua amanat itu bukan tugas generasi terdahulu; itu tugas kita semua, hari ini dan seterusnya.


Disarikan dari buku Jejak Ruhani – Ayatullah Jawad Amuli

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT