Angin malam Madinah berhembus pelan, membawa aroma tanah yang baru saja disapu senja. Di ujung kota, pada sebuah rumah kecil yang pintunya mulai rapuh, lampu minyak masih menyala. Cahaya itu bergetar pelan, seakan hendak padam namun menolak menyerah. Di dalam rumah itu, Sayidah Fatimah az-Zahra as berbaring dengan wajah pucat, tetapi sorot matanya tetap seperti cahaya yang sulit padam.
Ali Syariati pernah menyebut Sayidah Fatimah sebagai “suara kesunyian yang menggugat.” Malam itu, kesunyian itu menggema, bukan dalam pekikan, tetapi dalam helaan napas yang pendek, bening, dan penuh keberanian.
Rumah yang Menjadi Poros Semesta
Di samping pembaringan itu, Imam Ali duduk dengan kepala tertunduk. Tangan kekarnya yang selama ini memegang pedang, kini bergetar ketika menyentuh jemari istrinya. Putranya, Hasan dan Husain duduk di sudut ruangan, saling merapat seperti dua burung kecil di sarang yang kehilangan kehangatan. Zainab berdiri di dekat pintu, menahan tangis yang sejak sore ia tahan.
Rumah itu sangat kecil. Tapi menurut Syariati, “di rumah yang kecil itulah semesta pernah ditolong.” Karena dari rumah itulah cahaya kesederhanaan, perjuangan, dan kebenaran lahir.
Malam itu, rumah kecil itu kembali menjadi pusat sejarah — bukan karena keramaian, tetapi karena kesunyian yang akan melahirkan wasiat.
Cahaya yang Meredup
Sayidah Fatimah membuka mata. “Ali,” panggilnya pelan. Suaranya serupa bisikan daun yang hendak rontok.
Imam Ali mendekat.
“Ya, wahai sayidati.”
“Aku tidak ingin anak-anak mendekat dulu,” katanya lembut.
“Ada hal yang ingin kusampaikan kepadamu—bukan tentang luka, bukan tentang diriku. Tapi tentang jalan setelah aku tiada.”
Di sinilah, menurut Syariati, letak keagungan Sayidah Fatimah: bahkan di ambang wafat, ia tidak berbicara tentang dirinya, tetapi tentang amanah sejarah.
Imam Ali mengangguk, menahan isak yang tak pernah ia tunjukkan bahkan di medan perang.
“Ali…,” katanya lagi, “aku akan pergi. Aku tahu. Dan engkau juga tahu.”
Imam Ali diam. Air mata jatuh ke punggung tangan Fatimah.
“Tapi dengarlah wasiatku,” lanjutnya, “karena inilah satu-satunya bagian dari diriku yang akan tertinggal di dunia.”
Wasiat Pertama: Tentang Anak-Anak
Sayidah Fatimah menarik napas, seperti memanggil kekuatan terakhir dari langit.
“Ali… jagalah Hasan dan Husain. Mereka bukan sekadar anak kita. Mereka adalah cahaya Nabi, amanah terakhir yang beliau titipkan kepadaku.”
Suara Sayidah Fatimah bergetar.
“Aku ingin mereka tumbuh bukan sebagai pewaris rumah kita, tetapi pewaris kebenaran.”
Syariati menulis bahwa dalam kata-kata terakhir Fatimah, tampak kedalaman visi sejarahnya: ia melihat jauh ke masa depan, melihat Karbala walau belum terjadi, melihat penderitaan Hasan meski belum tiba.
“Bimbing mereka untuk mencintai kebenaran meski dunia memusuhinya,” ujarnya.
“Ajarkan kepada mereka bahwa kehormatan tidak dibangun dengan kekuasaan, tetapi dengan keberanian untuk tetap jujur.”
Imam Ali menunduk lebih dalam. Ia tahu, amanah itu lebih berat dari perang manapun yang pernah ia hadapi.
Wasiat Kedua: Tentang Zainab
Fatimah menatap putrinya yang berdiri dekat pintu. Senyum kecil muncul di bibirnya.
“Ali… Zainab adalah bagian dari jiwaku.”
Air mata Zainab pecah untuk pertama kalinya.
“Tolong, jangan biarkan dia hidup tanpa tujuan. Ajarkan dia untuk berdiri ketika dunia runtuh. Ajarkan dia untuk menjadi suara ketika semua suara dibungkam.”
Sayidah Fatimah tahu — dan Syariati sering menekankan — bahwa Zainab adalah warisan batinnya. Di pundak putri itulah sebagian besar tragedi Ahlulbait akan ditopang.
“Zainab akan membutuhkanmu lebih dari siapa pun,” katanya lirih. “Bimbing dia… karena suatu hari nanti, seluruh dunia akan bergantung pada keberaniannya.”
Wasiat Ketiga: Tentang Dirinya
Fatimah menutup mata sebentar, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. Ketika ia membukanya kembali, sorot matanya tenang.
“Ali… aku ingin sesuatu darimu, tapi mungkin inilah bagian tersulit.”
Imam Ali mendekat. Suaranya serak ketika berkata, “Perintahkan apa saja, wahai cahaya Rasulullah.”
“Aku ingin engkau menguburkan aku… di malam hari.”
Imam Ali terkejut. “Mengapa? Madinah mencintaimu. Mereka akan berduka.”
Sayidah Fatimah menggeleng pelan.
“Ada yang mencintaiku, tapi ada juga yang menyakitiku. Aku tidak ingin mereka yang menzalimi rumah ini berdiri di atas pusaraku.”
Suasana ruangan berubah hening. Inilah wasiat yang paling agung — dan paling menyayat.
“Jangan biarkan mereka hadir di pemakamanku. Jangan biarkan mereka mengklaim cinta yang tidak pernah mereka tunjukkan. Kuburkan aku diam-diam… seperti benih yang ditanam dalam keheningan.”
Menurut Syariati, itulah bentuk protes paling sunyi dalam sejarah. Tidak dengan suara, tidak dengan senjata, tidak dengan marah—tetapi dengan kepergian yang penuh kesadaran.
Sayidah Fatimah melanjutkan, “Jika mereka bertanya, biarkan mereka mencari. Biarkan sejarah yang berbicara.”
Imam Ali menggigit bibirnya untuk menahan tangis.
“Aku juga ingin kau tidak menangis di dekat kuburanku, wahai Ali. Bukan karena aku tidak ingin engkau sedih, tetapi karena aku ingin engkau tetap tegar. Umat ini masih membutuhkanku dalam bentuk lain—dalam bentuk kenangan, dalam bentuk pelajaran, dalam bentuk amanah yang harus engkau jaga.”
Wasiat Terakhir: Tentang Masa Depan
Sayidah Fatimah memandang langit-langit rumah yang ia cintai — rumah kecil yang menjadi saksi kasih, perjuangan, dan luka.
“Ali, setelah aku tidak ada… jangan tinggalkan jalan ayahku. Jangan tinggalkan orang-orang lemah yang membutuhkanmu. Jangan biarkan kekuasaan membuatmu diam.”
Tangannya meraih tangan Ali.
“Kau akan hidup lama setelah aku pergi. Dan kau akan menyaksikan banyak hal yang membuatmu ingin membalas. Tetapi demi Allah, aku memohon… jangan biarkan kebencian menghitamkan hatimu.”
Lalu dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata:
“Jadilah Ali yang kucintai—bukan Ali yang disakiti sejarah.”
Syariati menulis bahwa kalimat seperti itu hanya mungkin keluar dari jiwa yang telah “menyatu dengan langit, namun tetap mencintai bumi.”
Kepergian yang Tidak Pergi
Sesudah wasiat itu, Sayidah Fatimah memanggil anak-anaknya. Ia mencium kepala Hasan dan Husain satu per satu. Ia memeluk Zainab erat, seakan menitipkan seluruh cahaya dirinya kepada putri itu.
Dan ketika semua orang menunduk dalam tangis, Sayidah Fatimah tersenyum kecil — senyum yang menenangkan, senyum yang tidak terasa seperti perpisahan.
“Ali… matikan lampu,” katanya.
Ali mematikan lampu minyak.
Kegelapan turun, namun ruangan itu seperti tetap bercahaya.
Dalam gelap itulah, Sayidah Fatimah kembali kepada Rabb-nya — tenang, lembut, dan agung.
Penutup
Dalam pandangan Ali Syariati, wasiat-wasiat terakhir Fatimah bukan hanya pesan keluarga, tetapi deklarasi moral, protes keadilan, dan peta jalan sejarah umat.
Sayidah Fatimah tidak pergi dengan ratapan.
Tidak pergi dengan kemarahan.
Ia pergi dengan kesadaran sejarah, meninggalkan pesan yang hingga kini tetap menyala:
Bahwa kebenaran harus dijaga, anak-anak harus dididik dengan nilai, dan ketidakadilan harus dilawan — bahkan dengan kepergian yang sunyi.