Oleh: Allahkaram Moshtaghi, Diplomat Iran
Khamenei.ir – Konsep “Israel Raya” (Greater Israel) kini bukan sekadar keyakinan religius atau slogan ideologis para ultra-Zionis dalam kampanye politik mereka. Ia telah berubah menjadi proyek geopolitik yang nyata. Sifatnya yang ekspansionis, rasis, dan berwatak penjajahan mengancam keamanan, kedaulatan, serta struktur sosial-politik dunia Arab dan masyarakat Muslim. Jika dimensi proyek ini dibongkar secara menyeluruh, ia akan menyingkap tabir hakikat Zionisme dan konspirasi peradaban Barat terhadap masa depan kawasan dan dunia Islam.
Tak heran jika para pemimpin rezim Zionis terus berupaya membungkus rencana “Israel Raya” dengan istilah-istilah baru yang tampak legal dan modern: tatanan regional baru, Timur Tengah Baru, normalisasi, dan sejenisnya. Padahal semuanya hanya varian bahasa dari proyek kolonial yang sama.
Akar Historis: Lahirnya Gagasan Israel Raya dalam Era Modern
Gagasan tentang Israel Raya telah dibahas dalam literatur Zionis sejak awal abad ke-20. Setelah pendudukan Palestina, konsep ini mengambil bentuk operasional. Istilah seperti The Promised Land, Eretz Yisrael, dan The Holy Land menjadi kerangka retoris yang di kemudian hari dipolitisasi.
Setelah perang enam hari (1967), yang membuat Israel menduduki Suriah, Mesir, Lebanon, serta Tepi Barat dan Gaza, kelompok-kelompok Zionis religius menjadikan istilah “Israel Raya” sebagai dasar teologis untuk mempertahankan wilayah rampasan. Ideologi ini kemudian diserap ke dalam politik sayap kanan, terutama Likud.
Pada masa kini, pembangunan permukiman ilegal menjadi “jantung” proyek Israel Raya—lebih merupakan simbol ideologis daripada sekadar program permukiman. Selama bertahun-tahun, negara-negara Arab keliru melihat isu ini sebagai bagian dari konflik Israel–Palestina semata, bukan ancaman langsung terhadap eksistensi mereka. Namun setelah operasi Badai Al-Aqsa, tabir itu mulai tersingkap.
Yordania: Dari “Tanah Pengganti Palestina” ke Mata Rantai Tengah Proyek Israel Raya
Bagi perintis pendudukan Palestina, Yordania pernah dianggap sebagai tempat ideal untuk “membuang” para pengungsi Palestina—bahkan disebut sebagai lokasi “solusi final” terhadap masalah Palestina. Penguasaan Israel atas sumber air dan tekanan keamanan di Lembah Yordan digunakan untuk memperluas pengaruh.
Dalam literatur Zionis ekstrem, sisi timur Sungai Yordan, termasuk wilayah kuno Edom, Moab, dan Amon, dianggap sebagai bagian dari tanah yang harus kembali kepada Israel. Meski ada perjanjian damai 1994, Zionis memandang Sungai Yordan hanya sebagai perbatasan sementara.
Kontrol atas Yordania akan melengkapi jaringan pengaruh geopolitik yang memungkinkan beroperasinya konsep Israel Raya dari pusat kawasan.
Mesir: Mengalirnya Sungai Nil ke Penggilingan Tel Aviv
Selama puluhan tahun, Mesir adalah ancaman militer terbesar bagi Israel serta pemimpin front Arab anti-Zionis. Meski Sinai dikembalikan melalui Camp David (1978), interaksi tiga pihak—Mesir, AS, dan Israel—secara perlahan melemahkan posisi strategis Kairo.
AS dan Israel berusaha memastikan Mesir tetap lemah secara militer dan ekonomi, agar tidak pernah kembali menjadi kekuatan otonom yang menentang Zionisme. Sentimen rakyat Mesir pun tetap anti-Israel; mereka memandang Israel sebagai penjajah dan perdamaian sebagai sesuatu yang dipaksakan.
Kini, bahkan Sungai Nil—simbol peradaban Mesir—ditempatkan Israel dalam peta-peta “Israel Raya” yang dicetak pada seragam prajuritnya.
Suriah: Dari Buaian Perlawanan ke Sasaran Ambisi Zionis
Suriah, bersama Mesir, adalah pusat nasionalisme Arab dan penentangan terhadap Zionisme. Pasca naiknya keluarga Assad, Suriah menjadi benteng pembela Palestina dan sekutu utama poros perlawanan, termasuk Iran dan kelompok-kelompok muqawamah.
Karena itu, Israel menganggap Suriah bukan sekadar musuh geografis, tetapi pusat ideologis perlawanan. Serangan militer, dukungan terhadap fragmentasi Suriah, dan eksploitasi perang saudara semuanya diarahkan untuk menguras, melemahkan, dan mengosongkan Suriah dari dalam.
Meski Golan dianeksasi sepihak pada 1981, dalam perkembangan terbaru terbukti bahwa ambisi Israel tak berhenti di Golan. Suriah yang lemah, terpecah, dan krisis akan menjadi “kartu truf” bagi realisasi Israel Raya.
“Timur Tengah Baru” dan “Israel Raya”: Dua Nama untuk Satu Proyek
Istilah seperti normalisasi atau Timur Tengah Baru tampak menjanjikan: kerja sama ekonomi, investasi, teknologi, integrasi regional. Namun sejarah menunjukkan bahwa istilah-istilah itu hanyalah bungkusan manis untuk memuluskan proyek kolonial yang sesungguhnya: Israel Raya.
Tujuan akhirnya bukan hanya menekan aktor perlawanan, tetapi menghancurkan kemandirian politik, ekonomi, dan budaya dunia Arab dan Islam. Para perancang proyek ini berupaya:
- menciptakan ketergantungan ekonomi–energi,
- memperluas permukiman dan aneksasi simbolik,
- mengeksploitasi krisis internal dan memicu separatisme,
- membuat perjanjian militer yang melumpuhkan kapasitas keamanan negara-negara Muslim.
Normalisasi adalah pintu masuk kolonialisme baru—bukan jembatan perdamaian.
Empat Pilar Menghadang Proyek Israel Raya
Untuk membendung proyek ekspansionis ini dan menegakkan kedaulatan kawasan, empat pilar harus diperkuat secara bersamaan:
a. Resistensi (Perlawanan)
Operasi Badai Al-Aqsa memperluas makna resistensi: tidak hanya bersenjata, tetapi juga politik, media, budaya, dan hukum internasional. Zionis telah membuktikan bahwa satu-satunya bahasa yang mereka pahami adalah bahasa ketegasan dan ketahanan.
b. Persatuan
Kolonialisme modern bekerja melalui fitnah, pecah-belah, dan polarisasi. Bahkan langkah-langkah kecil menuju konvergensi politik, ekonomi, dan keamanan antarnegara Muslim dapat menghalangi fragmentasi kawasan.
c. Kesadaran
Narasi Barat tentang Timur Tengah Baru berfungsi sebagai fondasi ideologis bagi proyek Israel Raya. Karena itu, “perang narasi” menjadi sangat penting: membuka kedok normalisasi, mengingatkan kembali sejarah kolonialisme, dan menawarkan narasi Islam tentang kemajuan dan keadilan.
d. Peradaban Islam Baru
Konsep ini adalah alternatif Islam terhadap proyek New Middle East. Negara-negara Muslim harus membangun jalannya sendiri menuju kemajuan, sains, teknologi, keadilan, dan keamanan berdasarkan nilai-nilai Islam dan identitas historis mereka.
Peradaban Islam Baru bukan hanya jawaban terhadap dominasi intelektual, tetapi juga pembangun kekuatan lunak kawasan—yang mendorong integrasi, solidaritas, dan kemandirian umat.