Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Islam sebagai Jalan Hidup: Harmonisasi Dunia, Akal, dan Ketundukan kepada Allah

Setiap agama hadir membawa ciri khas dan tanda-tanda pokok yang membedakannya dari risalah lain. Keragaman ajaran yang tersebar di tengah peradaban manusia adalah buah dari perbedaan cara pandang, metode memahami realitas, serta fondasi pemikiran yang menopang setiap sistem kepercayaan. Di antara keragaman tersebut, Islam tampil dengan seperangkat karakteristik mendasar yang membentuk ruh ajarannya dan mengarahkan keseluruhan bangunan kehidupan manusia. Tanda-tanda pokok ini bukan hanya konsep abstrak, tetapi prinsip hidup yang menentukan sikap, orientasi, dan cara manusia memahami dirinya, dunia, serta Tuhannya.

Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir Sadr, dalam Syahadat Kedua, merangkum tanda-tanda penting ajaran Islam ke dalam tiga fondasi: pandangan spiritual terhadap alam, metode rasional dalam berpikir, dan tolok ukur praktis yang menyeluruh dalam kehidupan. Ketiganya bukan sekadar teori, tetapi formula Ilahi yang menyatukan dimensi materi dan ruh, akal dan wahyu, manusia dan Tuhan.

1. Pandangan Spiritual yang Utuh

Fondasi pertama Islam adalah cara pandangnya terhadap kehidupan dan alam. Islam memandang realitas sebagai perpaduan harmonis antara aspek materi dan aspek rohani. Ia tidak menafikan nilai materi, tetapi juga tidak menempatkan materi sebagai satu-satunya dimensi eksistensi. Spiritualitas dalam Islam bukan pelarian dari dunia, melainkan cara memandang dunia melalui hubungan mendasarnya dengan Allah Swt.

Dalam perspektif ini, seluruh alam dipahami sebagai cerminan kuasa dan hikmah Ilahi. Hubungan antara ciptaan dan Pencipta adalah hubungan yang menembus seluruh dimensi keberadaan: materi, energi, kehidupan, hukum-hukum alam, dan bahkan gerak sejarah. Setiap detik kehidupan dan setiap struktur alam—betapapun bersifat fisik—pada hakikatnya memiliki akar spiritual karena semuanya bersandar kepada sebab pertama: Allah Swt.

Pandangan spiritual seperti ini tidak berhenti pada wacana metafisik. Ia memiliki dampak langsung pada cara manusia menjalani hidup. Ketika seseorang memandang dunia sebagai arena perjumpaan dengan kehendak Allah, maka orientasinya berubah. Ia tidak lagi memisahkan antara ‘dunia’ dan ‘agama’, antara ‘materi’ dan ‘makna’. Sebab, seluruh aktivitasnya—makan, bekerja, berpikir, bahkan berjuang—mengalami perubahan nilai ketika dikaitkan dengan Allah Swt.

Dengan demikian, spiritualitas dalam Islam adalah kesadaran hidup yang memancarkan hubungan mendalam antara manusia dengan Sang Pencipta, sebuah kesadaran yang mengubah bagaimana ia menilai pengalaman, menempatkan dirinya dalam alam, serta menentukan arah tindakan-tindakannya.

2. Metode Rasional dalam Pemikiran

Ciri kedua ajaran Islam adalah komitmen terhadap rasionalitas. Dalam sejarah filsafat, manusia memiliki dua kecenderungan besar: rasionalisme dan eksperimentalisme. Kaum rasionalis menjadikan akal sebagai hakim mutlak dalam menilai kebenaran. Kaum eksperimentalis, sebagai reaksi terhadap sikap tersebut, menyingkirkan akal dan mengandalkan eksperimen sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.

Kedua kelompok ini mengalami keterbatasan mendasar. Kaum rasionalis menganggap akal mampu menyelesaikan seluruh persoalan tanpa bantuan pengalaman empiris. Akibatnya, mereka jatuh pada spekulasi yang tidak teruji, termasuk pandangan tentang hakikat alam yang tidak memiliki pijakan eksperimen. Mereka memaksakan akal bekerja pada ranah yang bukan domainnya.

Di sisi lain, kaum eksperimentalis terpesona oleh keberhasilan metode ilmiah hingga menafikan peran akal. Mereka tidak lagi melihat ruang bagi makna-makna di luar materi, sehingga dimensi spiritual dan nilai-nilai yang tidak bisa diuji secara empiris dianggap tidak nyata.

Islam mengambil posisi yang proporsional dan adil di antara dua ekstrem tersebut. Ia memberi tempat kepada akal sebagai hakim dan standar kebenaran, tetapi tidak memisahkan akal dari pengalaman empiris. Islam mengarahkan manusia untuk mengamati alam, menyelidikinya melalui indra dan eksperimen, lalu menyerahkan hasil observasi itu kepada akal untuk disusun, ditimbang, dan dirumuskan hingga menghasilkan kesimpulan yang kokoh.

Alquran menegaskan prinsip ini:

“Tidakkah mereka berjalan di muka bumi sehingga mereka memiliki hati yang mengerti.”
(QS. al-Hajj: 46)

Ayat ini menggabungkan antara perjalanan—yang merupakan simbol observasi empiris—dengan pemahaman hati, yaitu akal. Dengan kata lain, Islam menolak pemisahan antara rasio dan pengalaman. Ia mengajarkan bahwa keduanya harus berjalan seiring: indra menyingkap data, dan akal mengolah serta menimbangnya.

Pendekatan ini bukan hanya memberikan jalan tengah, tetapi menyediakan fondasi metodologis yang selaras dengan kebutuhan manusia. Eksperimen penting, tetapi konklusinya harus disempurnakan oleh akal. Akal penting, tetapi ia membutuhkan data empiris untuk bergerak secara proporsional. Melalui harmonisasi inilah Islam mengarahkan manusia menuju pemahaman yang benar, sehat, dan komprehensif.

3. Tolok Ukur Praktis yang Menyeluruh

Ciri ketiga yang membedakan Islam dari risalah lain adalah adanya tolok ukur praktis yang jelas dan menyeluruh bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Jika manusia diikat dengan Sang Pencipta yang memberi kehidupan, maka seluruh aktivitasnya perlu diarahkan kepada keridaan-Nya.

Alquran menegaskan prinsip ini:

“Dan ikutilah ridha Allah, dan Allah memiliki keutamaan yang besar.”
(QS. Ali Imran: 174)

Keridaan Allah menjadi standar tertinggi dalam seluruh tindakan manusia: politik, ekonomi, moral, dan sosial. Standar ini tidak berubah-ubah, tidak dipengaruhi hawa nafsu, tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Berbeda dengan standar moral buatan manusia—seperti utilitarianisme, kenikmatan, manfaat, atau relativisme moral—yang sering menimbulkan kontradiksi, tolok ukur Ilahi tetap stabil.

Ketika standar moral hanya didasarkan pada kenikmatan atau manfaat, manusia mudah tergelincir pada egoisme, konflik kepentingan, dan persaingan destruktif. Sejarah modern telah menyaksikan bagaimana bangsa dan individu saling memperebutkan manfaat materi hingga menimbulkan perang, ketidakadilan, dan kesenjangan.

Sebaliknya, Islam menawarkan standar yang membebaskan manusia dari konflik tersebut. Dalam masyarakat yang dibangun atas landasan keridaan Allah, kompetisi bukan lagi demi kepentingan pribadi, tetapi untuk berlomba dalam kebaikan. Perselisihan tidak lagi tumbuh dari perebutan manfaat materi, melainkan berubah menjadi usaha bersama untuk meraih nilai yang lebih tinggi di sisi Allah.

Tolok ukur ini mampu menghapus kontradiksi internal manusia dan kontradiksi sosial yang muncul dari benturan kepentingan. Sebab, keridaan Allah adalah tujuan yang tidak memiliki pertentangan. Ia menuntun kepada keadilan, kasih sayang, kejujuran, dan solidaritas.

Dengan standar ini, masyarakat ideal yang tenteram dan gotong-royong dapat terwujud. Manusia tidak lagi melihat sesama sebagai pesaing dalam memperoleh keuntungan materi, melainkan sebagai partner dalam perjalanan menuju Allah.

Penutup

Tiga tanda pokok ajaran Islam—spiritualitas yang menyeluruh, rasionalitas yang seimbang, dan standar praktis yang berdasar pada keridaan Allah—merupakan fondasi kuat yang menjadikan Islam sebuah risalah yang holistik. Islam tidak hanya menata batin manusia, tetapi juga akalnya dan seluruh aspek kehidupannya. Ia tidak memisahkan manusia dari dunia, tidak memutuskannya dari alam, dan tidak menjauhkan dari realitas materi. Justru Islam mengajak manusia memahami materi melalui cahaya akal dan spiritualitas yang terhubung dengan Sang Pencipta.

Inilah pesan besar yang disampaikan oleh Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir Sadr: bahwa Islam adalah risalah yang mengharmonikan segala dimensi manusia. Sebuah risalah yang mampu memberikan arah, ketenangan, dan stabilitas di tengah pergolakan pemikiran dan krisis moral zaman modern.

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT