Oleh Mohammad Mahdi Asadollahi, political researcher
Khamenei.ir – Di penghujung abad ke-20, ketika dunia Islam tampak beku dan kehilangan daya dorong sejarahnya, sebuah letupan kecil dari kamp pengungsi di Gaza mengubah arah kawasan. Dari batu-batu kecil di tangan para remaja Palestina hingga tekad kolektif jutaan orang yang terjajah, Intifada Pertama (1987–1993) menjadi bukti bahwa kekuatan sejati bukanlah pada senjata canggih, melainkan pada kehendak suatu bangsa. Gerakan besar itu bukan sekadar reaksi spontan; ia adalah kebangkitan ruh, lahir dari iman dan keyakinan bahwa sebuah bangsa tidak akan pernah dapat ditundukkan selamanya.
Dengan menengok kembali Intifada Pertama, kita dihadapkan pada suatu pertanyaan penting: bagaimana mungkin kolektivitas rakyat yang tertindas, di bawah relasi kekuasaan yang sangat timpang, mampu menggoncang fondasi rezim penjajah dan memaksanya duduk di meja perundingan? Pertanyaan ini pula yang menjadi kunci untuk memahami dinamika Palestina hari ini.
Kondisi Historis: Dari Penjajahan ke Ledakan Kemarahan
Sebelum 1987, rakyat Palestina hidup di bawah pendudukan militer yang panjang, keras, dan penuh penghinaan. Sejak agresi 1967, ketika Tepi Barat dan Gaza jatuh sepenuhnya ke tangan rezim Zionis, generasi muda Palestina tumbuh dalam ruang hampa—tanpa harapan, tanpa arah politik, dan tanpa keyakinan bahwa perubahan dapat terjadi.
Pembangunan permukiman ilegal yang masif, pembatasan gerak, dan penyitaan tanah menjadi simbol penindasan sehari-hari. Puluhan tahun akumulasi kemarahan itu tertanam dalam dada rakyat—“seperti bara yang hanya menunggu percikan kecil untuk meledak.”
Percikan itu muncul pada 8 Desember 1987. Sebuah truk militer Zionis menabrak dan menewaskan beberapa warga Palestina di Jabalia. Peristiwa itu menjadi pemantik kemarahan yang telah lama menumpuk. Dalam beberapa jam saja, ribuan warga turun ke jalan—tanpa komando dan tanpa instruksi dari kelompok mana pun. Dari Jabalia, gelombang protes itu menjalar ke Gaza, lalu ke Tepi Barat, hingga merata di seluruh wilayah pendudukan.
Intifada tidak lahir dari rencana yang matang; ia lahir dari hati masyarakat yang sama-sama terluka dan sama-sama muak.
Intifada sebagai Gerakan Rakyat
Yang membuat Intifada Pertama berbeda dari banyak bentuk perlawanan lainnya adalah sifatnya yang benar-benar berasal dari rakyat. Dari kamp pengungsi, pasar, sekolah, universitas, hingga masjid, semua lapisan masyarakat bergerak menurut kemampuan masing-masing.
- Para remaja melemparkan batu untuk mengusir tentara pendudukan.
- Para perempuan memasak, mengantarkan makanan, dan merawat yang terluka.
- Para pedagang menutup toko sebagai bagian dari aksi mogok massal.
- Sekolah dan universitas berubah menjadi pusat penyadaran dan mobilisasi.
Gerakan ini tidak dimiliki atau dikendalikan oleh faksi mana pun. Ia tumbuh dari akar rumput—dari rakyat biasa yang menolak hidup dalam penindasan.
Peran Faksi dan Kelahiran Hamas
Walaupun rakyat menjadi kekuatan utama Intifada, sejumlah faksi lokal membantu koordinasi. Di Tepi Barat, Fatah dan PLO berupaya menyampaikan seruan mobilisasi serta menghubungkan kota dan kamp pengungsi. Di Gaza, gerakan-gerakan Islam seperti Jihad Islam dan jaringan sosial yang dipimpin Syaikh Ahmad Yasin memainkan peran penting.
Syaikh Ahmad Yasin kemudian mendirikan Harakah al-Muqawamah al-Islamiyyah—Hamas, bukan hanya sebagai organisasi politik, tetapi sebagai kerangka Islam yang memobilisasi kekuatan rakyat melalui masjid, lembaga sosial, dan jaringan pendidikan. Dengan cara ini, perlawanan rakyat Intifada memiliki basis spiritual, sosial, dan organisatoris yang lebih kuat.
Namun tetap, poros utama Intifada adalah rakyat Palestina itu sendiri—bukan elit politik, bukan kekuatan luar, tetapi bangsa yang menuntut haknya.
Represi Brutal: Zionisme Menghadapi Dinding Tekad Rakyat
Respon Zionis terhadap Intifada sama seperti wajah asli penjajahan: brutal, rasialis, dan penuh balas dendam. Selama enam tahun Intifada berlangsung:
- 1.600 warga Palestina gugur, termasuk 280 remaja di bawah usia 17 tahun.
- 115 lainnya dibunuh oleh pemukim bersenjata.
- Ribuan ditangkap, disiksa, dan ditahan tanpa proses hukum.
- Sekolah, kampus, pasar, dan desa-desa mengalami penutupan total.
- Rumah para demonstran dihancurkan sebagai bentuk hukuman kolektif.
Kebijakan itu tidak pernah benar-benar berhenti. Hari ini pun, dengan bantuan teknologi dan kecerdasan buatan, penindasan itu justru semakin sistematis.
Namun represi yang brutal tidak memadamkan perlawanan. Ia menyuburkannya.
Kerugian Besar yang Ditanggung Zionis
Walaupun Intifada tidak menggunakan senjata, dampaknya terhadap rezim Zionis sangat besar:
1. Kerugian Keamanan
Bentrokan massa menewaskan sekitar 160 serdadu Zionis dan melukai ribuan lainnya. Rezim terpaksa meningkatkan jumlah pasukan dan biaya keamanan secara drastis.
2. Kerugian Ekonomi
Pemogokan massal, boikot, dan perjuangan sipil menyebabkan kelesuan ekonomi dan meningkatnya biaya pendudukan.
3. Krisis Sosial Internal
Dalam negeri Zionis muncul retakan mendalam. Masyarakatnya mulai mempertanyakan: Apakah mungkin menguasai jutaan rakyat yang menolak tunduk?
Pertanyaan ini mempengaruhi politik internal, hingga mengarah pada kesediaan rezim memasuki proses Oslo.
Pembunuhan Yitzhak Rabin menunjukkan bahwa perpecahan itu bukan mereda, tetapi semakin tajam.
4. Keruntuhan Citra Global
Intifada memperlihatkan wajah asli Zionisme kepada dunia: tentara bersenjata lengkap melawan anak-anak yang membawa batu. Dukungan internasional terhadap Palestina meningkat tajam, sedangkan legitimasi rezim semakin runtuh.
Mengapa Zionis Akhirnya Duduk di Meja Perundingan
Sebelum Intifada, rezim Zionis meyakini bahwa kekuatan militer cukup untuk mempertahankan pendudukan. Namun enam tahun perlawanan rakyat mengubah segalanya:
- biaya keamanan membengkak,
- tekanan internasional meningkat,
- liputan media global mengubah opini publik,
- krisis politik di Tel Aviv tak terhindarkan.
Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rezim Zionis terpaksa mengakui eksistensi politik bangsa Palestina melalui jalur negosiasi yang berujung pada Madrid dan Oslo.
Tetapi harapan rakyat tidak sejalan dengan hasil politik. Oslo tidak menghentikan ekspansi permukiman dan tidak memberikan kemerdekaan. Perjanjian itu gagal menggambarkan kedalaman aspirasi rakyat yang telah mengorbankan darah, masa depan, dan kehidupan mereka. Kesenjangan ini menjadi benih perlawanan generasi berikutnya.
Pelajaran Intifada: Rakyat adalah Sumber Kekuasaan yang Hakiki
Di hadapan permukiman ilegal yang terus tumbuh, kebijakan apartheid yang semakin mengeras, serta upaya normalisasi yang memalukan, rakyat Palestina menyadari satu hal: perlawanan adalah satu-satunya jalan menuju kebebasan.
Imam Ali Khamenei menegaskan dalam Pidato Hari Quds, 29 April 2022:
“Tidak ada satu pun rencana tentang Palestina yang dapat berhasil tanpa persetujuan rakyat Palestina. Semua proyek kompromi – Oslo, two-state solution versi Arab, Deal of the Century, dan normalisasi – semuanya batal.”
Intifada Pertama adalah bukti dari pernyataan tersebut. Ia menunjukkan bahwa:
- kekuatan sejati tidak berada di tangan rezim atau organisasi internasional,
- melainkan dalam solidaritas rakyat,
- dalam iman,
- dalam kehendak kolektif yang tidak bisa dibeli, diintimidasi, atau dihancurkan.
Pada Konferensi Internasional Pendukung Intifada (1 Oktober 2011), Pemimpin Revolusi Islam berkata:
“Palestina memulai langkahnya dengan mengandalkan dirinya sendiri, para pemudanya, iman Islam yang mendalam, dan lelaki serta perempuan yang berkorban. Inilah kunci segala keberhasilan.”
Intifada Pertama adalah bukti nyata bahwa sejarah tidak digerakkan oleh kekuatan besar, tetapi oleh rakyat yang bersatu. Dari batu kecil yang dilemparkan oleh tangan remaja Palestina, lahir gelombang perubahan yang mengguncang kawasan dan membuka jalan menuju transformasi besar dalam perjuangan bangsa.
Dari Batu ke Badai Perlawanan
Hari ini, perlawanan Palestina berkembang dari batu Intifada menjadi operasi tingkat tinggi seperti “Pedang al-Quds” hingga “Badai al-Aqsa.” Namun ruhnya tetap sama: gerakan rakyat, gerakan iman, gerakan keteguhan.
Intifada Pertama mengajarkan bahwa:
- bangsa yang bersatu tidak dapat dikalahkan,
- penjajahan tidak memiliki legitimasi apa pun,
- dan bahwa kebebasan hanya lahir dari keteguhan, bukan kompromi.
Selama rakyat Palestina tetap memegang prinsip “dari sungai hingga laut,” sejarah tidak akan berhenti di Oslo. Sejarah akan bergerak ke arah yang ditentukan oleh kehendak rakyat, bukan oleh kepentingan para penjajah.