Ramadhan tiba, dan kita kembali melaksanakan ibadah puasa sebagai kewajiban. Salah satu keunikan dari ibadah puasanya adalah sifatnya yang sangat rahasia. Tak ada yang tahu, apakah kita sedang berpuasa atau tidak, kecuali kita dan Allah SWT. Seorang yang berpuasa secara benar pastilah orang yang terhubung secara spiritual dengan Allah. Artinya, seorang sha`im adalah seorang yang terus mengingat Allah.
Puasa mengajarkan kita untuk selalu mengingat Allah (dzikrullah), yaitu bahwa ada Zat yang terus mengawasi kita setiap saat dan dalam segala kondisi. Sebagai sebuah kebaikan, dzikrullah punya tantangan. Di sini, setan dan hawa nafsu sering menanamkan beragam hal yang memalingkan hati manusia dari mengingat Allah. Tantangan inilah yang harus disingkirkan. Karena itu, pada akhirnya, puasa adalah sebuah bentuk latihan agar manusia bisa menghindarkan dirinya dari apapun yang bisa membuat hatinya lalai dari mengingat Allah, dan inilah tingkatan tertinggi ibadah puasa.
Al-Qur’an menyatakan bahwa mengingat Allah dalam segala keadaan adalah pilihan terbaik yang bisa diambil oleh orang yang mau berpikir. Surah Ali ‘Imran ayat 190-191 menyatakan bahwa ciri utama ūlūl albāb (orang yang berpikir) adalah selalu mengingat Allah dalam segala keadaan, yaitu ketika berdiri, duduk, dan terbaring, serta terus merenungi penciptaan langit dan bumi.
Mereka yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan saat terbaring. Mereka bertafakur terkait dengan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “wahai Tuhan kami, tak ada yang sia-sia dari yang Engkau ciptakan. Maha suci Engkau. Maka, jagalah kami dari azab neraka.”
Harus diperhatikan juga bahwa mengingat Allah adalah perintah-Nya. Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 41 secara tegas menyuruh orang-orang yang beriman untuk mengingat Allah sebanyak-banyaknya.
Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya.
Sementara itu, di dalam Surah Al-Baqarah ayat 152, Allah berfirman bahwa siapa saja mengingat-Nya, Allah pun akan mengingat orang tersebut.
Ingatlah Aku, niscaya aku akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kafir.
Pada hakikatnya, mengingat Allah adalah salah satu pilar penting agama. Tujuan utama didirikannya ibadah shalat adalah untuk mengingat Allah (Thaha: 14).
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.
Sementara itu pada ayat lainnya, tujuan dari diturunkannya kewajiban shalat adalah untuk mencegah munculnya perbuatan keji dan kemunkaran (Al-‘Ankabut: 45).
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Sesungguhnya, salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Ingatlah bahwa berdzikir kepada Allah itu adalah perbuatan agung. Dan Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.
Dari kedua ayat ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa dengan mengingat Allah, kita akan terbebas dari perbuatan dosa. Hal ini bisa terjadi karena ketika mengingat Allah, kita berada dalam kesadaran penuh bahwa Allah yang Maha Melihat sedang melihat kita dan memperhitungkan segala amal perbuatan kita.
Mengingat Allah juga menjadi terapi kejiwaan yang sangat efektif. Dalam kondisi kesulitan apapun, orang yang mampu menghadirkan Allah berikut segala sifat-sifat baik-Nya ke dalam ingatannya pasti akan memberikan ketenangan dan ketenteraman. Allah adalah Zat yang Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Mahakuasa. Tidak ada yang mustahil bagi Allah ketika Dia berkehendak. Kesadaran bahwa dalam keadaan apapun selalu ada Zat Maha Pengasih yang sedang memperhatikan dengan saksama, dan Zat itu juga memiliki kemampuan untuk melakukan apapun, akan membuat hati siapa pun menjadi tenteram. Konsep ini selaras dengan ayat Al-Qur’an Surah Ar-Ra’d ayat 28 menyatakan bahwa hati orang yang beriman akan menjadi tenang dengan mengingat Allah.
(Dikutip dari rubrik Tafsir, Buletin Al-Wilayah, Edisi 13, Juni 2014-Ramadhan 1438)